Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Seleksi Dirut TVRI Dihentikan dan BPK Beberkan 6 Kesalahan Dewas TVRI, Helmy Yahya Dirut Lagi?

27 Februari 2020   06:30 Diperbarui: 27 Februari 2020   06:57 654
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Polemik di TVRI  terus berlanjut, upaya Dewan Pengawas TVRI untuk mencari pengganti Helmy Yahya sebagai Direktur Utama TVRI terancam gagal.

Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meminta proses seleksi Dirut TVRI yang kini sudah memasuki tahap ke 2 untuk dihentikan sementara.

Alasannya karena ada beberapa persoalan administrasi yang harus diperbaiki. 

"Kami ingin proses seleksi yang dilakukan oleh Dewas itu bisa tertib administrasi, tertib anggaran juga dan lain-lain. Karena ini terkait juga dengan anggaran untuk melakukan proses seleksi, maka ini perlu dilaporkan dulu kepada DPR," ujar Meutya Hafidz, Ketua Komisi I DPR di Gedung Parlemen Senayan, Selasa(25/02/20). Seperti yang saya kutip dari Kompas.com.

Seperti diketahui proses seleksi pemilihan Dirut TVRI mulai dilaksanakan tanggal 3 Februari 2020 yang lalu dengan jumlah peminat sebanyak 30 orang.

Setelah melakukan seleksi tahap satu, diketahui yang berhasil lolos ke tahap II sebanyak 16 orang.

Namun dalam perjalanan seleksi pihak internal TVRI yang menamakan dirinya Komite Penyelamat TVRI (KMT) melaporkan Dewas ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).

KMT beranggapan bahwa Dewas menjalankan seleksi Dirut TVRI tak sesuai dengan etik.

Saat semua pihak tengah menjalankan proses menangani kisruh dalam tubuh TVRI, termasuk Komisi I DPR, Dewas malah bersikeras lakukan proses selekai Dirut.

"Inikan namanya tidak menghormati DPR sebagai lembaga legislatif yang beritikad baik untuk menyelesaikan ini." Ujar Ketua Presdium KMT  Agil Samal.

Namun Dewas tetap pada pendiriannya bahwa proses seleksi penggantian Dirut tak perlu izin KASN. Walaupun demikian menurut Ketua Dewas TVRI Arief Hidayat Thamrin mereka sudah berkordinasi dengan KASN.

"Sudah mendapat penjelasan dari KASN bahwa tidak diperlukan rekomendasi apalagi izin dari KASN," kata Arief seperti dikutip dari Kompas.com, Minggu (24/2/2020).

Proses seleksi ini bermaksud untuk diteruskan oleh Dewas mengingat kebutuhan keberadaan Dirut dalam manajemen TVRI.

Sampai kemudian dihentikan sementara oleh DPR. Namun demikian bukan berarti para peserta seleksi yang kini tinggal berjumlah 15 orang, setelah Suryopratomo Dirut Metro TV yang mengikuti seleksi tahap pertama dan dinyatakan lolos, mengundurkan diri.

Sementara itu, Badan Pemeriksa Keuangan hari ini Rabu (26/02/20) merilis hasil audit kinerja jajaran Direksi dan Dewas TVRI, yang disebut Laporan Hasil Pemeriksaan(LHP) kepada DPR.

Kontan.co.id
Kontan.co.id
Laporan yang diserahkan ini merupakan kinerja pelaksanaan tugas TVRI Tahun 2017 hingga 2019.

Menurut anggota III BPK, Achsanul Qasasi terdapat 6 temuan yang dipicu oleh Dewas yang mengakibatkan hubungan antara Dewas dan Dewan Direksi tidak harmonis.

"Intinya temuan ada yang cukup signifikan. Ini pemeriksaan kinerja, itu lebih mengarah kepada ketaatan terhadap aturan yang dibuat oleh negara, Presiden, Menteri dan TVRI itu sendiri," kata Achsanul di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (26/2/2020). Seperti yang dikutip dari Detik.com.

Untuk lebih jelas berikut 6 hal yang menurut BPK sebagai pemicu kisruh di Lembaga Penyiaran Pemerintah Televisi Republik Indonesia (LPP TVRI).

Pertama, Dewas memiliki kewenangan dan tugas untuk mengangkat dan memberhentikan Dewan Direksi.

Syarat pemberhentiaannya sesuai dengan pasal 24 ayat 4, yang berbunyi Jika Dewan Direksi tidak melaksanakan ketentuan peraturan perundangan undangan; terlibat hal yang merugikan lembaga; dipidana dan sudah berkekuatan hukum tetap; dan tidak memenuhi syarat sebagai Dewan Direksi.

Namun kenyataannya, Dewas menambahkan aturan pemberhentian melalui hasil penilaian kinerja berdasarkan pemeriksaan Dewas yang cenderung subyektif.

Dewas menilai secara bervariasi tanpa ukuran yang jelas. Selain itu Dewas pun menambahkan 10 indikator penilaian yang tak tercantum dalam kontrak manajemen.

Kedua, menurut Pasal 18 Ayat 1 Dewas itu merupakan jabatan non eselon. Jabatan Dewas TVRI tak diatur aturan apapun kecuali Peraturan Pemerintah (PP)  nomor 13 tahun 2005 dan PP nomor 12 tahun 2005.

Namun kemudian Dewas TVRI itu menafsirkan sendiri bahwa mereka adalah pejabat negara setingkat menteri, ketua/anggota KPK dan BPK.

Konsekuensinya maka mereka mendapatkan tunjangan transportasi sebesar Rp. 5 juta per bulan, mendapat fasilitas kendaraan dan penerbangan kelas bisnis setingkat pejabat-pejabat negara tersebut.

Ketiga, seharusnya sesuai dengan Pasal 42 TVRI seharusnya memiliki Pejabat Pembina Kepegawaian.

Faktanya TVRI tak memiliki PPK, sehingga untuk penambahan pegawai yang bertanggung jawab dan berwenang adalah Menteri  Komunikasi dan Informatika (Menkominfo).

Kondisi ini membuat TVRI tak bisa menambah jumlah pekerja di tengah mulai menuanya para pegawai TVRI.

Keempat, keputusan Dewas TVRI nomor 2 tahun 2018 tak sesuai dengan PP no 13/2005. Keputusan tersebut memberi kewenangan kepada Dewas untuk mengangkat tenaga ahli atau staf khusus untuk membantu tugas dan fungsi Dewas.

Padahal untuk membantu tugas mereka sudah ada kesekretariatan yang berada dibawah Dewan Direksi.

Selain itu, keputusan tersebut memberi kewenangan Dewas untuk mengajukan pertanyaan, mengakses data dan informasi, memantau tempat kerja, serta sarana dan prasarana.

Nah hal ini lah yang membuat tumpang tindih tugas pengawasan dengan Satuan Pengawas Internal.

Lantas mereka pun ikut menentukan besaran gaji dan tunjangan Dewan Direksi, padahal aturan tersebut sudah diatur oleh Kementerian Keuangan melalui Surat Menteri keuangan nomor 566/MK-02/2017.

Kelima, dalam Keputusan Dewas yang sama namun mengatur perjalanan dinas Dewan Direksi begitu ketat.

Perjalanan dinas Direktur Utama TVRI baik di dalam negeri maupun ke luar negeri harus atas izin Dewas.

Perjalanan dinas dalam negeri Dewan Direksi harus atas izin Dirut, sedangkan jika ke luar negeri harus atas izin Dewas, yang kepentingan dan urgensinya disesuaikan.

Keenam, kembali Keputusan Dewas TVRI no 2/2018 memakan korban melalui Pasal 48 ayat 8 "anggota Dewan Direksi dapat diberhentikan sebelum habis masa jabatannya apabila tidak dapat memenuhi kontrak manajemen.

Padahal dalam aturan yang lebih tinggi dalam PP no 13/2005, Dewan Direksi hanya bisa diberhentikan jika tidak melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan; terlibat merugikan lembaga; dipidana dengan keputusan hukum tetap; dan tidak memenuhi syarat sebagai Dewan Direksi.

Jika kita amati, temuan hasil audit BPK ini, terlihat jelas Dewas LPP TVRI melalui aturan yang mereka buat sendiri melampaui aturan yang diatasnya.

Artinya Dewas sudah berlaku sewenang-wenang. Temuan BPK ini nantinya akan ditindaklanjut ioleh DPR.

Tapi apakah kemudian akan mampu mengembalikan Helmy Yahya sebagai Dirut TVRI, kita lihat bagaiman DPR menyikapi hal ini.

Bisa saja sih sebenarnya, karena kinerja Helmy  sebagai Dirut itu bagus sekali. Helmy disebutkan telah memenuhi 100 persen target kinerja yang ditetapkan dibeberapa sektor.

Dengan kriteria seperti itu seharusnya poin Helmy itu bisa 5 atau paling tidak 4. Tak seperti penilaian Dewas berikan hanya 1 atau paling tinggi 2.

Selain temuan yang diungkapkan, BPK juga memberikan rekomendasi kepada Pemerintah untuk mencabut Peraturan Dewas nomor 2 tahun 2018 tersebut karena tak sesuai aturan diatasnya.

Sebetulnya pihak Istana tak happy dengan pemecatan Helmy Yahya sebagai Dirut TVRI oleh Dewas TVRI, karena bukan di dasari buruknya kinerja namun kekisruhan yang berawal dari pertikaian internal.

Hal ini diungkapkan oleh anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Muhammad Farhan.

"Mensesneg dalam rapat dengan sembilan fraksi Komisi 1 menyatakan, RI 1 (Jokowi) tidak happy dengan pemecatan terhadap Dirut TVRI karena isunya bukan performa, tapi isunya adalah pertikaian Dewan Pengawas vs Dirut," ujar Farhan, Senin (24/2/2020). Seperti yang dilansir oleh Wartaekonomi.com.

Apakah ini menjadi pertanda bahwa Helmy Yahya  akan kembali menduduki Jabatan Dirut TVRI, dan balik Dewan Pengawas akan diberhentikan? 

Entahlah, yang jelas Presiden lah yang paling berhak dan memiliki kewenangan untuk melakukan itu. Sudah waktunya Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia turun tangan menyelamatkan TVRI dari kekisruhan akibat kesewenang-wenangan Dewan Pengawasnya.

Sumber: [1] [2] [3] [4]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun