Pada dasarnya sebuah kebijakan yang dibuat oleh siapapun tak akan menyenangkan semua pihak, terlepas dari kebijakan itu oleh sebagian besar dianggap baik apalagi  buruk.
Kebijakan yang baik itu tentu saja mengacu kepada beberapa standar, apakah kebijakan itu bermanfaat bagi masyarakat luas, apakah prosedur pengambilan kebijakan itu sudah benar sesuai dengan tertib administrasi yang sudah ditetapkan, dan pelaksanaannya sesuai dengan konsep atau skema yang sudah disepakati semua pihak.
Entah kenapa jika yang mengambil kebijakan ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, di bawah Gubernur Anies Baswedan selalu menimbulkan kontroversi dan menimbulkan kegaduhan.
Masih ingat terkait pembuatan karya seni yang di pajang sekitar Bunderan Hotel Indonesia berupa Instalasi Getah Getih yang terbuat dari bambu, pemasangan dan pembongkarannya pun dikupas habis dan menjadi ramai, terutama di media sosial.
Kemudian pelebaran trotoar yang konon katanya akan membuat Jakarta itu menjadi surganya pejalan kaki dan berpotensi mengurangi polusi udara, ribut juga. Rencana penyelenggaraan event Balapan Formula E kemudian dikaitkan dengan berbagai hal, tak kurang juga gaduhnya.
Kemudian, kontroversi dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Pemprov DKI, yang membuat nama Lem Aibon menjadi sangat terkenal, penanganan banjir yang dianggap sebagian masyarakat tak benar sehingga membuat kawasan Jakarta terendam banjir cukup luas.
Belum kelar urusan banjir ini karena ada sekelompok masyarakat kemudian mengajukan gugatan Class Action ke pengadilan terkait langkah antisipasi Anies sebagai Gubernur DKI dalam menghadapi banjir yang mereka anggap sangat tidak layak sehingga menimbulkan kerugian baik moril mapun material.
Kali ini kegaduhan baru kembali timbul akibat proyek Revitalisasi Kawasan Monas, Pemprov DKI rencananya akan merevitalisasi Kawasan Monas sebagai ruang ekspresi warga di setiap sisi Monas, Utara, Selatan, Barat, dan Timur.
Dalam rancangannya, Pemprov DKI akan membangun kolam yang dapat merefleksikan bayangan Tugu Monas, Revitalisasi Monas ini merupakan bagian yang terintegrasi dari 2 revitalisasi kawasan lainnya yakni Mesjid Istiqlal dan Lapangan Banteng. Nantinya ketiga kawasan ini akan tersambung oleh pedestrian yang merupakan jalur pejalan kaki yang lebar dan rapi.
Pengerjaan Proyek Revitalisasi ini sudah dikerjakan sejak bulan November 2019 yang lalu. Awalnya tak begitu mengundang sorotan, namun beberapa hari belakangan ini menjadi ramai, pasalnya publik mulai menyoroti penebangan pohon yang ditanam puluhan tahun yang lalu.
Pohon-pohon yang dulu rimbun menutupi Monas kini gundul tak tersisa di selatan Monas, tinggal tumpukan tanah merah yang terlihat disana. Tapi yah itulah konsekuensi dari pembangunan yang merupakan bagian dari revitalisasi kawasan tersebut.
Menurut Kepala UPT Monas, Isa Sanuri ada sekitar 205 pohon yang ditebang diarea revitalisasi bagian selatan Monas tersebut.
"Itu sebenarnya bukan ditebang begitu saja. Jadi pohon-pohon itu akan dipindahkan. Kalau tidak bisa dipindahkan akan kami buat baru (pohon-pohon)," kata Isa, Senin.(20/01/20) seperti yang dilansir Kompas.
Selain menyoroti penebangan pohon, publik juga mulai mencermati kontraktor yang mengerjakan proyek tersebut PT. Bahana Prima Nusantara, yang menurut Anggota DPRD DKI dari Fraksi PSI Justin Adrian Untayana kurang meyakinkan setelah melihat profil perusahaannya.
Atas beberapa alasan tersebut ditambah dengan belum lengkapnya izin dari Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg), Karena dalam hal pengelolaan Monas apalagi mengubah secara signifikan salah satu bagian kawasan tersebut harus ada izin dari Komisi Pengarah yang berjumlah 7 orang dan di Ketuai  oleh Mensesneg Praktikno.
Aturan ini tercantum dalam Keputusan Presiden nomor 25 Tahun 1995 Tentang Pembangunan Kawasan Medan Merdeka di Wilayah DKI Jakarta.
Maka DPRD DKI meminta kepada Pemprov DKI untuk menghentikan sementara proyek Revitalisasi Kawasan Monas Ini. "Pokoknya semua kegiatan di Monas, Bapak hentikan sementara sampai ada persetujuan dari Mensesneg terkait Keppres," ujar Ida Mahmudah, Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta.
Ya, hampir setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemprov DKI selalu berujung keributan, karena sebagai kawasan ibukota Negara pantaslah jika seperti di pindai dengan sangat detil oleh berbagai pihak.
Walaupun ada juga yang berpandangan politis, keriuhan itu lebih banyak karena Jakarta di pimpin oleh Anies Baswedan, apakah Demikian? entah lah yang pro Anies akan membela Anies sebesar apapun kesalahannya, yang anti Anies akan menyerang sebagus apapun kebijakan Anies.
Tak hanya Anies sih, yang diperlakukan seperti itu Jokowi juga, dalam kadar yang berbeda tentunya. Idealnya lepas dari Pilkada atau Pilpres semua itu sudah kembali netral.
Jika memang ada kebijakannya tak berkenan dan dianggap merugikan masyarakat ya kritiklah, masih tak puas ya jangan pilih lagi, selesaikan. Bagi pendukungnya pun tak perlu juga membabi buta mendukung, salah katakan salah, benar katakanlah benar. Jangan karena pendukung yang salah jadi benar.
Sumber.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H