Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ujaran Puan Maharani Mengingatkan pada Golkar Zaman Soeharto

7 September 2020   09:28 Diperbarui: 7 September 2020   09:32 8026
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagi masyarakat Indonesia yang pernah merasakan kehidupan di jaman pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, mungkin pernyataan Puan Maharani Ketua DPP PDIP yang kemudian jadi polemik panjang itu, tak aneh.

Karena jaman Soeharto itu siapapun yang tak mendukung Golkar, maka akan dituduh tak mendukung Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.

Golkar kala itu merupakan partai politik penguasa yang menentukan merah putih nya negara ini.Istilah kuningisasi terjadi dimana-mana, merujuk pada warna kebesaran Golkar.

Jika sebuah daerah tak memenangkan Golkar dalam Pemilu maka siap-siap saja daerah tersebut dituduh tak Pancasilais.

Soeharto dan Golkar-nya saat itu menjadi satu-satunya partai personifikasi dari Pancasila. Tak Pancasila jika tak Golkar.

Mereka lah seolah yang paling berhak mengklaim dirinya paling Pancasila, walaupun faktanya di lapangan falsafah Pancasila tak mereka praktekkan dengan benar.

Sila kedua dari Pancasila, Kemanusian yang adil dan beradab, tak begitu jelas dilaksanakan. Jika menentang pemerintah Soeharto dalam bentuk apapun maka kemanusian pemerintah akan hilang, si penguasa bakal tega melakukan apapun bahkan hingga menghilangkan nyawa si penentang.

Sila keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawarahan perwakilan, diterjemahkan begitu rupa sehingga secara esensi tak ada lagi itu permusyawarahan, yang ada pura-pura bermusyawarah.

Sila Kelima Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia seperti utopia saat itu. Jika tak dekat dengan penguasa jangan harap keadilan akan datang menghampiri.

Siapapun yang jauh  apalagi bersebarangan dengan kekuasaan agak sulit untuk bisa berkehidupan secara layak, stigmatisasi dilakukan dengan begitu masif.

Kondisi tersebut menjadi trauma yang lumayan panjang bagi bangsa Indonesia. Itulah kemudian ketika Puan Maharani sebagai wakil dari partai penguasa berujar

"Semoga Sumatera Barat menjadi Provinsi yang mendukung Pancasila "ujarnya saat pengumuman bakal calon pemimpin daerah dari PDIP dalam Pilkada serentak 2020.

Lah kok bisa mba Puan Maharani yang cikal bakal partai nya saat jaman Orba disebut tak Pancasilais oleh penguasa Orba, mengklaim hal tersebut pada sebuah daerah yang tak pernah memenangkan partainya PDIP dalam rentetan pesta demokratis di Indonesia mulai dari Pilkada, Pemilu hingga Pilpres.

Seharusnya mereka tahu bagaimana rasanya diberi cap tak Pancasilais, karena mereka pernah mengalaminya sendiri selama 32 tahun.

Jangan-jangan Pancasila selain jadi dasar negara Republik Indonesia, juga dijadikan alat untuk menekan pihak-pihak yang berseberangan dengan penguasa.

Dan siapapun yang berkuasa dialah yang berhak merasa paling Pancasila. Walaupun kemudian dibantah oleh kader -kader PDIP dan para pendukungnya seperti yang diucapkan Hasto Kristyanto Sekjen PDIP yang menyatakan bahwa ujaran Puan itu adalah penyemangat bagi para kadernya di Sumbar untuk memenangkan PDIP.

Meskipun kemudian berubah lagi, ini merupakan dialektika ideologis dan itu didasari dengan maksud baik agar Pancasila benar-benar diamalkan.

Lain lagi kilah Arteria Dahlan Anggota DPR-RI dari Fraksi PDIP yang menyebutkan tak mungkinlah Puan bermaksud buruk dengan ucapannya tersebut toh ia pun memiliki darah Minang  yang kental.

Terakhir, Ade Armando yang menyebutkan seharusnya Masyarakat Sumbar Introspeksi diri dengan ucapan mba Puan tersebut alih-alih berpolemik lebih lanjut.

Ia menyebutkan bahwa Provinsi Sumbar khususnya kota Padang termasuk 5 besar daerah yang intoleran, toleransi beragamanya sangat rendah.

Ia mencontohkan masalah aplikasi Injil berbahasa Minang yang dilarang oleh Gubernur Sumbar.

"Itu maksudnya apa? Kalau orang Sumbar memang Pancasilais, mereka pasti akan gembira menyaksikan umat Kristen di sana memiliki Injil berbahasa Minang," ujar dia. Minggu (06/09/20) seperti dilansir IDNTimes.com

Ya kilah yang sama juga dulu sempat dilakukan Golkar Orde Baru, saya kok jadi berpikir begitu dahsyatnya kah kekuasaan sehingga menimbulkan syndrome "takut kehilangan" sebegitunya.

Alasan-alasan yang disampaikan seperti itu hanya akan memperpanjang polemik. Alangkah lebih baik dan bijaksananya jika mba Puan Maharani mau berbesar hati untuk meminta maaf.

Saya kira itu tak akan menurunkan harkat dan derajatnya sebagai pribadi maupun sebagai pejabat Partai dan Negara.

Kita sudah sepakat Pancasila adalah dasar negara Republik Indonesia, seluruh rakyat Indonesia tahu persis itu. Sebagai dasar negara Pancasila itu harus diamalkan, dan segala tingkah kita dalam bernegara harus di dasari oleh Lima Sila tersebut.

Para pendiri bangsa menjadikan Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa agar kehidupan berbangsa di tanah air kita tercinta ini agar kehidupan berbangsa bisa berjalan dengan baik.

Mungkin para perumus Pancasila tak pernah berpikir bahwa Pancasila dikemudian hari tak hanya dijadikan sebagai dasar negara saja, namun dijadikan alat penguasa untuk menekan pihak-pihak yang tak mendukung penguasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun