Saya secara pribadi paling malas jika harus berhadapan dengan politik kantor ini. Buat saya politik kantor itu terkadang menggangu harmonisasi lingkungan kerja.
Orang berambisi meraih jabatan tertentu, bukan hanya kerja terbaik yang mereka tampilkan, namun mencari kesalahan rekan kerja dan menjilat atasan kerap digunakan.
Kita juga harus pandai memahami konstelasi politik kantor ini karena terkadang situasinya tak kasat mata. Artinya situasi ini tak eksplisit terlihat.
Walaupun kadang terasa banget, situasi kerja menjadi tak nyaman. Contoh nyata politik kantor adalah apa yang terjadi terhadap Helmy Yahya.
Ia diberhentikan dari jabatannya sebagai Direktur Utama TVRI. Dengan alasan yang terlihat seperti dicari-cari. Padahal hasil kerjanya terlihat nyata baiknya.
Ya begitulah politik kantor, masalah alasan ya bisa di fabrikasi. Begitu pun dengan kita, ketika diri merasa bekerja sudah sangat baik, semua Key Performance Indeks (KPI) yang diberikan lembaga tempat kita bekerja sudah kita tunaikan.
Namun kenyataannya jabatan idaman yang kita incar tak jua datang menjelang. Bisa jadi politik kantor sedang terjadi. Dan akhirnya membuat kita menjadi drop dan bekerja asal-asalan.
Karena  kita merasa "akh percuma mau kerja kaya apa juga pangkat ga naik-naik" akhirnya kita menjadi tambah terpuruk.
Makanya saya sih, tak terlalu berambisi untuk meraih jabatan tertentu. Yang penting kita bekerja maksimal, tunaikan semua KPI yang diberikan perusahaan. Perkara naik jabatan, biarkan arah nasib yang mengatur.
Terlalu berambisi meraih jabatan, terkadang menjadi seperti  judul film itu. Kejarlah daku kau kutangkap.
Sibuk mengejar ambisi malah kita tertangkap oleh ambisi kita sendiri. Jadi lebih baik santuy saja kaya di pantuy.