Judul di atas seperti judul sebuah film yang sempat meraih Piala Citra tahun 1986. Di bintangi oleh dua artis kondang pada jamannya Deddy Mizwar dan Lydia Kandouw.
Film besutan Sutradara Asrul Sani ini menceritakan romantika sebuah rumahtangga dan berbagai cerita yang berada disekililingnya.
Seperti sebuah rumah tangga lainnya, mereka mengejar sebuah kebahagian. Namun bukan kebahagiaan yang didapat, percekcokan lah yang mereka hadapi hari demi hari.
Karena hidup itu terkadang tak se ideal yang kita bayangkan, Â kita mengejar bayangan yang kita yakini sebagai sebuah idealisme sempurna dari kebahagian.
Namun bukan manifestasi idealisme sempurna yang kita dapatkan dalam meraih bahagia, sebaliknya justru kita ditangkap oleh kenyataan yang ada.
Hal yang sama juga kerap terjadi dalam kehidupan profesional. Kita sudah berusaha keras, dan bekerja sebaik mungkin, bahkan mengabdikan diri hanya untuk pekerjaan, sampai waktu habis karenanya.
Setelah menunaikan segala pekerjaan secara tuntas  seperti yang dikehendaki perusahaan disertai attidute positif di lingkungan  kerja.
Tentu saja kita sangat berharap ada imbalan Jabatan tertentu,  sesuai path career yang pernah dijanjikan  Departement Human Resources Capital pada saat kita mulai masuk kerja.
Wajar kah ambisi itu? Sangat wajar. Harapan kita bekerja selain untuk mendapatkan materi, lebih dari itu kita berharap meraih jabatan yang kita idam-idamkan.
Namun jabatan idaman tersebut, bukan hanya kita saja yang menginginkannya, ada banyak karyawan yang menginginkan jabatan idaman tersebut.
Selain itu, yang paling krusial adalah  politik yang terjadi di lingkungan kerja kita, atau biasa disebut politik kantor.
Saya secara pribadi paling malas jika harus berhadapan dengan politik kantor ini. Buat saya politik kantor itu terkadang menggangu harmonisasi lingkungan kerja.
Orang berambisi meraih jabatan tertentu, bukan hanya kerja terbaik yang mereka tampilkan, namun mencari kesalahan rekan kerja dan menjilat atasan kerap digunakan.
Kita juga harus pandai memahami konstelasi politik kantor ini karena terkadang situasinya tak kasat mata. Artinya situasi ini tak eksplisit terlihat.
Walaupun kadang terasa banget, situasi kerja menjadi tak nyaman. Contoh nyata politik kantor adalah apa yang terjadi terhadap Helmy Yahya.
Ia diberhentikan dari jabatannya sebagai Direktur Utama TVRI. Dengan alasan yang terlihat seperti dicari-cari. Padahal hasil kerjanya terlihat nyata baiknya.
Ya begitulah politik kantor, masalah alasan ya bisa di fabrikasi. Begitu pun dengan kita, ketika diri merasa bekerja sudah sangat baik, semua Key Performance Indeks (KPI) yang diberikan lembaga tempat kita bekerja sudah kita tunaikan.
Namun kenyataannya jabatan idaman yang kita incar tak jua datang menjelang. Bisa jadi politik kantor sedang terjadi. Dan akhirnya membuat kita menjadi drop dan bekerja asal-asalan.
Karena  kita merasa "akh percuma mau kerja kaya apa juga pangkat ga naik-naik" akhirnya kita menjadi tambah terpuruk.
Makanya saya sih, tak terlalu berambisi untuk meraih jabatan tertentu. Yang penting kita bekerja maksimal, tunaikan semua KPI yang diberikan perusahaan. Perkara naik jabatan, biarkan arah nasib yang mengatur.
Terlalu berambisi meraih jabatan, terkadang menjadi seperti  judul film itu. Kejarlah daku kau kutangkap.
Sibuk mengejar ambisi malah kita tertangkap oleh ambisi kita sendiri. Jadi lebih baik santuy saja kaya di pantuy.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H