Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Anies Baswedan Ditegur Keras Menko PMK Karena Penyaluran Bansos Covid-19 DKI Berantakan

7 Mei 2020   08:20 Diperbarui: 7 Mei 2020   08:25 731
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejumlah pihak kerap kali membandingkan penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia dengan negara lain yang dianggap berhasil menangani penyebaran virus ini hingga menjadi benar-benar terkendali.

Misalnya membandingkan kebijakan yang dikeluarkan oleh Presiden Jokowi  terkait kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dengan kebijakan Lockdown yang ditetapkan oleh Jacinda Ardern Perdana Menteri New Zealand.

Mereka yang membandingkan itu tak sadar bahwa karakteristik sebuah negara dan penduduknya satu sama lain itu berbeda.

Ada prasyarat tertentu sehingga membuat kebijakan lockdown ini bisa berhasil, pertama karekteristik penduduknya, kemampuan fiskal ssbuah negara dan data kependudukan yang mumpuni dan akurat.

Kemampuan fiskal itu nantinya akan berkaitan dengan konsekuensi dari kebijakan lockdown yang mengharuskan masyarakat untuk tetap berada di rumah.

Sehingga konsekuensinya secara ekonomi, kebutuhan penduduk di wilayah yang di lockdown menjadi kewajiban pemerintah, dan jumlah anggaran yang dibutuhkan itu tak sedikit, bahkan sangat besar.

Selain itu, ada prasyarat lain yang tak kalah pemting agar bantuan yang diberikan tak salah sasaran, akurasi data kependudukan.

Apakah kedua prasyarat itu dimiliki oleh indonesia? Saya rasa tidak, sscara fiskal Indonesia tak bagus-bagus amat walaupun jika dipaksakan bisa saja memenuhi kebutuhan pokok masyarakat jika lockdown dilakukan.

Namun apa ada jaminan bantuan sosial yang diberikan akan tepat sasaran, kecuali skema pemberian bantuannya seperti yang dilakukan oleh Jepang misalnya seluruh penduduk Jepang diberi bantuan tunai tanpa terkecuali.

Indonesia tak mungkin melakukan skema bantuan seperti itu, karena anggarannya tak cukup. Indonesia hanya mampu memakai skema bantuan sosial bagi masyarakat golongan terbawah yang masuk ke dalam kategori miskin dan rentan miskin.

Sekedar untuk menaikan kategori penerima ke golongan menengah yang menurut data world bank berjumlah 155 juta orang saja tak mampu.

Makanya kebijakan yang diambil pemerintah Jokowi adalah PSBB yang masih memungkinkan orang tetap melakukan mobilitas untuk melakukan aktivitas ekonomi walau terbatas dan harus mematuhi protokol penanganan Covid-19 seperti menjaga jarak, memakai masker, dan menjaga kebersihan diri.

Dalam kondisi seperti ini saja kondisi ekonomi sudah cukup amburadul, pertumbuhan ekonomi kuartal I 2020 ini seperti yang dirilis Biro Pusat Statistik hanya sebesar 2,6 persen jauh dibawah perkiraan Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia yang berkisar di angka 4,4-4,6 persen.

Artinya konsumsi rumah tangga terpukul hebat akibatnya masyarakat miskin bertambah sangat signifikan, dan pemerintah harus menyiapkan bantuan lebih banyak lagi agar masyarakat miskin mampu bertahan hidup.

Provinsi DKI Jakarta yang paling keras suaranya untuk melakukan karantina wilayah dan memiliki Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) paling besar di banding Provinsi lain saja kedodoran.

Berkali-kali Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan dalam konferensi pers-nya meminta karantina wilayah, namun dalam skema PSBB saja bansos yang diberikan kepada masyarakat berantakan, selain tak tepat sasaran karena data kependudukannya berantakan sehingga ada tumpah tindih pemberian bansos.

Bagaimana skema PSBB mau sukses apabila jaring pengaman sosial -nya berantakan tak jelas. Apalagi kalau karantina wilayah atau lockdown.

Seperti diketahui setiap daerah memiliki kesepakatan tertentu dengan pemerintah pusat terkait pemberian bansos ini, mereka sudah bersepakat ada kriteria tertentu untuk menentukan mana yang dapat bantuan pemerintah pusat, mana yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.

Harapannya tak ada tumpah tindih data penerima, kenyataan di lapangan menurut Menteri Sosial Juliari Batubara, DKI Jakarta ternyata telah melanggar kesepakatan ini.

"Setelah saya cek ke 15 titik, ternyata data penerima  bansos  yang disalurkan Kemensos sama dengan menerima bansos dari DKI,"Ujar Juliari, Rabu (06/05/20) Seperti yang dilansir CNNIndonesia.Com.

Makanya kemudian penyaluran bansos tahap ke 2 ditunda pelaksanaannya oleh Pemprov DKI untuk pemutakhiran data. Walaupun menurut saya, agak sulit dilakukan dalam waktu singkat, karena datanya tak jelas dan bsrantakan.

Selain karena data yang kacau balau, ternyata Pemprov DKI tak memiliki anggaran yang cukup untuk menyalurkan bansos.

Anies Baswedan Gubernur DKI menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melepas tanggungjawab penyaluran bansos untuk 1,1 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM) DKI Jakarta kepada Pemerintah Pusat.

Pemprov DKI melepas tanggungjawab penyaluran bansos tersebut karena mereka tak memiliki anggaran, agak membingungkan memang pengelolaan anggaran di DKI ini, padahal DKI merupakan pemilik APBD terbesar di Indonesia dengan jumlah penduduk yang hampir seperlima Provinsi Jawa Barat yang jumlah penduduknya sekitar 50 juta jiwa.

"Laporan dari Menko PMK, ternyata DKI yang tadinya cover 1,1 juta, mereka tidak punya anggaran dan minta pemerintah pusat yang cover 1,1 juta itu," terang Ani dalam rapat virtual bersama Komisi XI DPR, Rabu (06/05/20). Seperti dilansir CNNIndonesia

Kondisi ini membuat pemerintah pusat tak mempunyai pilihan kecuali menanggung bansos bagi 1,1 juta keluarga  yang seharusnya jadi tanggungjawab Pemprov DKI

"Jadi tadinya 1,1 juta DKI, 3,6 juta jiwa pemerintah pusat, kini semuanya tanggungjawab pusat,"tambah Sri Mulyani.

Akibat dari ketidak kompetenan Anies Baswedan dalam memimpin penyaluran bansos pandemi Covid-19 ini, Anies ditegur keras oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendi.

"Belum lagi sinkronisasi dan koordinasi, misalnya kami dengan DKI ini agak sekarang sedang tarik-menarik ini, cocok-cocokan data, bahkan kemarin saya dengan pak gubernur agak tegang, agak saya tegur keras pak gubernur," Ujar Muhadjir.

Menyangga kebijakan PSBB aja Anies terlihat gagap, apalagi jika lockdown atau karantina wilayah dilakukan seperti keinginannya, bisa jadi kelaparan terjadi dimana-mana.

Memang kondisi penyaluran bansos seperti yang terjadi di Jakarta, juga terjadi diberbagai daerah lain seperti yang diungkapkan oleh salah satu Kepala Desa di Subang Jawa Barat, yang videonya sempat viral.

Artinya Pemerintah Pusat juga harus berbenah secara cepat terkait penyaluran bansos terutama masalah akurasi data, dan jika memungkinkan perluas penerima bansos hingga kelas menengah.

Namun bedanya Pemprov Jawa Barat tak melepas tanggungjawab seperti yang dilakukan oleh DKI Jakarta, sehingga pemerintah pusat harus menomboki.

Entah apa yang terjadi, Anies dalam penanganan Covid-19 ini kerap kali tampak menyalahkan pemerintah pusat, seolah ia lebih cepat dan mampu menangani Covid-19, padahal ujungnya seperti ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun