Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

APBN, PISA, dan Sistem Pendidikan di Indonesia

12 Desember 2019   09:18 Diperbarui: 12 Desember 2019   09:31 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah di periode pertama Pemerintahan Jokowi menitikberatkan pada pembangunan fisik, infrastruktur dari jalan hingga bendungan. Periode ke dua titik berat pembangunannya ada disisi no fisik, yakni pembangunan sumber daya manusia.

Berbagai program mulai dicanangkan untuk mem-blowing up implementasi penguatan sumber daya manusia ini. Walaupun sebenarnya ada 2 ruang besar dalam pengembangan SDM ini.

Pertama,  Kesehatan, sejatinya kesehatan merupakan pondasi awal agar memiliki sumber daya manusia unggul mulai dari masa kehamilan sang ibu, melahirkan, masa perkembangan anak. 

Tanpa sistem kesehatan yang baik rasanya, pendidikan menjadi seperti istana yang dibangun di atas pasir.

Kedua, pendidikan, apabila kita di sisi anggaran komitmen pemerintah di bidang pendidikan sudah tak diragukan lagi. Bayangkan Indonesia mungkin satu-satunya negara yang menyebutkan angka tertentu dalam Undang-Undang dasarnya.

Jelas dan terang dalam UUD 1945 di sebut anggaran pendidikan dalam APBN harus minimal 20 persen dari total keseluruhan APBN.  Cukup besar jika mengacu pada APBN 2020 yang jumlahnya  Rp.2.400 triliun berarti Rp.480 triliun di dedikasi kan buat sektor pendidikan.

Namun apa yang terjadi? bila memakai ukuran kuantitatif seperti standar dengan scoring tertentu. Angka dua digit anggaran APBN itu  tak berarti apa-apa bagi pendidikan Indonesia ternyata, kalau meminjam istilah mantan Menteri Keuangan tahun 2013-2014, DR.Chatib Basri, "Double for Nothing".

Buktinya , hasil Programme for Internasional Student Assesment (PISA) yang dikeluarkan oleh Organization for Economic  and Co-operation Development (OECD) Indonesia berada  di peringkat bawah.

Pengukuran PISA  bertujuan untuk mengevaluasi sistem pendidikan di suatu wilayah tertentu dengan mengukur kinerja siswa di pendidikan menengah pada bidang sains, matematika dan literasi.

Bayangkan untuk kemampuan membaca saja siswa  Indonesia berada dalam kondisi kurang dan posisinya diperingkat bawah bersama  negara Kosovo, Republik Dominika, Maroko, Kazhakstan, dan Filipina.

Skornya hanya  371 sementara rerata negara OECD kisaran skornya ada dilevel 487, jangan tanya dengan peringkat 1 yang diduduki China yang skornya 555. 

Skor pelajar Indonesia untuk membaca ini secara konstan terus turun dari tahun ke tahun.

Katadata.co.id
Katadata.co.id
Perhatikan garis berwarna pink yang menunjukan kemampuan membaca terjun bebas setiap tahunnya.

Lantas bagaimana dengan sains dan matematika ya idem dito, meskipun tak separah kemampuan membaca. Untuk matematika yang ditunjukan dalam garis hijau, walau tak terlalu dalam tetap saja mengalami penurunan.

Untuk skor matematika Indonesia ada di level 379 lagi-lagi di peringkat bawah, jauh dibawah angka rerata negara-negara OECD yang ada diangka 489.

Setali tiga uang untuk sains pun rataan negara OECD ada di angka 489 sementara Indonesia 396, dan tetap berada di peringkat bawah. Bandingkan kembali dengan China dan Singapura pemilik peringkat atas angkanya 591 dan 569.

Jika mengacu pada hasil ini rasanya anggaran yang digelontorkan oleh negara melalui APBN untuk bidang pendidikan ini tak berkorelasi dengan meningkatnya mutu pendidikan di Indonesia.

Berarti ada yang salah dengan sistem pendidikan Indonesia. Mari kita lihat ke hulu aturan dan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. 

Pasal 33 UUD 45 berbunyi, "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan Ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur undang-undang.

Kemudian  Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional memyatakan, bahwa "pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan serta membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa bertujuan berkembangnya peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara demokratis serta bertanggung jawab".

Undang-undang itu terlihat abstrak dan begitu bebas untuk ditafsirkan, bukankah jika tujuan-tujuan pendidikan itu dari awal harus jelas arahnya, tak abstrak.

Pendidikan hal yang terlalu penting untuk sekedar dijadikan retorika dan bahan untuk kampanye. Nasib bangsa Indonesia ke depan ada di sektor pendidikan.

Sudah saatnya kementerian keuangan sebagai pihak yang mengelola APBN mulai melakukan evaluasi terkait pengganggaran sektor pendidikan ini.

Bukan dikurangi, namun dipertajam arahnya, agar berkorelasi langsung dengan peningkatan kualitas pendidikan, misalnya hentikan penganggaran bagi perubahan-perubahan instistusi pencetak guru berkualitas seperti IKIP menjadi lembaga pendidikan biasa.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pun harus bergerak diluar normal, harus ada terobosan terobosan tajam. 

Syukurlah sekarang dengan keberadaan Mendikbud baru Nadiem  Anwar Makarim yang memilki latar belakang seorang pengusaha start-up, semoga bisa mengubah struktur pendidikan menuju arah yang lebih baik. 

Sumber.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun