Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Warga Miskin Paling Rentan Terdampak Covid-19

12 April 2020   15:02 Diperbarui: 12 April 2020   15:30 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berbagai krisis ekonomi sudah pernah dilewati oleh bangsa Indonesia, terakhir krisis moneter yang kemudian bertransformasi menjadi krisis multi dimensi pada tahun 1998.

Tahun 2008 dunia memang sempat terkena krisis keuangan yang lain akibat Sub-Prime Mortgage yang berepicentrum di Amerika Serikat. Tetapi dampaknya tak terlalu berasa sampai ke masyarakat paling bawah di Indonesia.

Namun krisis besar atau kecil tetap saja akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, tingkat kemiskinan dan ketimpangan.

Biasanya krisis yang berujung shock ekonomi di Indonesia penyebabnya gejolak sosial dan politik maupun imbas situasi ekonomi global.

Misalnya seperti pertengahan dan akhir 2019 perang dagang antara dua negara adi kuasa China dan Amerika Serikat, yang secara ekonomi kemudian memengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Berbeda dengan berbagai krisis sebelumnya , krisis yang kini sedang terjadi disebabkan oleh sebuah katastropi akibat pandemi Covid-19.

Kondisi ini tak hanya mengguncang keselamatan dan kesehatan masyarakat. Imbas dari pandemi ini juga mengguncang dengan sangat keras perekonomian dunia, termasuk Indonesia. Situasi ekonomi berpotensi menjadi  tak terkendali.

Hal ini sebenarnya sudah terkonfirmasi setelah International Monetary Fund (IMF) melalui Managing Director-nya, Kristalina Georgieva dalam Konperensi Pers, seperti yang dilansir oleh CNBC Senin (06/04/20)

"Tidak pernah dalam sejarah IMF kita menyaksikan perekonomian global melambat untuk.kemudian berhenti."Ujarnya.

Ia pun meyakini krisis ekonomi yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19 saat ini lebih berat dari berbagai krisis ekonomi dan finansial sebelumnya.

Kondisi ekonomi global yang nyaris berhenti bergulir juga terjadi di Indonesia. Banyak ekonom dan para pakar ekonomi mengkalkulasi dampak pandemi Covid-19 terhadap perekonomian Indonesia.

Jika kita amati dalam satu dekade terakhir, gambarannya sangat jelas bahwa Indonesia selalu mampu menjaga pertumbuhan ekonomi diatas 5 persen per tahun.

Namun demikian pertumbuhan ekonomi yang bisa dibilang moderat namun cenderung tinggi ini, tak serta merta mampu mengurangi angka kemiskinan yang drastis.

Walaupum memang dalam satu dekade terakhir angka kemiskinan di Indonesia menurut catatan Biro Pusat Statistik (BPS) terus mengalami penurunan. 

Bahkan untuk tahun 2019, pertama kali dalam sejarah pemerimtahan Indonesia angka kemiskinan berada di bawah 10 persen, tepatnya di angka 9,22 persen atau setara dengan 24,97 juta jiwa, dari jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah 267 juta jiwa.

Namun angka ini menurut beberapa pemerhati ekonomi dan lembaga penelitian ekonomi bukan merupakan angka riil, karena masalah ketimpamgan yang terjadi.

Hal ini terrefleksi dalam angka Gini Ratio yang masih tinggi, Oh ya, Gini Ratio merupakan rasio yang mengukur ketimpangan ekonomi di suatu wilayah. Rentang angka  Gini ratio ini 0  hingga 1, angka 0 mnunjukan pemerataan total dan angka 1 menunjukan ketimpangan total.  

Indonesia menurut BPS per bulan September 2019 Gini Rationya ada di angka 0,380, hal ini memunjukan masih tingginya ketimpangan.ekonomi di Indonesia.

Nah dengan pertumbuhan ekonomi diatas 5 saja kemiskinan dan ketimpangan masih terjadi, apa jadinya jika ekonomi kita tumbuh lambat bahkan bisa jadi minus akibat pandemi Covid-19 ini?

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sempat menjelaskan skenario pertumbuhan ekonomi 2020 dari yamg paling moderat hingga yang paling parah yakni ada dikisaran angka antara 2,5 persen hingga -0,4 persen.

Memang saat ini gambaran lengkap pengaruhnya terhadap ekonomi makro butuh penelitian lebih lanjut, begitupun dampaknya terhadap warga miskin.

Namun sebagai penghalang engine of growth, pandemi Covid-19 ini memicu sejumlah tantangan bagi perkembangan warga miskin perkotaan di Indonesia.

Jika kita amati sebaran Virus Corona di Indonesia, menurut catatan Gugus Tugas Penanganan Covid-19, 80 persen kasus positif Covid-19 berada di Pulau Jawa.

Kota-kota besar seperti Jakarta dan wilayah sekitarnya, Bodetabek serta kota besar lain seperti Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya menjadi pintu masuk penyebaran Virus corona seri terbaru ini.

Karena perkembangan kota mengikuti hirarki sistem kota-kota, maka gejolak dirasakan bermula dari kota Metropolitan  dan kota-kota besar menjalar ke kota ssdang, kemudian ke kota kecil hingga ke pedesaan.

Pandemi Covid-19 ini juga memberi tantangan pembangunan inklusif di Indonesia. Kenyataan yang menyebutkan bahwa penyebaran Covid-19 justru terjadi pada provinsi dengan nilai indeks yang tinggi untuk nilai Pembangunan Ekonomi Inklusif yang dirilis oleh Bappenas. Seperti  DKI Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Bali.

Selain itu, Pandemi ini juga memicu kerentanan terhadap warga miskin, perlu perhatian ekstra terhadap mereka karena 50 persen masyarakat miskin Indonesia menurut data BPS berada di wilayah perkotaan di Pulau Jawa.

Namun bukan berarti  masyarakat miskin di luar Jawa tak perlu diperhatikan, karena dengan fasilias kesehatan yang kualitas dan kuantitasnya lebih buruk dari Pulau Jawa, begitu terkena, risiko yang harus ditanggungnya menjadi lebih besar dibanding masyarakat miskin di Pulau Jawa.

Kenapa warga miskin perlu ekstra diperhatikan, karena mereka lah yang paling rentan terpapar Covid-19 baik di sisi kesehatan maupun imbas dampak ekonominya.

Mereka tak memiliki kesempatan untuk meningkatkan kualitas kehidupannya  untuk lebih higienis dan makan makanan yang bergizi  misalnya,  karena kualitas hidup mereka memang terbatas.

Penghasilan tak menentu, tempat tinggal kecil dengan anggota keluarga yang banyak dan tinggal di lingkungan yang sangat padat, seperti yang bisa kita lihat di berbagai daerah kumuh dan padat di DKI Jakarta.

Kondisi ini tentu saja tak memungkinkan untuk melakukan Physical Distancing seperti aturan  yang ditetapkan oleh pemerintah. Mereka bukan tak mau melakikan itu, namun kondisi yang memaksa mereka tak bisa melakukan itu.

Selain itu, akses warga miskin terhadap layanan dasar pun sangat rendah . Bagaimana mau hidup higienis seperti sering mencuci tangan dengan baik jika akses terhadap air saja terbatas.

Nah, itu di sisi kesehatan, bagaimana dengan dampak ekonominya bagi mereka? Justru bagi mereka yang lebih menakutkan bukan Covid-19nya, namun sisi ekonominya.

Hal ini terlihat dari mulai maraknya PHK dan dirumahkannya nya para buruh. Menurut Kementerian Tenaga Kerja jumlah tenaga kerja baik buruh maupun pekerja ditingkat bawah yang saat ini telah dirumahkan atau di PHK sudah mencapai 1,2  juta pekerja.

Selain itu, 112 juta pekerja informal dan pengusaha UMKM juga mulai tergoncang. Akhirnya yang tadinya tidak miskin saat ini berpotensi menjadi miskin.

Lantas bagaimana  pemerintah menangani kondisi seperti ini. Terdapat 2 pendekatan yakni meningkatkan pendapatan mereka dan menurunkan beban yang mesti ditanggungg oleh mereka.

2 pendekatan itu memang sudah dilakukan oleh pemerintah Indonesia, untuk jangka pendek pemerintah sudah mengeluarkan berbagai bantuan sosial baik secara tunai maupun pemenuhan kebutuhan pokok, seperti Program Keluaga Harapan (PKH), Kartu Sembako, Kartu Pra kerja yang dimodifikasi, dan bantuan sosial khusus untuk wilayah Jabodetabek dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi warga miskin terdampak Covid-19 diluar Jabodetabek.

Persoalannya, yang  harus diperhatikan adalah ketepatan sasaran, disertai validasi data yang benar-benar terukur. Jangan sampai semua program itu menjadi mubazir, karena uang yang digelontorkan cukup besar Rp.110 triliun rupiah.

Begitupun dengan pengurangan beban masyarakat, seperti penundaan pembayaran ciciilan kepada lembaga keuangan, faktanya saat ini dilapangan mereka kesulitan mendapatkan fasilitas penundaan tersebut, ini yang harus diperhatikan.

Berbeda dengan pembebasan pembayaran listrik bagi pengguna rumahtangga golongan 450 VA dan 900 VA RM 1, yang lebih mudah diaplikasikan.

Untuk jangka panjang mungkin pemerintah perlu melakukan revisi terhadap konsep-konsep.perkotaan di Indonesia. Agar kota bisa lebih smart dan lingkungannya sustainable.

Yah, Covid-19 ini memang tantangan bagi kita semua terutama bagi pemerintah, mari kita sama-sama kompak memutus rantai penyebaran virus ini, dengan cara tetap dirumah saja, tunda dulu lah mudiknya, agar semua bisa cepat kembali pulih seperti sedia kala.

Dan ekonomi bisa terus bergulir, warga kembali bisa mengais rezeki secara normal. Dan jadikan ini pelajaran bagi masa-masa yang akan datang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun