Shock akan terjadi di kedua sisi, supply dan demand. Dari sisi supply terlihat dari penutupan pabrik dan kegiatan produksi. Gelombang PHK yang terus terjadi dan tak terelakan akan membuat daya beli masyarakat menurun, akibatnya konsumsi barang pun akan menurun pula.
Dari sisi demand  kebijakan PSBB membuat keleluasan masyarakat untuk mengkonsumsi barang juga menurun. Akibatnya produksi barang pun turun dan akhirnya pendapatan perusahaan mengikuti arah penurunan ini, dan ujungnya perusahaan akan menurunkan biaya produksinya, termasuk melakukan PHK.
Untuk mencegah agar gelombang  PHK tak berlangsung masif Pemerintah diharapkan bisa mengeluarkan berbagai stimulus.
Diantaranya relaksasi PPh21, PPh 22, dan PPh 25 serta pembebasan PPN selama 6 bulan. Instrumen ini diberikan secara terbatas, terutama bagi industri yang paling terdampak dan menyasar UMKM dan sektor padat karya seperti manufaktur dan Pariwisata.
Pembebasan Iuran BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan dalam kurun waktu 6 bulan.Â
Kemudian  memberikan insentif khusus bagi perusahaan yang mengubah lini bisnisnya untuk memenuhi kebutuhan alat-alat medis.
Restrukturisasi pembayaran dan bunga kredit, termasuk di dalamnya  kelonggaran angsuran kepada UMKM dan driver transportasi online.
Beberapa hal memang sudah dilakukan oleh pemerintah, walaupun masih kita tunggu praktik di lapangannya , karena terkadang kebijakan diatas tak sesuai dengan kebijakan di tataran pelaksanaan.
Untuk urusan kartu pra-kerja saja pelaksanaannya terus diundur-undur dengan berbagai alasan. Presiden Jokowi mengungkapkan bahwa tanggal 9 April 2020 Kartu Pra-Kerja sudah siap berjalan, nyatanya diundur hingga tanggal 11 April 2020.
Saya coba memahami kesulitan yang terjadi, namun dalam kondisi tertekan masyarakat terutama para pekerja yang terkena PHK bisa berbuat apa saja.
Jika memang diperlukan setelah melalui kajian, dan ditemukan hasil bahwa RUU Omnibus Law bisa mengakselerasi recovery perekonomian terutama di sisi ketenagakerjaan, ya bahas dan sahkan.