Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Jokowi Ogah Pulangkan WNI Mantan ISIS, Sudah Benar?

6 Februari 2020   16:32 Diperbarui: 6 Februari 2020   16:33 402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Belum ada keputusan yang pasti sebenarnya terkait pemulangan mantan kombatan dan Warga Negara Indonesia yang sempat bergabung dengan ISIS. Namun secara pribadi Presiden Jokowi sudah menyatakan. bahwa dirinya tidak mau memulangkan mereka kembali ke Indonesia.

"Kalau bertanya pada saya, ini belum ratas lo ya, kalau bertanya pada saya, saya akan bilang 'tidak'. Tapi masih dirataskan. Kita ini pastikan harus semuanya lewat perhitungan kalkulasi plus minusnya semuanya dihitung secara detail dan keputusan itu pasti kita ambil di dalam ratas setelah mendengarkan dari kementerian-kementerian dalam menyampaikan. Hitung-hitungannya," kata Jokowi di Istana Negara, Jakarta Pusat, Rabu (5/2/2020). Seperti yang saya kutip dari Detik.com.

Kekalahan ISIS pada pertengahan tahun 2019 ternyata menjadi masalah bagi banyak negara yang warga negaranya sempat bergabung bersama pasukan pimpinan Abu Bakr Al Bagdhadi ini.

Jumlah pendukung ISIS dari berbagai negara di dunia itu tak sedikit, menurut data yang diterbitkan oleh International Center of Counter Terorism (ICCTT). Propaganda yang dilakukan oleh ISIS berhasil memengaruhi banyak simpatisan dari seluruh penjuru dunia. Data tahun 2015 menunjukan paling tidak terdapat 27.120 orang simpatisan ISIS dar berbagai kawasan di dunia.

Dari, Eropa ada sekitar 5000 orang, Negara-Negara bekas Uni Soviet 4.700 orang, Amerika Utara 280 orang, Afrika Utara 8.000 orang, Timur Tengah 8.240 dan Asia Tenggara 900 orang, 600 orang diantaranya merupakan Warga Negara Indonesia.

Jumlah tersebut mungkin saat ini sudah berkurang jauh, karena sebagian pengikut ISIS sudah banyak yang meninggal akibat pertempuran dan sebagian lainnya melarikan diri ke negara-negara yang ada disekitarnya.

Simpatisan ISIS yang berasal dari Eropa kini terdapat di dua Camp tahanan di Suriah, yakni Camp Al Hol dan Ain Issa. Kebanyakan mereka yang menghuni kedua camps tersebut adalah anak-anak kecil yang ditinggal mati oleh orang tuanya.

Negara-negara di Eropa seperti halnya Indonesia mengalami dilema terkait pemulangan mereka ke negara masing-masing. Karena mereka berpikir dan takut doktrin terkait terorisme masih melekat kuat dalam diri mereka sehingga ke depan akan menjadi ancaman di dalam negerinya masing-masing.

Tak seperti warga negara yang tekena Virus Corona, tinggal di karantina selama dua pekan lantas dilakukan observasi dan cek kesehatan yang ketat dan permasalahan akan selesai, virus itu tak akan menyebar kemana-mana.

Berbeda dengan virus Doktrin ISIS yang sudah melekat dalam alam pikiran mereka, akan sangat sulit untuk mengukur kapan waktunya ia sudah dapat dinyatakan bebas meskipun sudah dilakukan deradikalisasi berkali-kali. Bisa jadi doktrin itu akan melekat seumur hidupnya.

Memulangkan mereka kembali seolah memasukan monster yang bisa saja tiba-tiba menjadi sumber masalah baru di dalam negeri masing-masing. Belum lagi kemungkinan mereka menyebarkan virus ISIS itu kepada orang-orang disekitarnya, keamanan negara bisa menjadi sangat terancam.

Pemerintah Indonesia dalam posisi yang sangat sulit dan dilematis menghadapi 660 orang WNI mantan pengikut ISIS ini. Disatu sisi mereka memang merupakan WNI, tapi secara sadar mereka sudah mengingkari kesetiaannya pada negara, bahkan beberapa diantaranya sudah membakar Paspor Indonesia milik mereka dan menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia adalah Thogut dan perlu di lawan.

Jelas sekali bahwa bergabung dengan ISIS untuk menjadi tentaranya, merupakan pelanggaran konstitusi Indonesia. Sementara di sisi lain Pemerintah Indonesia pun memiliki tanggung jawab moral untuk mengurus warga negaranya yang saat ini tengah terlunta-lunta di Suriah. Dilematis sekali memang.

Sumber: diyaruna.com
Sumber: diyaruna.com

Nah, ketika isu ini mulai naik kepermukaan, masyarakat pun ikut terbelah. Sebagian mendukung pemulangan mereka kembali ke Indonesia, sebagian lain menolak dengan sangat keras.

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pun tak satu suara terkait masalah pemulangan mereka yang pernah silau oleh propaganda Al Bagdhadi tentang sebuah ke khalifahan Islam tersebut.

Mekanisme repatriasi mereka pun masih terus menuai perdebatan, meskipun kebanyakan dari WNI mantan ISIS itu terdiri dari perempuan dan anak-anak.

Menbawa pulang mereka ke Indonesia tak semudah memulangkan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri, atau seperti memulangkan WNI yang berada di Wuhan yang tertahan karena berada di pusaran penyebaran Virus Corona.

Jika mereka kembali ke Indonesia ada konsekuensi khusus yang harus disiapkan oleh Pemerintah Indonesia. Mungkin ini menjadi tugas berat bagi Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) yang memiliki tugas mengkordinasi urusan pencegahan dan penumpasan terorisme di Indonesia.

Mereka perlu melakukan kajian dan assesment yang mendalam terhadap mereka, dengan melibatkan berbagai Kementerian, Organisasi-organisasi Keagamaan yang memiliki pandangan moderat seperti NU dan Muhammadiyah serta  Universitas-Universitas.

Karena, diakui atau tidak di dalam otak mereka pasti masih ada sisa-sisa ideologi teror yang sejalan dengan ISIS.

Atau bisa juga mencontoh skema pemulangan yang dilakukan oleh beberapa negara-negara Eropa seperti Perancis, Belanda, dan Austria. Mereka hanya membawa pulang anak-anak yang sudah yatim piatu, langkah yang sama kini masuk dalam perencanaan pemerintah Inggris untuk memulangkan warga negaranya yang terpapar konsep ISIS.

Demikian pula Pemerintah Jerman saat ini sedang mengambil langkah-langkah yang pasti guna merepatriasi anak-anak mantan ISIS, namun tetap menolak ibunya atau orang dewasa mantan ISIS. Walaupun hal ini juga masih jadi perdebatan karena bisa saja ibunya dan orang dewasa tersebut sudah tak terpapar ideologi ala ISIS tersebut.

Indonesia bisa saja belajar kepada negara-negara tersebut sebelum proses pemulangan dilakukan, Jika memang mau dipulangkan. Terakhir, Jika misalnya mereka diizinkan untuk kembali pastikan penegakan hukum berjalan dengan tegas dan adil. Adili mereka dengan terbuka, hal ini bisa menjadi pelajaran bagi siapapun yang mencoba bertindak serupa.

Hukum mereka, hal ini memberikan pesan kepada siapapun, bahwa setiap tindakan terorisme yang menggangu stabilitas keamananan nasional akan ditindak tegas.

Sumber.

ICCT, Detik

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun