Sehari-hari dalam kehidupan yang normal saya adalah salah satu pengguna setia Commuter line alias KRL Jabodetabek.Â
Setiap pagi antara pukul 5.30 hingga 6.00 saya berangkat untuk bekerja, dan malam harinya pukul 7-an saya kembali menggunakan KRL untuk kembali ke rumah.
Begitu terus tiap hari kecuali hari Sabtu dan minggu yang memang libur, lebih dari 10 tahun saya menggunakan KRL, tak hanya saya yang menggunakan KRL sebagai backbone transportasi harian menuju ke tempat kerja dan kembali menuju rumah.
Menurut catatan dari PT KCJ ada sekitar 1 juta orang tiap hari menggunakan alat transportasi masal ini. Jadi kita tahu persis betapa pentingnya KRL bagi kita semua penduduk di daerah penyangga namun mengais rejeki di DKI Jakarta.
Suka dan duka serta dinamika saat dalam perjalanan harian tersebut kita rasakan setiap hari, desak-desakan, kadang terlambat karena gangguan dan ditahan-tahan di beberapa stasiun transit terutama Stasiun Manggarai.
Namun KRL merupakan alat transportasi yang sangat efektif dan efesien di tengah kondisi jalanan di Wilayah Jabodetabek yang penuh kemacetan.
Ketika situasi normal menjadi abnormal karena pandemi Covid-19, dengan penyebaran virusnya yang sangat cepat dan sangat mudah tertularkan, kondisi KRL yang padat terutama di peak hours memang situasinya sangat rentan terhadap penularan virus corona seri terbaru SARS NCov-2.
Jika kita amati dan rasakan, agak sulit untuk benar-benar melakukan physical distancing dalam gerbong KRL meskipun pihak operator KRL sudah menegakan aturan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk memutus mata rantai penyebaran virus ini.
Apalagi setelah seluruh Wilayah Jabodetabek mengenakan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang aturannya lebih ketat lagi, tentu situasi dan kondisi di KRL sangat tidak menunjang untuk kebijakan tersebut.
Meskipun pihak PT KCI sudah benar-benar melaksanakan protokol sesuai SOP yang ditetapkan dalam PSBB untuk melakukan physical distancing.
Pembatasan perjalanan coba dilakukan oleh PT.KCI, hasilnya penumpukan terjadi di berbagai stasiun pemberangkatan utama antara stasiun Bogor hingga Depok.
Melihat kondisi ini 2 Gubernur yakni Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan dan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil serta 5 Kepala Daerah  Bodetabek bertemu dengan pihak Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dan PT.KCI berdiskusi untuk menghentikan operasional KRL agar PSBB ini bisa berlangsung secara efektif untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19.
Kata akhir dari kebijakan penghentian ada di tangan Kemenhub yang saat ini dipegang oleh Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan (LBP), karena Menhub definitifnya Budi Karya Sumadi masih harus dirawat karena terpapar virus corona.
Luhut Binsar Pandjaitan seperti kita tahu adalah sosok yang tegas dan bagi sebagian orang kontroversial bahkan disebutkan oleh Said Didu terlalu memikirkan ekonomi dibanding keselamatan masyarakat Indonesia.
Beberapa hari sebelumnya pun kontroversi sudah dibuat oleh pensiunan tentara berbintang 3 ini dengan menandatangani Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) nomor 18 tahun 2020 tentang pengendalian Transportasi Dalam Rangka Mencegah Penyebaran Covid-19.
Salah satu isi dari Permenhub itu sama sekali berlawanan dengan kebijakan PSBB yang dikeluarkan oleh Gubernur DKI, Anies Baswedan sesuai protokol PSBB yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan  yang salah satunya melarang pengemudi ojek online roda dua untuk mengangkut penumpang.
Akibatnya kebingungan terjadi di masyarakat, aturan mana yang harus diikuti, kesan kuat-kuatan tak terelakan apalagi secara politik antara LBP dan Anies dianggap berlawanan.
Seperti kita tahu LBP merupakan salah satu lingkaran dalam yang berpengaruh dalam pemerintahan Jokowi, sementara Anies Baswedan di personifikasikan oleh mereka yang memposisikan dirinya sebagai oposisi sebagai simbol perlawanan, mungkin ini dilihat dari perjalanan politiknya saat ia menjadi Gubernur DKIÂ
Selain itu tak sekali ini saja kebijakan Anies dimentahkan oleh LBP, saat bis antar kota disebutkan akan dilarang masuk Jakarta oleh Anies. LBP mementahkan dan melarang pembatasan tersebut.
Hal ini menjadi sexy secara politik ketika mengadu antara keduanya. LBP memang sosok orang terdekat Jokowi, semenjak awal Jokowi memerintah Indonesia tahun 2014 lalu.
Ia seorang loyalis sejati, yang siap pasang badan atas berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Jokowi, terutama dalam hal kebijakan investasi dan ia kerap kali melakukan overlapping kebijakan ditempat yang bukan merupakan tupoksinya.
Kembali ke masalah permintaan penghentian operasional KRL Jabodetabek oleh sejumlah Kepala Daerah tersebut, seperti sudah diperkirakan sebelumnya, penghentian operasional KRL yang seharusnya dilakukan tanggal 18 April 2020, akhirnya di tolak oleh Menhub ad interim LBP.
Alasan yang diungkapkan Luhut, karena ia banyak menerima laporan bahwa para pekerja di 8 sektor yang diperbolehkan beroperasi saat PSBB dilaksanakan masih banyak yang menggunakan KRL sebagai alat transportasinya.
"Pak Menko Luhut mendapatkan laporan bahwa penumpang KRL itu mayoritas adalah pekerja. Jadi kita juga tidak ingin seperti mereka yang bekerja di fasilitas kesehatan jadi terdampak jika KRL ini disetop operasionalnya," kata Juru Bicara Menko Marves Jodi Mahardi, dalam keterangannya, Jumat (17/4/20) seperti yang dilansir oleh liputan6.com.
Dan memang benar juga sih apa yang diucapkan oleh LBP tersebut. KRL tak bisa dihentikan operasionalnya sepanjang kantor-kantor yang ada di wilayah Jabodetabek masih ada yang beroperasi dan mengharuskan pekerja hadir ditempat kerjanya.
Ini akan menjadi kontra produktif bagi PSBB itu sendiri kalau dipaksakan pemberlakuannya. Seharusnya para Kepala Daerah tersebut memaksa semua kantor untuk menutup operasionalnya terlebih dahulu jadi mobilitas pekerja tak terjadi.
Namun, apakah pemerintah daerah sudah siap dengan konsekuensinya, PHK akan membengkak dan bantuan sosial berubah menjadi kewajiban sosial pemerintah untuk membayar masyarakat agar diam dirumah.
Saat ini saja bansos yang dijanjikan, mayoritas belum sampai ke publik. Jika memang mau benar-benar berhasil PSBB ini bayar semua orang untuk tetap berada di rumah, seperti yang dilakukan oleh Jepang dan Singapura, pertanyaannya apakah secara fiskal kita mampu?
Memang ini sebuah dilema dan kesulitan yang sangat besar bagi seluruh perangkat pemerintah. Tindakan LBP dalam hal ini juga tak bisa disalahkan, sependek pengetahuan saya mungkin Luhut sudah berkonsultasi dengan Presiden Jokowi terkait hal ini.
Luhut memang tampak kontroversial namun pengalaman dan pengetahuannya yang sangat luas serta loyalitasnya tak diragukan lagi, membuat dirinya menjadi salah satu orang yang paling didengar oleh Jokowi dalam menjalankan pemerintahan.
Jadi tak mengherankan juga setiap pemikiran LBP ini hampir pasti dilaksanakan oleh pemerintah, walaupun kata akhir ada ditangan Jokowi.
Kondisi ini yang kemudian dicibir oleh mereka yang menamakan dirinya oposisi, mereka menganggap Jokowi-Maauf Amin ada di bawah Luhut.Â
Ya faktanya sih menurut saya tak seperti itu, hanya saja pandangannya menjadi salah satu referensi utama keputusan Jokowi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H