Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Rupiah Bakal di Redenominasi dari Rp 1.000 Menjadi Rp 1, Jangan Grasa-grusu

9 Juli 2020   15:36 Diperbarui: 9 Juli 2020   15:57 1772
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Isu Redenominasi mata uang milik Indonesia,Rupiah kini mulai ramai kembali diperbincangkan. Menyusul Rancangan Undang-Undang tentang Redenominasi Rupiah kini masuk dalam rencana strategis Kementerian Keuangan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 77/PMK.01/2020

Jadi RUU Redenominasi ini bakal masuk ke dalam Prolegnas periode tahun 2020-2024 dan diharapkan selesai pada periode yang sama. 

Sebenarnya isu redenominasi ini sudah bergulir lama, mungkin sekitar 10 tahun yang lalu. Namun baru pada tahun 2017 Menteri Keuangan Sri Mulyani bersama Gubernur Bank Indonesia yang saat itu masih di pegang oleh Agus Martowardojo mengajukan RUU Redenominasi ini pada Presiden Jokowi.

Redenominasi ini bertujuan untuk menaikan martabat mata uang uang rupiah yang tampak tak memiliki nilai dibandingkan mata uang global lain. Tadinya jika  RUU Redenominasi jadi dibahas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada periode lalu dan kemudian menjadi Undang-Undang, pelaksanaanya ditargetkan mulai tanggal 1 Januari 2020.

Namun seperti kita ketahui, RUU Redenominasi batal dibahas saat itu karena menurut Jusuf Kalla, yang waktu itu masih menjabat sebagai Wakil Presiden RI ada hal yang lebih urgent dibandingkan masalah  Redenominasi, yang sedang terjadi saat itu.

"Memang rencananya dulu mengubah Rupiah pada zaman Pak Darmin masih Gubernur BI. Tapi dianggap karena itu tidak urgent dibanding masalah waktu itu. Jadi direm dulu," ungkap Wapres JK, di Jakarta, Kamis (17/10/2019). Seperti yang dilansir Merdeka.Com

Pelaksanaan Redenominasi ini membutuhkan momen yang tepat untuk dilaksanakan terutama masalah stabilitas baik itu secara ekonomi maupun politik. Jadi butuh kondisi-kondisi tertentu agar redenominasi ini bisa berhasil dilakukan sesuai harapan dan tujuannya tercapai.

Makna Dari Redenominasi Rupiah.

Redenominasi mata uang adalah menyederhanakan nilai mata uang tanpa mengubah nilai tukarnya. Hanya mengurangi deretan angka nol di belakang mata uang yang telah ada. Misalnya 10.000 menjadi 10, atau 1.000 menjadi 1. Artinya menghilangkan 3 angka nol yang paling belakang pada mata uang rupiah.

Redenominasi ini seperti yang dilansir oleh laman Bank Indonesia hanya dapat dilakukan saat ekonomi Indonesia dalam keadaan benar-benar fit, alias sehat 100 persen.

Redenominasi ini juga jauh berbeda dengan "Sanering" atau pemotongan nilai uang seperti yang pernah terjadi di Indonesia pada tahun 1959. Saat itu pecahan uang Rupiah dengan nominal Rp.500 dan Rp. 1.000 diturunkan nilainya menjadi Rp.50 dan Rp.100, nilainya diturunkan hingga 90 persen dari nilai uang rupiah sebelumnya.

Sedangkan redenominasi hanya menyederhanakan dengan cara mengurangi atau menghilangkan angka nol-nya saja, namun sama sekali tak mengurangi kekuatan mata uang tersebut dalam membeli barang. Misalnya kita membeli TV harganya Rp.3.000.000 maka setelah redenominasi menjadi Rp.3.000, keduanya memiliki nilai yang sama persis.

Redenominasi dilakukan agar mata uang rupiah lebih efesien ketika ditransaksikan dan dicatatkan secara akuntansi karena jumlah digit nol dalam rupiah menjadi lebih sedikit.

Dalam sejarahnya terdapat beberapa Negara di dunia yang pernah melakukan Redenominasi ini. 19 negara melakukan redenominasi satu kali, Kemudian ada 10 negara yang telah 2 kali melakukan Redenominasi seperti dua negara di benua Amerika Selatan, Bolivia dan Peru.

Kemudian ada juga yang melakukan kebijakan Redenominasi ini lebih dari 2 kali, yakni Argentina sebanyak 4 kali, Yugoslavia dan Serbia 5 kali. dan yang paling sering melakukan Redenominasi adalah negara pemilik "Jogo Bonito" Brazil, negara ini sudah melakukannya sebanyak 6 kali.

Dampak Redenominasi Rupiah.

Jika kita berbicara dampak positifnya sih yah asyik memang, Rupiah akan terlihat bermartabat dibandingkan dengan mata uang negara lain, kemudian transaksi dan segala pencatatanya juga akan jauh lebih efesien.

Di dunia perbankan pengurangan 3 angka nol dibelakang, dari sisi teknologi akan terjadi penghematan. Bagi para Akuntan penyederhanaan deret digit akan memudahkan mereka membaca laporan keuangan. Dan menurut pengalaman beberapa negara Redenominasi jika berhasil dilakukan dapat mengurangi tingkat inflasi.

Tapi ingat, selai hal positif tentu akan ada dampak negatifnya, terutama bisa terjadi jika diawal penerapannya kebijakan tersebut tak dilakukan dengan hati-hati.

Persoalan yang akan terjadi khususnya di Indonesia adalah banyaknya harga-harga barang yang nominal nilainya ganjil, misalnya harga  Shampoo 25.455, kemudian harga Sabun 12.915 atau harga pasta gigi 7.115.Jika kebijakan Redenominasi itu diberlakukan maka harga-harga barang yang nilainya ganjir tersebut harus dibulatkan.

Namun itu juga bukan perkara mudah, karena dampaknya juga akan sangat terasa. Ada dua skema pembulatan, pembulatan keatas atau pembulatan ke bawah.

Jika kita bulatkan ke bawah ditinjau secara makro jika pembulatan ke bawah itu dilakukan secara masif dan pada saat yang bersamaan terhadap barang-barang yang diperjualbelikan di pasar, maka bisa saja terjadi penurunan harga yang curam dan kemudian akan menimbulkan deflasi.

Jika kita lakukan sebaliknya di bulatkan ke atas,dilihat dari kacamata yang sama, akan membuat kenaikan harga-harga khususnya pada harga-harga kebutuhan pokok sehari-hari. Tidak menutup kemungkinan juga bahwa Redenominasi ini bisa berdampak terhadap naiknya angka inflasi. Namun, dari dua skema yang ada, efek Redenominasi ini memiliki efek yang sama, yaitu adanya guncangan harga yang dapat menimbulkan efek psikologis di masyarakat. 

Walaupun bisa saja dua hal tersebut dihindari, apabila BI kemudian menyediakan uang fisik hingga pada nominal terkecil, sen seperti di mata uang dolar  atau Penny dalam mata uang Poundsterling.

Walaupun kini masyarakat Indonesia sudah banyak yang melakukan transaksinya menggunakan digital payment, namun tetap saja menurut saya sih masih banyak yang menggunakan tunai dibanding non-tunai di Indonesia ini. Itulah mungkin dampak negatif dari kebijakan Redenominasi dan itu harus benar-benar dipikirkan oleh para pemangku kepentingan.

Syarat-Syarat Redenominasi Bisa Berhasil

Ada 3 Syarat utama jika Indonesia ingin mengaplikasikan kebijakan Redenominasi ini:

Pertama nilai tukar mata uang Rupiah harus stabil, kedua inflasi harus benar-benar terkendali dan ketiga, fundamental ekonomi negara tersebut harus dalam kondisi sangat kokoh.

Menilik pada 3 syarat tersebut rasanya Indonesia dalam beberapa tahun ke depan belum berada dalam kondisi seperti itu, terkecuali untuk hal yang kedua terkait masalah inflasi, dalam 6 tahun terakhir ini inflasi Indonesia rata-rata berada dikisaran 3 persen saja.

Sementara untuk dua hal yang lain rasanya Indonesia harus masih berbenah apalagi dalam situasi pandemi Covid-19 seperti saat ini. Seperti kita tahu pandemi ini telah mendorong perekonomian global termasuk Indonesia dalam kondisi krisis.

Butuh waktu beberapa tahun untuk memulihkannya, beberapa ekonom menyebutkan ekonomi dunia akan mulai dalam kondisi normal pada tahun 2022, itu pun dengan catatan 2021 vaksin Covid-19 sudah ditemukan.

Jadi menurut saya agak tidak realistis juga jika Redenominasi itu targetnya bisa dilaksanakan pada periode pemerintahan Jokowi jilid II ini atau antara tahun 2020-2024 seperti yang dimasukan ke dalam Renstra Kemenkeu tersebut.

Namun menurut Piter Abdulah Ekonom dari Centre of Reform on Economics (CORE) seperti dilansir oleh CNBCIndonesia.Com bisa saja RUU Redenominasi diajukan saat ini agar saat selesai krisis akibat pandemi, kebijakan Redenominasi bisa dieksekusi.

"Redemoninasi pelaksanaannya membutuhkan proses yang panjang. Saya kira, langkah awal dari redenominasi harus disepakati lebih awal. Pembahasannya harus secapatnya dimulai untuk kemudian bisa disepakati dalam bentuk undang-undang," Ujar Piter, Rabu (07/07/20)

Menurutnya implementasi Redenominasi itu butuh waktu yang sangat panjang paling tidak 4 hingga 5 tahun, dengan 4 tahapan. Mulai dari sosialisasi, mengenalkan fisik uang baru, hingga benar-benar diimplementasikan kebijakan tersebut.

Jadi ada baiknya juga RUU Redenominasi itu diajukan saat ini.

Sementara pendapat berbeda dikeluarkan oleh Ekonom INDEF, Bima Yudhistira, Redenominasi ini sangat tidak tepat untuk dilaksanakan bahkan hingga tahun 2024. Bima meyakini bahwa Indonesia hingga tahun 2024 masih dalam kondisi pemulihan ekonomi setelah mengalami krisis akibat pandemi Covid-19.

Target Pemerintah untuk mengembalikan Defisit anggaran ke angka 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) saja baru tahun 2023

"Saya kira momentum redenominasi perlu dikaji secara serius, jangan terburu-buru dan benar-benar ketika kondisi ekonomi sudah stabil. Inflasi stabil, kurs juga tidak fluktuatif berlebihan, sampai pertumbuhan ekonomi bisa dijaga di atas 6%. Baru kita bahas redenominasi," kata Bhima 

Benar juga sih tak perlu terburu-buru biarakan ekonomi ini steady terlebih dahulu, jangan karena ingin meninggalkan legacy jadi grasa grusu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun