Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menakar Keberlangsungan BPJS Kesehatan, Setelah Kenaikan Iurannya Dibatalkan MA

10 Maret 2020   07:37 Diperbarui: 10 Maret 2020   08:25 1526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mahkamah Agung (MA)  mengabulkan permohonan Judicial Review untuk menganulir Pasal 34 ayat 1 dan 2 Peraturan Presiden nomor 75 tahun 2019 Tentang  Jaminan Kesehatan.

Dengan dikabulkannya permohonan tersebut, maka kenaikan tarif iuran BPJS Kesehatan yang sudah diberlakukan Pemerintah sejak tanggal 1 Januari 2020, dibatalkan.

Tarif iuran BPJS Kesehatan kembali ke tarif sebelum kenaikan itu berlaku, yakni;

Kelas III sebesar Rp.25.500 per orang per bulan                 

Kelas II  sebesar Rp.51.000 per orang per bulan                 

Kelas I    sebesar Rp.81.000 per orang per bulan

Permohonan yang diajukan oleh Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) dikabulkan 3 Hakim yang mengadili Judicial Review tersebut dengan alasan, bahwa Pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres no75/2019 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 23, Pasal 28 dan Pasal 34.

Selain itu, hakim menganggap Perpres tersebut bertentangan dengan Undang -Undang nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

"Menyatakan Pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata juru bicara MA, hakim agung Andi Samsan Nganro Senin (09/03/20). Seperti yang saya kutip dari Detik.com.

Putusan judicial review ini  bersifat mengikat dan pemerintah tak bisa banding atau upaya hukum lain untuk membatalkan putusan hakim MA tersebut.

Berbeda dengan perkara pidana atau perdata, putusan MA masih bisa banding dengan memakai mekanisme Peninjauan Kembali (PK).

"Putusan MA itu kalau judicial review, itu putusan yang final. Tidak ada banding soal putusan judicial review," kata Mahfud MD, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang kini jadi Menkopolhukam di Kemenko Polhukam. Seperti yang dilansir detik.com.

Artinya pemerintah harus melaksanakan putusan pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini, segera setelah surat putusannya diterima oleh pemerintah karena sudah berkekuatan hukum tetap.

Nah permasalahannya sekarang, dengan putusan MA tersebut, Bagaimana  nasib BPJS Kesehatan, apakah keberlangsungannya akan terus ada atau dimatikan oleh pemerintah?

Hal itu mengacu pada ucapan Menteri Keuangan bahwa kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebuah keharusan untuk menjaga sustainability BPJS.

Karena seperti kita tahu, keuangan BPJS Sejak dari awal pendirian sampai hari ini selalu mengalami defisit, dan defisitnya eskalitif terus naik dari tahun ke tahun.

Selain itu, Desember 2019 lalu Pemerintah Cq Kementerian Keuangan telah mengucurkan dana talangan untuk kenaikan iuran 1 Januari 2020 sebesar Rp. 13,5 triliun.

Bisa saja Kemenkeu menarik kembali dana talangan yang dipergunakan oleh BPJS untuk menambal tagihan-tagihan yang telah jatuh tempo ke berbagai rumah sakit.

Karena menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, jika kenaikan iuran itu dibatalkan maka pengucuran dana talangan tersebut berpotensi besar menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan dianggap melanggar hukum.

Saat ini Kemenkeu sedang pusing dan harus memutar otak  untuk mengatasi permasalahan ini.

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan bahwa mereka sedang membahas implikasi dari putusan MA yang membatalkan kenaikan iuran BPJS tersebut.

"(Untuk kucuran dana yang telah disalurkan), itu nanti konsekuensinya seperti apa setelah kita dalami keputusan tersebut, dan konsekuensinya. Tentu kita ini kan harus bicara dengan kementerian lain," jelas Suahasil, Senin (09/03/20). Seperti yang dikutip dari Kompas.com.

Sebagai tambahan informasi, Pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 telah menganggarkan sebesar Rp. 48,8 triliun untuk menambal defisit BPJS Kesehatan.

Angka ini naik cukup tinggi di banding APBN 2019 yang sebesar Rp. 26,7 triliun. Sementara untuk tahun ini, akhir Januari lalu  Kemenkeu sudah merealisasikan dana talangan  sebesar Rp. 4,03 triliun.

Defisit BPJS Kesehatan yang semakin dalam setiap tahunnya terutama disebabkan oleh 4 hal yakni:

Pertama, struktur iuran BPJS masih terlalu muarah dibawah  perhitungan aktuaria. Jadi iurannya terlalu kecil sementara manfaatnya terlalu banyak.

Kedua,  banyaknya Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) atau Peserta Mandiri dari sektor informal yang hanya membayar saat dirinya sakit saja, kemudian berhenti membayar iuran saat dirinya sudah sehat.

Ketiga, tingkat keaktifan peserta mandiri untuk.membayar sangat rendah hanya 54 persen, sementara utilitasnya sangat tinggi.

Keempat, beban pembiayaan BPJS Kesehatan untuk.penyakit katatropik seperti Jantung dan Kanker itu sangat besar, 20 persen dari seluruh pembiayaan BPJS ya untuk penyakit ini.

Jika berkaca pada 4 hal tersebut, setelah putusan MA yang membatalkan kenaikan tersebut menghilangkan sebab pertama dengan cara menaikan iuran tak dapat dilakukan lagi dalam jangka pendek.

Agar keberlangsungan BPJS K terus bisa dipertahankan ditengah defisit yang semakin dalam.

Saya rasa pemerintah harus mengoptimalkan mengatasi permasalahan defisit kedua dan ketiga, yakni meningkatkan sanksi bagi peserta mandiri yang hanya mau enaknya saja.

Membayar ketika sakit dan berhenti membayar ketika sehat, hal ini bisa diatasi dengan ketegasan pemerintah memakai cara membatasi akses terhadap berbagai layanan lain, seperti perbankan, pembayaran STNK kendaraan bermotor misalnya.

Selain itu penagihan secara door to door juga patut di coba. Masyarakat juga seharusnya sadar bahwa membayar BPJS itu adalah bagian dari kewajibannya bukan hanya ingin enaknya saja.

Sekarang Pemerintah harus benar-benar tegas dalam menegakan aturan main terutama terkait pembayaran dan jangan lupa rasanya harus ada penyegaran di jajaran Direksi BPJS Kesehatan.

Dan pemerintah bisa memakai pendapatan dari cukai rokok dan cukai minuman kemasan untuk.menambal defisit BPJS ini, dan keberlangsungan BPJS Kesehatan harus tetap dipertahankan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun