Maskapai penerbangan Flag carrier milik Pemerintah negara Gajah Putih, Thailand menyatakan diri bangkrut dan kini tengah dalam proses rehabilitasi utang di pengadilan.
Maskapai penerbangan yang dioperasikan Thai Airways International PLC mulai berhenti operasi sejak April 2020 setelah Pemerintah Thailand melakukan Lockdown, dan menghentikan seluruh penerbangan baik domestik maupun internasional di seluruh wilayah Thailand.
Bisnis Thai Airways sebenarnya sudah lama bermasalah jauh sebelum pandemi Corona ini merebak, setelah operasionalnya banyak terhenti.Â
Jumlah penumpangnya merosot drastis, akibatnya pada tahun 2019 mencatatkan kerugian sebesar 12 miliar Bath atau setara dengan Rp. 5,5 triliun rupiah.
Angka sebesar itu terus membengkak sejak kerugian terjadi pada tahun 2013 akibat kompetisi yang sengit di dunia penerbangan ditambah dengan kerugian selisih kurs.
Perusahaan yang 51 persen sahamnya dimiliki Pemerintah Thailand ini kondisinya makin morat-marit setelah Pandemi Covid-19 menghantam seluruh dunia termasuk Thailand.
Saat ini kondisi keuangan Thai Airways sangat parah, mereka dibebani utang sebesar  244,9 miliar Bath atau setara Rp.112 triliun.
Utang tersebut terdiri dari obligasi senilai 74,1 miliar Baht dan sisanya dalam bentuk pinjaman jangka panjang sebesar 46,5 miliar Bath dan pinjaman jangka pendek sebesar 28,2 miliar Bath. Sementara asetnya tercatat sebesar 254 miliar bath.
Setelah menyatakan diri bangkrut atau pailit, Thai Airways akan dilindungi dari penyitaan hingga masalah rehabilitasi utang diselesaikan dengan para kreditor dan disetujui oleh pengadilan, biasanya prosesnya akan berlangsung selama 6 bulan.
Lantas bagaimana masalah refund bagi para calon penumpang yang telah terlanjur membeli tiket berbagai jurusan penerbangan Thai Airways ini?
Perusahaan penerbangan yang sahamnya telah diperdagangkan di Bursa Bangkok ini, tak bisa lagi melakukan refund kepada calon penumpangnya karena telah menyatakan diri bangkrut.