Jika penerapan aturan PSBB atau Lockdown dilakukan dalam jangka waktu yang panjang, roda ekonomi akan berhenti total, akibatnya masyarakat tak akan mampu memenuhi kebutuhan pokoknya, negara akan kebingungan bagaimana menyokong kehidupan warganya, karena pajak yang merupakan penghasilan utama negara pun tak akan mampu dipungut. Karena jika ekonomi berhenti sektor usaha pun ikut berhenti.
Artinya pajak pun tak akan di diperoleh oleh negara, dalam kondisi seperti ini bisa saja negara menjadi bangkrut.
Setelah aspek ekonomi terpapar parah, menyusul kemudian aspek sosial terganggu , keamanan  morat marit dan ujungnya chaos akan terjadi.
Nah, oleh karena itu lah sebagian besar pemerintahan di dunia kini mulai membangun protokol tatanan kenormalan baru, termasuk Indonesia.
Walaupun tentu saja tatanan kenormalan baru ini juga harus berhadapan dengan kemungkinan lonjakan jumlah terinfeksi baru dan kematian akibat Covid-19.
Tak bisa dipungkiri ini pilihan yang sangat sulit, sebuah dilema yang sangat berat bagi siapapun yang memimpin sebuah negara.
Termasuk Indonesia, mungkin ada negara yang beruntung memiliki privilage bisa memiliki pilihan kebijakan yang luas.
Seperti misalnya Selandia Baru yang sudah hampir seminggu ini tak memiliki pasien yang terinfeksi Covid-19.
Tapi tetap saja mereka juga memiliki kemungkinan terpapar kembali, karena faktanya sampai saat antivirusnya belum ditemukan kemungkinan terpapr kembali bisa saja terjadi.
Pro dan kontra pemberlakuan  tatanan kenormalan baru itu sudah dapat dipastikan akan terjadi, apalagi di Indonesia. Jangankan kebijakan yang sulit dan berisiko seperti ini. Kebijakan yang sudah secara telak benar saja selalu berhasil dicari kesalahannya.
Memang harus diakui ada kegamangan yang nyata dari pemerintah  Jokowi dalam menangani Covid-19 ini, tapi tatanan kenormalan baru yang aturan dan sosialisasinya kini tengah dipersiapkan itu adalah sesuatu yang memang harus dilakukan.