Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Mengenal "Nine Dash Line" yang Membuat Cina Merasa Memiliki Perairan Natuna

7 Januari 2020   06:45 Diperbarui: 7 Januari 2020   07:01 1872
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Konflik perbatasan wilayah laut Indonesia dengan China terus memanas. Saat ini kapal pencari ikan China dengan di kawal kapal coast guard negaranya masih berada di wilayah Indonesia di Perairan Natuna Utara.

Penjaga Pantai China seperti sengaja melakukan provokasi terhadap Angkatan Laut Indonesia. Kapal-kapal TNI-AL yang berada di perbatasan sebagai penjaga kedaulatan Indonesia, saat ini dalam posisi berhadap-hadapan dengan mereka.

Tak sekali ini saja China berusaha memprovokasi Indonesia terkait kawasan laut yang berbatasan juga dengan Vietnam, Malaysia, Filipina, dan Brunei.

Ketika kawasan laut yang dulu bernama Laut China Selatan ini di ganti namanya oleh Pemerintah Indonesia menjadi Perairan Natuna, China pun ssmpat menyatakan keberatannya.

Padahal menurut Hukum Laut Internasional yang mengatur Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), Perairan Natuna memang masih termasuk kawasan ZEE milik Indonesia sejauh 200 mil.

Penggantian nama Kawasan laut tersebut, menjadi penanda ketegasan Pemerintah Indonesia dalam menegakan kedaulatannya di wilayah perbatasan.

China melakukan klaim atas perairan Natuna di dasari oleh nine dash line atau sembilan garis putus-putus yang merupakan bagian dari kebijakan pemerintah ketika lepas dari pendudukan jepang pada tahun 1947.

Lepas dari penjajahan Jepang, Pemerintahan Kuomintang menerbitkan peta yang mengklaim wilayah yang jauh dari  teritory China.

Mereka menyebut klaim tersebut sebelas garis putus-putus yang meluas sampai kawasan laut Cina Selatan.

Dalam perkembangannya, klaim sebelas garis putus-putus tersebut menjadi sembilan garis putus-putus. Atas dasar klaim itu lah China merasa berhak untuk melakukan aktivitas penangkapan ikan di kawasan Natuna ini.

Padahal China sama sekali tak berhak atas klaim tersebut, ta ada dasar apapun yang mereka unyuk menjustifikasi klaim tersebut base line atau garis pantai China jauh sekali dari wilayah perairan Natuna.

Seperti diketahui untuk menentukan Kawasan lau ZEE  sejauh 200 mil itu patokannya adalah base line tersebut.

Sembilan garis putus-putus tersebut ketika ditanyakan  apa maksudnya, pemerintah China tak bisa memberikan jawaban yang pasti.

Nah terkait klaim China dengan dasar nine dash line, Presiden Jokowi secara tegas menolak untuk.mengakui keberadaannya karena tak memiliki dasar hukumnya.

Menteri Pertahanan Indonesia, Prabowo Subianto menyatakan Indonesia lebih mengutakamkan pendekatan damai dalam menyelesaikan klaim sepihak China ini.

Lantas Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan berujar tak perlu lah ini dibesar-besarkan, China itu salah satu negara sahabat dan memiliki investasi yang besar di Indonesia lagipula ini memang bukan masalah kedaulatan.

Ucapan Luhut, mengenai kedaulatan itu memang tak salah, Indonesia dan China memang tidak bermasalah dalam urusan kedaulatan (sovereign) Karena Kawasan ZEE itu tidak menjorok ke dalam wilayah teritorial Indonesia.

Namun, bila berbicara di wilayah hak berdaulat, yaitu sovereign rights, bukan sovereignty, baik di ZEEI maupun landas kontinen, maka Sembilan Garis Putus bertumpang tindih. Karena bertumpang tindih, Indonesia memiliki sengketa wilayah laut dengan China.

Dalam hukum laut internasional ada perbedaan mendasar antara Sovereignity dan Sovereign Right. Sovereign  merujuk pada konsep kedaulatan laut atau teritorrial sea.

Sementara Sovereign right memberikan hak negara pemilik pantai untuk mengeksploitasi dan mengelola sumber daya alam di wilayah lau lepas tertentu (ZEE) atau dibawah pemukaan laut (landas kontinen nya).

Terkait klaim Sembilan Garis Putus-putus atau Nine Dash Line , indonesia harus bersikap tegas jangan meanggap enteng atau menafikan hal tersebut, namun tentu saja dengan cara-cara persuasif.

Pendekatan militer adalah tindakan paling akhir, dan jangan sekali kali terprovokasi dengan pancingan China. 

Sumber; (1) (2)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun