Mungkin jika kita bicara kisah horor, maka asosiasi pikiran kita langsung menuju pada seorang penulis Asal Amerika Serikat (AS) Stephen King.
Penulis yang bernama lengkap Stephen Edwin King lahir di Portland, Maine AS pada 21 September 1947. Julukan melekat sebagai The King of Horor kepadanya karena nyaris seluruh novel yang ia terbitkan bergenre Horor meskipun ada beberapa novel  yang ditulisnya memiliki genre fantasi dan fiksi ilmiah.
Sepanjang karirnya, King telah menulis 60 novel 7 diantaranya dengan memakai nama penanya, Richard Bachman, 5 karya non  fiksi dan  lebih dari 200 cerita pendek. Novel yang ditulis oleh King telah terjual hingga saat ini diatas 350 juta eksemplar.
Dan hebatnya, 34 dari novelnya tersebut telah diadaptasi ke dalam film. Hanya Stephen King yang mampu melakukan ini.
King adalah pemegang rekor  sebagai penulis tunggal yang karyanya paling banyak di adaptasi menjadi film dibandingkan penulis-penulis yang lain.
Salah satu karyanya yang berjudul "IT" yang diadaptasi  ke layar lebar dengan judul yang sama memegang rekor sebagai film horor terlaris sepanjang masa.
Film yang di sutradarai oleh Andi Muschiety ini dirilis tahun 2017 ,menurut laman boxoffice.com berhasil meraup pendapatan sebesar US$ 327,48 Â juta atau setara dengan Rp. 4, 65 triliun.
Novel IT Â yang tebalnya 1.200 halamaan ini juga merupakan salah satu novel karya Stephen King paling laris. Serta dianggap terbaik oleh sebagian besar kritikus sastra.
Dalam IT ia mampu membawa pembacanya pada semesta ciptaan King, dengan menerangkan setiap karakter dan kejadian-kejadiannya secara sangat detil.
Jadi wajar saja pembacanya seperti larut begitu dalam pada dunia IT ciptaan King tersebut
Stephen King yang ditinggal oleh ayahnya sejak berusia 2 tahun ini, mulai menulis sejak ia masih menjadi siswa setingkat SMA.
Menurut situs resmi miliknya Stephenking.com, King remaja, menulis pertama kali di salah satu surat kabar yang bernama Dave's Rag di kotanya, Maine.
Tulisannya sejak awal memang sudah bergenre fiksi horor, inspirasinya datang saat ia membaca salinan buku tua milik ayahnya.
The Luker in Shadow karya  HP. Lovecraft judul buku tua tersebut yang ia temukan di loteng rumahnya. Setelah selesai membacanya, Stephen King seperti menemukan "rumahnya"
Kemudian ia terus menulis cerita- cerita pendek dan menjual karya yang ditulisnya tersebut kepada teman-temannya. Namun, karyanya yang pertama diterbitkan berjudul "I was a teenage Grave  Robber". Â
Karyanya ini diterbitkan secara independen dengan format cerita bersambung di Comics Review pada tahun 1965.
Beberapa tahun kemudian setelah ia lulus dari University of Maine jurusan Sastra Inggris pada tahun 1970, karena ia tak kunjung mendapatkan pekerjaan mulai lah ia menjual tulisan-tulisannya kepada berbagai penerbit.
Novel pertamanya diterbitkan pada tahun 1973 oleh penerbit Double Day, untuk karya nya ini Stephen King dibayar US$ 2.500. Novel tersebut  berjudul "Carrie" dan langsung mendapat tempat yang spesial di hati para pembacanya.
40 tahun,kemudian, pada 2013 novel pertamanya ini diangkat menjadi sebuah film dengan penghasilan kotor diseluruh dunia sebesar US$ 84 juta, angka yang cukup mengesankan buat sebuah film horor.
Setelah menerbitkan novel pertamanya, King kemudian menulis novel yang awalnya ia beri judul Second Coming, namun saat terbit pada tahun 1975 judul novelnya diganti menjadi Salem's Lot.
Setelah novel ke-2 nya dan ibunya meninggal dunia  ia dan keluarganya pindah ke Colorado,di sanalah ia menulis dan menerbitkan The Shinning novel ke-3 nya.
Di akhir 70-an  ia menerbitkan beberapa novel pendek namun menggunakan nama penanya, Richard Bachman, sekedar untuk menguji apakah karena namanya ia bisa terus sukses atau karena kualitas karya nya ia berhasil.
Ternyata, meskipun tak sesukses dengan memakai namanya yang sudah populer, novel pendek dengan menggunakan nama penanya tersebut mendapat sambutan yang baik dari para pembaca.
Saya sebenarnya tak terlalu menyukai karya sastra bergenre horor, saya tak berminat meletakan diri saya dalam ketakutan yang terfabrikasi.
Namun setelah membaca karya Stephen King yang bertajuk "Pet Semetary" saya langsung terpesona, ada ketakutan memang ketika membacanya  tapi ketika pikiran ini diposisikan ke dalam kondisi netral, King sepertinya mampu menghipnotis saya untuk terus mengikuti bait-bait tulisannya dalam novel tersebut
Pet Semetary bercerita tentang keluarga Creed yang terdiri dari Dr. Louis Creed beserta seorang istri dan 2 orang anaknya yang tinggal di sebuah pedesaan.
Desa itu seperti umumnya  desa memiliki semacam cerita tabu yang sangat ditakuti oleh penduduknya. Cerita tersebut adalah pemakaman misterius yang konon katanya jika ada mayat dikuburkan disana, mayat tersebut akan diberi kehidupan kembali.
Awalnya semua penduduk tak mempercayai cerita itu,karena mereka memang tak pernah menguburkan mayat disitu.
Hingga kemudian kucing milik keluarga Creed tertabrak truk dan mati, kemudian dikuburkanlah kucing tersebut di pemakaman tersebut.
Ajaibnya ketika mereka kembali ke rumah selepas menguburkan kucing tersebut. Kucing yang dikuburkan tersebut ada dirumah dan menyambut mereka dengan kondisi cukup sehat tak terlihat bekas luka apapun.
Namun setelah beberapa lama, mereka menyadari ada yang aneh pada kucingnya tersebut. Kutukan-kutukan kemudian datang berurutan dan menegaskan setiap mahluk yang diberi kehidupan kembali oleh kuburan itu akan dimbuhi oleh kutukan.
Menurut pengakuan King, Pet Semetary adalah novel paling menakutkan yang pernah ditulisnya. Sayangnya adaptasi film dari novel Pet Semetary yang dirilis 2019 ini jauh dari ekspektasi, sangat mengecewakan.
Novel terakhir yang diterbitkan Stephen King berjudul The Institute yang dirilis tahun 2019 lalu. King saat ini tak hanya berprofesi sebagai penulis ia pun  menjadi seorang produser, beberapa kali jadi Cameo dalam film yang diadaptasi dari novelnya, dan Sutradara.
Ia menikahi teman kuliahnya di Maine University bernama Tabitha Spruce dan dikaruniai 3 orang anak, Naomi King, Joe King, dan Owen King. 2 anaknya yang terakhir juga merupakan penulis.Â
Bagi Stephen King menulis tak melulu berkutat pada bagus atau tidaknya ouput dari tulisan tersebut, tak juga mengenai keindahan diksi dan tumpukan kosa kata .
Ia sempat akan membuang 30 naskahnya ke tong sampah karena frustasi tak ada satu pun penerbit yang berniat menerbitkannya, namun karena ia sangat mencintai menulis hal itu tak dilakukannya, karya tulis bagi dirinya sebuah manifestasi dari sebuah kesenangannya.
Menulis bagi dirinya adalah sebuah kesenangan yang membahagiakannya, karena jika menulis untuk kesenangan maka sampai kapan pun kita akan terus menulis.
So, just keep writing everybody....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H