Sebuah hubungan, apapun itu sifatnya harus resiprokal alias saling berbalas dengan intensitas serupa, syukur-syukur bisa berlaku prinsip simbiosis mutualisma agar mencapai tingkatan "saling memuaskan".
Mulai dari hubungan bisnis, hubungan diplomatis hingga hubungan seks. Untuk mendapatkan azas resiprokal dalam sebuah hubungan yang pertama dan paling dibutuhkan adalah willingness atau keinginan kedua belah pihak yang berhubungan.
Keinginan untuk saling membuka diri secara jujur, sebisa mungkin menghindari sifat-sfat egosentris. Contoh kasus hubungan bisnis yang bersifat resiprokal adalah ketika otoritas keuangan Indonesia meminta otoritas keuangan Malaysia agar memberi kemudahan bagi bank-bank yang berasal dari Indonesia untuk membuka kantor cabangnya di wilayah Malaysia, seperti yang terjadi di Indonesia selama ini, ketika bank-bank milik Malaysia memiliki cabang di hampir seluruh kota besar di Indonesia.
Kedua otoritas itu ketemu dan akhirnya sepakat maka azas resiprokal itu terpenuhi. Demikian juga dengan hubungan diplomatik antar negara ketika satu negara meminta di beri keleluasaan untuk melakukan ekstradisi, perlakuan serupa juga diharapkan oleh negara yang bersangkutan.
Lantas bagaimana dengan hubungan seksual, azas resiprokal akan terpenuhi manakala hubungan seks itu berlangsung secara konsensual atau atas dasar suka sama suka, tanpa paksaan dari pihak manapun.
Bukan berarti hanya untuk hubungan seks non marital alias di luar pernikahan saja konsensual itu harus terjadi, namun juga dalam konteks ikatan pernikahan.
Karena jika hanya atas dasar kewajiban semata, bisa saja saat suami/istrinya meminta hubungan seks terjadi, salah satu pihak sedang tak mood untuk melakukannya, akhirnya azas resiprokal yang saling memuaskan tersebut tak akan tercapai. Bisa jadi pada saat itu yang akan puas hanya pihak yang meminta.
Apakah kemudian setelah konsensus untuk melakukan hubungan seks itu tercapai, otomatis saling memuaskan itu akan terpenuhi? belum tentu karena ada banyak faktor lain yang mengiringinya.
Berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang saya dapatkan, dari sudut pandang saya sebagai seorang laki-laki, selain konsensual, hubungan seks yang bermutu dan saling memuaskan itu bisa tercapai kalau sang pria tidak egois dan komunikasi antar pasangan tersebut terbina dengan baik.
Mengapa demikian, perempuan itu dianugerahi oleh kemampuan untuk bisa berhubungan seks dalam jangka waktu yang panjang, bahkan sebagian perempuan mampu berkali-kali mendapatkan puncak kenikmatan atau istilahnya multi orgasm.
Sementara pria, memang mereka paling terlihat bernafsu saat awal melakukannya, namun kemampuan dalam berhubungan seksnya terbatas hanya sekali mencapai puncak kenikmatan setelah itu untuk babak tersebut selesai, jika ingin melakukannya kembali butuh waktu agar organ intim milik pria tersebut siap kembali untuk dipergunakan.
Nah dengan keterbatasan itu makanya pria itu tidak boleh egois dan berpikir "bodo amat yang penting gue enak". Kalau pria itu menyadari bahwa dirinya tak memiliki kemampuan untuk melakukan dalam durasi yang cukup panjang, lakukanlah "foreplay" yang cukup, agar perempuan pasangannya tersebut mencapai ujung perbatasan puncak kenikmatan.
Jadi ketika penetrasi terjadi tak membutuhkan waktu yang lama agar mencapai puncak kenikmatan, dan akhirnya bisa sama-sama saling memuaskan. Foreplay-nya seperti apa? Silahkan cari literatur sendiri terkait hal itu, karena kalau saya tulis disini secara detil bisa-bisa tulisan ini diblokir oleh admin Kompasiana.
Selain itu, setiap pasangan mempunyai takaran kenyamanan yang berbeda-beda, bisa jadi yang nyaman bagi pasangan yang satu belum tentu nyaman bagi pasangan lain.
Kemudian setelah selesai melakukannya alangkah lebih baiknya kalau satu sama lain berkomunikasi untuk mengevaluasi apa yang terjadi saat intercourse itu terjadi,
Agar kita memahami apa yang diinginkan oleh pasangan kita masing-masing. Hal ini harus dilakukan terutama oleh pasangan-pasangan yang sudah mengarungi bahtera rumah tangga cukup lama.
Lantaran perasaan jenuh dan bosan itu tak terhindarkan sehebat dan sebesar apapun cinta kita terhadap pasangan, gairahnya tak akan menggebu seperti di awal pernikahan.Â
Dengan komunikasi dan evaluasi tersebut, bisa jadi kita menemukan cara untuk mengobarkan kembali gairah yang sepertinya sudah hilang secara perlahan tersebut.
Ingat, hubungan seks merupakan salah satu faktor utama dalam mempertahankan rumah tangga, jadi dengan menyalakan kembali gairah dapat mempererat kembali keharmonisan rumah tangga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H