Balonku ada lima, Rupa rupa warnanya.
Hijau, kuning, kelabu, merah muda, dan Biru
Meletus balon hijau......Daaaar.
Hatiku sangat kacau....
Begitulah syair lagu  Balonku, lagu yang sangat saya akrabi semenjak kecil dulu. Lagu anak-anak ini bisa disebut sebagai lagu "evergreen" alias tak lekang oleh jaman.
Belakangan lagu yang diciptakan oleh seorang seniman pencipta lagu handal, Abdulah Totong Mahmud atau lebih dikenal dengan sebutan A.T. Mahmud kembali ramai diperbincangkan.
Bukan karena membahas, betapa anak-anak berterimakasih pada lagu ini karena dengan mendengar lagu Balonku bisa mengenal jenis-jenis warna, tapi karena dianggap memiliki makna terselebung.
Seorang pendakwah, dengan penuh keyakinan menyebutkan bahwa dibalik nuansa riang dan ceria dalam lagu tersebut terdapat makna yang secara ideologis merugikan umat Islam.
Hah.... kok bisa? Saya yang tumbuh besar dengan mendengar dan menyanyikan lagu ini tak pernah merasa terkurangi keimanan saya gara-gara lagu ini.
Pendakwah tersebut mempermasalahkan kenapa yang meletus itu balon yang warna hijau? Bukan yang warna kuning, kelabu, merah muda, atau biru.
Padahal  menurut pendakwah tersebut hijau merupakan jenis warna yang diasosiasikan sebagai sebuah warna yang "Islami", baru tahu juga ternyata kini, selain bahasa, warna juga memiliki agama.
"Lho, Islam bikin kacau saja"ujar Ustaz Zainal Abidin, pendakwah yang meributkan masalah ini, seperti yang saya saksikan lewat video di laman media sosial Twitter.
Selain lagu Balonku, rupanya Sang Ustaz juga menelisik lagu anak lain, kali ini ia menyebut bahwa lagu "Naik-Naik Ke Puncak Gunung" memiliki makna yang lagi-lagi terselubung.
Lagu ini disebut "membenarkan" umat Kristiani. Lirik "puncak" dan "kiri -kanan" yang dalam video-nya ia praktikan seolah membentuk "tanda salib", seperti saat selebrasi Lionel Messi ketika mencetak gol.
Selain itu ia kemudian mempermasalahkan "pohon cemara" sebagai simbol ideologis.Â
"Kenapa harus pohon cemara? Kenapa tidak pohon yang lain padahal di Sumatera banyak pohon sawit"ujar Ustaz Zainal Abidin.
Terus ia menambahkan, di Jawa semestinya pohon pisang. Tapi kenapa kok pohon cemara yang berasal dari  luar negeri, pohon yang identik dengan perayaan Natal?
Keren juga logikanya bisa sampai kesana. Rupanya, bukan hanya bahasa dan warna saja yang dimiliki agama tertentu, pohon pun kini memiiki agama.
Bagi Ustaz ini pohon cemara dianggap sebagai pohon Nasrani. Padahal kalau mau fair dan sedikit berusaha mencari tahu lewat mesin peramban Google, menelisik lebih jauh ke belakang justru pohon kurma seharusnya menjadi pohon Nasrani. Karena sebagian riwayat mengisahkan bahwa Isa Al Masih dilahirkan di bawah pohon kurma.
Tadinya saya sempat mau marah-marah juga mendengar dan menyaksikan video ceramah iu, tapi buat apa juga.
Ceramah dengan tajuk "Prioritas Tauhid" ini awalnya mengupas masalah Darwinisme, mengacu pada teori Darwin. Tapi entah kenapa tiba-tiba loncat  jadi membahas lagu "budak" yang menjadi lagu wajib anak-anak tahun 80-an dan 90-an.
Saya tahu persis lagu itu dinyanyikan seperti apa lirik dan melodinya, walau saya tahu juga siapa penciptanya. Namun tak tahu persis riwayat penciptanya tersebut, apakah benar beliau-beliau ini anti Islam seperti yang disebutkan Ustaz tersebut.
Kembali, peramban Google bekerja, saya ketik A.T. Mahmud Pencipta Balonku. Kemudian munculah informasi bahwa Abdulah Totong Mahmud ini lahir di Palembang tahun 1930, nama panggilannya Dola dan ia sempat ikut berjuang pada masa revolusi.
Kemudian ia menjadi guru musik dan menjadi pencipta lagu, selain Balonku, ia menciptakan banyak lagu anak lain seperti Ambilkan Bulan, Bu, Amelia, Anak Gembala dan banyak lagi lagu lainnya.
Bahkan ia pun kemudian menciptakan lagu-lagu anak bernafas Islami. Sebuah penerbit kemudian membukukan lagu-lagu Islami ciptaan AT Mahmud ini dengan judul "Mustika Dzikir Nyanyian Islami Berdasarkan Hadist"
Lah bagaimana bisa dengan latar belakang seperti itu berikut berbagai pengakuan berupa penghargaan dari pemerintah dan masyarakat muslim,memiliki agenda menjerumuskan umat Islam lewat lagu Balonku seperti yang diucapkan oleh USTAZ Zainal Abidin. Akal sehat saya tak bisa menerima itu.
Lantas, bagaimana dengan lagu "Naik-Naik Ke Pumcak Gunung" penciptanya Ibu Soed, nama aslinya adalah Saridjah Niung.
Ia dilahirkan di kota yang sama dengan tempat saya besar dan dilahirkan, Sukabumi tahun 1908 dan wafat tahun 1993 di Jakarta.Â
Ibu Soed merupakan seorang pemain musik, guru musik, dan pencipta lagu yang sangat produktif. Ia merupakan maestro pencipta lagu Indonesia.
Selain lagu Naik-Naik Ke Puncak Gunung, Ibu Soed juga menciptakan lagu Tanah Airku, Tik Tik Bunyi Hujan, Berkibarlah Benderaku dan banyak lagi yang lainnya.
Sebagai informasi Ibu Sud merupakan pemain biola saat pertama kali lagu Kebangsaan Indonesia Raya di nyanyikan oleh W.R.Supratman pada tahun 1928.
Dan jangan lupa, Ibu Sud juga merupakan seorang muslimah yang memang taat beribadah dengan pencapaian yang gemilang.
Dengan track record seperti itu apakah kita semua percaya dengan tuduhan bahwa Ibu Sud memiliki agenda tersembunyi yang buruk bagi Islam?
Memang tak bisa dipungkiri di dalam sebuah produksi budaya ternasuk lagu, tersimpan ideologi. Namun tak bisa juga ideologi itu diukur sekenanya apalagi dengan memakai ilmu cocokologi seperti yang dilakukan Ustaz Zainal Abidin itu.
Harus ada penelitian dan penelusuran serius terkait konteks produk budaya itu diciptakan, kemudian pahami pula latar belakang sang pencipta produk budaya tersebut. Tak hantam kromo,hanya untuk mendapat tempat dimata jamaahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H