Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Keresahan terhadap Jokowi dan Urgensi Reshuffle Kabinet

13 Juli 2020   16:31 Diperbarui: 13 Juli 2020   16:52 758
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya merupakan salah satu pendukung Jokowi sejak dirinya mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta pada Pilkada 2012, Pemilihan Presiden 2014 hingga Pilpres 2019  lalu.

Saya memang tak pernah masuk dalam tim sukses diberbagai tingkatan bahkan relawan pun tidak. Namun saya cukup fanatik juga mendukung mantan Walikota Solo dua periode ini.

Dalam Pilpres 2014 dan 2019 Berkali -kali saya harus berbenturan pendapat dengan lingkungan keluarga saya dan teman-teman kecil saya di Sukabumi.

Sebagai tambahan informasi Sukabumi merupakan salah satu basis pendukung laaan Jokowi dalam 2 Pilpres terakhir, Prabowo Subianto.

Dokpri
Dokpri
Saat itu saya benar-benar yakin bahwa memilih Jokowi merupakan keputusan yang sangat tepat. Saya terpesona oleh sesorang yang sederhana, lahir dari masyarakat kebanyakan, tak memiliki darah biru politik atau  berasal dari institusi militer.

Ia dicitrakan sebagai sosok yang merakyat, cara dirinya memimpin sangat egaliter, jujur, permasalahan yang melibatkan masyarakat ia selesaikan dengan cara "ngewongke".

Dan faktanya memang demikian, ia membawa angin segar kepemimpinan Indonesia. Namun sekarang saya mulai sadari bahwa itu semua tak cukup untuk menjadi seorang pemimpin yang efektif.

Rasanya perasaan saya mulai agak berbeda terhadap Jokowi mulai terjadi sesaat setelah Jokowi memilih Maaruf Amin untuk mendampinginya dalam Pilpres 2019, alih -alih memilih Mahfud MD yang sebenarnya sudah ia pilih untuk mendampinginya sebagi Cawapresnya dalam Pilpred 2019 tersebut.

Namun, walau sedikit mengurangi "kefanatikan saya" saya tetap mendukung dan memilih Jokowi dalam Pilpres itu. Berkali-kali saya datang dalam kampanye Jokowi untuk memperlihatkan dukungan saya termasuk saat kampanye akbar di Stadion GBK di akhir masa kampanye.

Meskipun apalah artinya dukungan dari saya, rakyat kecil biasa. Tapi lumayanlah saya bisa membawa beberapa orang untuk meyakinkan mereka memilih Jokowi.

Apalagi kemudian Jokowi sesaat sebelum dan setelah memenangkan kontestasi pilpres tersebut Jokowi berulang kali berujar bahwa diperiodenya yang kedua ini ia akan bekerja tanpa beban, karena ia tak bisa lagi bertarung pada Pilpres 2024.

"Lima tahun kedepan, mohon maaf,saya sudah enggak ada beban. Saya sudah enggak bisa nyalon lagi. Jadi apapun yang terbaik untuk negara akan saya lakukan," kata Jokowi saat membuka Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) di Hotel Shangri-la, Jakarta, Kamis (09/05/19). Seperti yang dilansir Kompas.Com

Asumsi saya "tanpa beban" itu artinya ia akan bekerja all out dan hanya menghitung kalkulasi politik dengan sangat minimal.

Namun ketika memasuki periodenya yang ke-II, setelah memenangkan pertarungan yang sangat sengit. 

Kabinet yang dibentuk Jokowi tak sesuai dengan janjinya yang akan menempatkan para teknokrat yang profesional di bidangnya untuk duduk di Kabinet yang kemudian ia beri nama Kabinet Indonesia Maju tersebut.

Posisi Menteri dalam Kabinet tersebut  ternyata diberikan kepada partai-partai politik yang masuk ke dalam koalisi pemerintah, termasuk Gerindra yang di Injury time menyatakan dukungannya pada Jokowi.

Jokowi seperti kalah oleh tekanan politik dan rasa terimakasihnya. Menteri Agama yang biasanya di duduki oleh seorang ulama atau paling tidak personil yang memahami betul agama Islam, di duduki oleh seorang Purnawiran Tentara.

Hal ini kemudian membuat beberapa keputusannya seperti tak jelas. Dalam masalah penangan Covid-19 Menteri Kesehatan yang seharusnya menjadi ujung tombak menghilang entah kemana.

Kemudian Menteri Pertanian yang seharusnya mengurus persedian pangan malah menjajakan kalung anti virus.

Dan itu diumumkan secara terbuka, untuk kemudian diproduksi. Saya yakin Jokowi tahu itu, tapi ia diam saja seolah merestui.

Kartu Pra Kerja yang merupakan program unggulan miliknya tak terlaksana dengan baik ketika harus digunakan sebagai jaring pengaman sosial dalam mengurangi dampak ekonomi akibat Pandemi Covid-19.

Kisruh terus berlanjut ketika ada keharusan bagi para pemilik kartu pra kerja yang dianggap tak berhak untuk mengembalikan insentif yang telah diberikan pemerintah.

Di sisi hukum, bagaimana Jokowi melakukan revisi UU KPK menjadi UU no 19 tahun2019 tentang KPK yang kemudian memang terbukti melemahkan posisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Tekanan dari masyarakat saat itu tak membuat Jokowi bergeming ia tetap meloloskan UU tersebut untuk di sahkan oleh DPR.

Bisa jadi ini dikenang sebagai warisan Jokowi untuk melemahkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Kasus Harun Masiku yang buron kasus korupsi dan merupakan salah satu kader Partai-nya PDIP hingga kini belum jelas ujung pangkalnya.

Kemudian polemik terkait ekspor bibit lobster  yang ternyata terungkap merupakan cara beberapa pihak sebagai upaya bagi-bagi jatah, dibiarkan terus ramai bergaduh.

Tentunya kita masih ingat saat Jokowi berujar saat menunjuk para pembantunya tersebut bahwa tak ada visi misi para menteri yang ada visi misi presiden.

Artinya boleh dong saya jadi berasumsi bahwa seluruh polemik tersebut atas sepengetahuan Presiden, dan Jokowi sebagai Presiden diam saja.

Ketika kemudian ia melontarkan kemarahannya dalam sidang kabinet yang videonya viral dan diketahui publik karena para menterinya tak mampu belerja sehingga ia mengancam  akan melakukan reshuffle, banyak pihak yang meragukan kesungguhan ancaman tersebut.

Dan benar saja tak lebih dari seminggu isu reshuffle itu dimentahkan oleh Menteri Sekretaris Negara Pratikno yang menyatakan bahwa karena sudah ada progres signifikan dari para menteri Jokowi maka reshuffle menjadi tak relevan lagi.

Padahal menurut survey yang dilakukan oleh Litbang Kompas seperti dilansir Kompas.com  yang dilaksanakan pada 7 hingga 11 Juli 2020 dengan responden 587 orang di 23 Provinsi.

87,8 persen diantaranya  menyatakan ketidakpuasan terhadap kinerja para menteri Kabinet Indonesia Maju dalam menangani pandemi Covid-19 beserta segala dampaknya.

Dalam penyedian fasilitas kesehatan 71,7 persen tak puas dengan kinerja jajaran menteri terkait. Demikian juga dalam masalah pemberian bantuan sosial 75,1 persen merasa tak puas dengan kinerja menteri yang membidangi urusan ini.

Sementara untuk mengurangi dampak ekonomi 68,5 persen responden merasa kinerja para menteri di bidang ini tak optimal.

Melihat survey ini ada baiknya jika Presiden Jokowi melihat urgensi reshuffle itu nyata adanya. Msakipum saya resah namun saya masih mencoba optimis karena masih ada waktu tersisa walaupun lebih singkat, tidak lebih dari 2 tahun.

Karena memasuki awal 2023 efektifitas kerja Jokowi akan berkurang jauh seiring dengan akan makin sibuknya partai-partai koalisi pendukung Jokowi akan lebih sibuk mencari pendukung dan mempromosikan calon-calon presiden usungannya.

Mulai lah mengocok ulang kabinet, tempatkan personil -personil yang profesional dan mumpuni di bidangnya agar Jokowi bisa mewariskan sesuatu yang didambakan rakyat, tak hanya urusan infrastruktur fisik.

Namun juga pembangunan dalam hal sosial, ekonomi, hukum, budaya politik yang memungkinkan generrasi mendatang dapat hidup lebih baik.

Sekali lagi, mungkin dukungan atau penolakan saya ini tak akan berarti apa-apa karena memang tak memiliki bobot politik apapun.

Hanya saja ini hanya tulisan yang mengungkapkan keresahan saya sebagai salah satu orang yang mendukung anda Mr Presiden.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun