Aksi massa PA 212 di depan Gedung DPR/MPR Â Rabu (24/06/20) dalam rangka menolak Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila(HIP) yang berujung pembakaran bendera PKI dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) secara bersamaan tampaknya akan berbuntut panjang.
Seperti diketahui PA 212 merupakan kumpulan pihak-pihak yang selama ini selalu berhadapan dengan pemerintah Jokowi dan PDIP sebagai partai penguasa.
Kelompok PA 212 ini dimata saya tak lebih dari barisan orang-orang sakit hati saja, residu dari proses politik yang terjadi dalam 7 tahun belakangan.Â
Karena syahwat berkuasanya mulai dari Pilpres 2014 kemudian Pilpres 2019 berhasil digagalkan oleh Jokowi dan PDIP.
Ketika dipersonifikasikan sebagai barisan sakit hati, mereka dengan keras akan menolak itu. Mereka beralasan bahwa yang mereka lakukan selaras dengan ajaran Islam.
Ketika mereka bergerak simbol-simbol Islam selalu mengiringinya, seolah tak ada lagi yang paling Islam di Indonesia ini selain kelompoknya.
Politik identitas benar-benar dipraktekan nyaris sempurna oleh mereka dalam melakukan pergerakannya.
Sentimen Cina (merujuk pada etnis dan negara) dan Partai Komunis Indonesia(PKI) merupakan jualan favorit mereka.
Namun itu tak lebih dari kedok belaka, yang jelas tujuan mereka itu sangat politis dan berkaitan langsung dengan kekuasaan.
Isu SARA dan ideologi komunis mereka pakai untuk menyerang pemerintahan Jokowi, semua orang tahu berita hoaks bahwa keluarga Jokowi adalah anggota PKI disebarluaskan dalam pilpres 2014 hingga pilpres 2019 lalu.
Jika kemudian kita menelisik siapa saja yang ada di dalam kelompok tersebut dimotori oleh ormas Front Pembela Islam (FPI) yang pentolannya Riziq Shihab kini berada di Arab Saudi untuk menghindari proses hukum.