Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Pro dan Kontra Omnibus Law, Haruskah Memihak Buruh?

21 Februari 2020   08:10 Diperbarui: 21 Februari 2020   10:15 817
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja draftnya kini sudah diserahkan Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat DPR, untuk dibahas dan kemudian setelah disepakati bersama, akan disahkan untuk diundangkan.

Pro dan kontra dalam perjalanan sebuah  Rancangan Undang-Undang (RUU) itu biasa terjadi, apalagi Omnibus Law ini merupakan sesuatu yang baru bagi hukum tata negara Indonesia.

Dan ingat akan ada 79 Undang-Undang dan 1244 Pasal yang bakal direvisi oleh omnibus law ini. 

Omnibus Law disusun agar aturan yang tumpang tindih dan dianggap akan mengganggu iklim investasi di Indonesia bisa dipangkas.

Silang sengketa antar pasal memang sudah diperkirakan akan terjadi, apalagi pemerintah mengerjakannya dengan terburu-buru.

Saking terburu-burunya hingga alasan yang menggelikan pun dipakai pemerintah untuk menangkis keanehan dalam Pasal 170 RUU ini.

"Salah ketik" katanya, ah aya...aya wae.

Selain itu, ketidakpuasan dari berbagai pihak pun sudah dapat dipastikan akan hadir memenuhi atmosfer penyusunan RUU Omnibus Law ini.

Banyak kepentingan yang menyeruak masuk dan kadang saling bertentangan satu sama lain ke dalam penyusunan Omnibus Law ini, jadi tak heran jika kemudian terjadi perdebatan dan kegaduhan.

Tapi, ini kan masih RUU belum menjadi UU dan posisinya masih di awal pembahasan. Sangat bisa kemudian berbagai pihak duduk bersama dan menyelaraskan pasal per pasal agar bisa sinkron.

Namun tak perlu harus secara membabi buta memaksakan keinginannya agar di akomodasi dalam RUU Omnibus Law ini.

Kaum buruh merupakan pihak yang paling lantang menentang RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja ini.

Mereka menganggap, jika RUU ini di undangkan dapat mereduksi kesejahteraan buruh. Menurut mereka terdapat 9 poin dalam Omnibus Law Ciker ini yang berpotensi merugikan kepentingan kaum buruh.

Hilangnya ketentuan upah minimum di Kabupaten/Kota itu poin pertama keberatan mereka. Menyusul kemudian.

Masalah aturan pesangon yang kualitasnya dianggap menurun  dan tanpa kepastian.

Ketiga, masalah penggunaan tenaga outsourcing akan semakin bebas dan meluas.

Keempat, sanksi pidana bagi perusahaan yang melanggar dihapus.

Kelima, aturan jam kerja yang akan ditetapkan nantinya terkesan sangat eksploitatif.

Keenam, mereka menganggap PHK akan lwbih mudah dilakukan perusahaan.

Ketujuh, karyawan kontrak akan semakin sulit diangkat menjadi karyawan tetap.

Kedelapan, menurut mereka jaminan sosial dan jaminan kesehatan akan hilang dengan RUU ini.

Kesembilan, Tenaga Kerja Asing (TKA) akan lebih bebas memasuki pasar kerja di Indonesia, bahkan untuk pekerjaan kasar sekalipun.

Kesembilan poin itulah yang membuat kaum buruh meradang dan menolak dengan keras RUU Omnibus Law Ciker ini.

Ya sah-sah saja sih sebenarnya memperjuangkan sesuatu yang menjadi kepentingannya. Namun harus diingat, ada kepentingan lain yang harus diakomodasi juga dalam RUU ini.

Apakah semua isi RUU ini harus menguntungkan kaum buruh saja, sementara pihak investor dan pengusaha diabaikan.

Terus kemudian memframing seolah jika tak memihak buruh berarti tak memihak rakyat?

Sebuah Undang-Undang itu harus adil bagi semua pihak tak boleh dengan sengaja menguntungkan salah satu pihak.

Buruh dan pengusaha itu seharusnya simbiosis mutualisme, kerjasama saling menguntungkan. Ingat, tanpa pengusaha atau investor buruh tak akan mendapatkan pekerjaan.

Begitu pun pengusaha, tanpa buruh atau pekerja mereka tak akan dapat berproduksi dan menghasilkan keuntungan di ujungnya.

Jadi duduk bersamalah, kompromi cari jalan terbaik untuk mencapai kesejahteraan bersama. Jangan pernah memaksakan kehendak satu sama lain.

Sumber.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun