Mohon tunggu...
ferry wardiman
ferry wardiman Mohon Tunggu... -

Arsitek

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Konsep Reformasi Struktural

20 Februari 2015   07:11 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:51 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

KONSEP REFORMASI STRUKTURAL

- sebuah usulan kepada Jokowi -

1.POSISI

---Konsep Struktural harus dimulai dari penguasaan POSISI. POSISI tertinggi dalam sistem harus dikuasai lebih dahulu.---

*Bagaimana dengan Jokowi?
Jokowi sudah sampai pada tahap ini, yaitu sebagai pemimpin eksekutif negeri.

2.KOMPROMI

---Setelah POSISI dikuasai, harus menjalin kerja sama dengan kekuatan2 lain tanpa mengurangi kekuatan posisional sendiri sehingga harus dilakukan KOMPROMI dengan menggunakan janji, propaganda dan pencitraan. Peran Media sangat penting.---

*Bagaimana dengan Jokowi?
Jokowi pada tahun 2014-2015 ini, sedang pada tahap ini, tapi belum tuntas, ia masih mencari-cari mitra diantara kawan dan lawan. Rakyat terlalu cair untuk diandalkan. Juga kadang rakyat terlalu bodoh untuk bertahan teguh dari provokasi para elit. Sebagian juga, rakyat apatis. Yang penting hidup berlangsung terus.

3.STABILITAS

---Setelah semua pihak merasa aman, akan tercipta STABILITAS. Mereka yang berada dalam posisi kurang nyamanpun masih mau mengalah karena ada harapan2 baik dan berada dalam rasa aman.---

*Bagaimana dengan Jokowi?
Kompromi belum tuntas karena Jokowi belum berparadigma STRUKTURAL. Ia masih mengira keadilan adalah soal balas membalas, hukum menghukum, dan mengejar-ngejar orang yang salah, bila perlu mengadvokasi hukuman mati, pokoknya tidak mau kalah dengan SBY pendahulunya. Ini malah menyebabkan INSTABILITAS - alias ketidak-stabilan. Terlalu banyak orang busuk tentu semua tidak mau masuk penjara. Lebih baik “rusak-rusakan” sekalian daripada masuk penjara. Hampir semua dalam ketakutan meskipun semua juga berteriak lantang menentang korupsi untuk menyembunyikan dosa2nya dan memperbaiki citra2nya. STABILISASI terganjal secara otomatis dan sistematis. Bahkan sampai tertangkap pun masih diusahakan tertawa. Konfrontasi tidak membuahkan STABILITAS. Pencitraan hanya sampai sebuah citra, tapi buntu untuk tahap berikutnya.

4.SISTEM

---Dalam STABILITAS yang baik akan tercipta keadaan kondusif untuk menciptakan SISTEM. Ibarat menggambar dari kertas putih dan dalam suasana tenang. SISTEM yang ideal mudah direncanakan dalam keadaan stabil.---

*Bagaimana dengan Jokowi?
Rencana Jokowi memperbaiki sistem sudah ada. Cita2 penuh melangit. Ada e-procurement, e-budgetting, dan e-e yang lain. Keinginannya untuk membuat segala menjadi transparan adalah tanda nyata bahwa ia orang baik yang ingin menciptakan sistem yang baik. Tapi ia lupa, bahwa transformasi dari gelap menjadi terang bukan seperti mengklik tombol lampu karena mesti melalui proses di meja2 perundingan dan kasak-kusuk di kamar gelap orang2 yang kotor dan lebih suka keadaan gelap untuk menyembunyikan kekotorannya. Orang2 kotor yang sudah kaya sampai sangat kaya dalam kekotorannya, mungkin sekali juga mau keadaan jadi terang benderang, ASAL dirinya tetap selamat, tidak masuk bui. Ya, selamat sampai usia tua, seperti yang dialami dengan indah oleh orang2 “sukses” pada rezim lalu yang tak terusik setelah lewat pergantian rezim2.

5.KESEJAHTERAAN


---Ketika SISTEM yang baik sudah berjalan, KESEJAHTERAAN adalah akibat langsungnya. Pemberantasan korupsi tidak perlu lagi karena korupsi tidak dimungkinkan lagi dalam sistem yang baik.---

*Bagaimana dengan Jokowi?
Kesejahteraan Rakyat, kami percaya, adalah cita2 Jokowi. Tapi harapan ini bisa sia2 sampai telanjur habis masa jabatannya, bahkan sekalipun ia terpilih untuk periode kedua berikutnya. Mengapa?, karena ia seperti pendahulunya mempunyai kekeliruan PARADIGMATIS tentang hukum, bahwa hakekat hukum adalah BALAS MEMBALAS, bukan MEMPERBAIKI. Juga kesalahan PARADIGMATIS bahwa pemberantasan korupsi adalah mengejar-ngejar, menangkapi, bahkan kalau mungkin menghukum mati yang divonis sebagai koruptor. Padahal, hakekat pemberantasan korupsi adalah PENATAAN SISTEM yang tidak korup, sehingga tidak memungkinkan perilaku korup terjadi, secara otomatis membuat tidak adanya lagi koruptor.

Ilustrasi sederhana adalah seperti sistem pada loket. Pada sistem yang buruk, orang berkerumun di mulut loket buat beli karcis. Pada sistem yang baik orang mengantri. Menghukum orang yang tak tertib, tidak akan efektif untuk menciptakan perbaikan selama SISTEM tidak dirubah dari kerumunan menjadi antrian. Perbaikan bukan dengan mencari, mengejar dan mengusut siapa yang dulu pernah dapat tiket secara tidak mengantri, melainkan perbaiki dulu sistemnya sampai tidak ada lagi orang2 nakal itu.
Menghukum yang kebetulan sudah dapat tiket dengan cara berkerumun dalam sistem yang buruk, adalah ketidak-adilan tersendiri akibat kelemahan sistem.

Maka, menghukum koruptor2 yang korup pada masa sistem masih korup, tidak boleh seberat menghukum koruptor yang korup pada masa sistem sudah baik. Tugas KPK memberantas korupsi adalah menciptakan sistem yang tidak korup, bukan cuma menangkapi koruptor.

Jokowi atau SIAPAPUN yang memimpin negeri tidak akan berhasil menyejahterakan rakyat selama paradigmanya masih PARSIAL, dalam menyelesaikan persoalan. Prinsip "sedikit-sedikit lama2 berhasil jadi bukit" tidak berlaku pada permasalahan STRUKTURAL-sistemik. Permasalahan korupsi dan banyak permasalahan Negara adalah permasalahan STRUKTURAL, dari atas ke bawah, bukan permasalahan mental individual. “Revolusi mental” hanya bisa berlangsung bila REFORMASI SISTEM dalam keadaan yang STABIL (#3) sudah terjadi lebih dulu.

Memang, dengan pendekatan konsep ini yang sudah berhasil korupsi akan gembira karena ada kemungkinan lolos selamanya. Tapi dengan demikian Jokowi akan “sempat” menata sistem yang dicita-citakan bersama. Dan ini lebih realistis untuk tercapai.

Silakan analisa SEMUA permasalahan yang pernah ada, dari cerita cicak-buaya yang berjilid-jilid, dari century, hambalang, BLBI dll. Bahkan sampai pertentangan KPK-Polri yang sebenarnya cuma KULIT dari realitas tersembunyi dibelakangnya. Coba analisa kekuatan2 riel yang ada. Apakah semua yang berperanan “cuma” politisi?. Dan Jokowi TIDAK PERLU membentur itu semua seperti yang pernah akan dilakukan oleh GusDur dan berakibat "bubar jalan" sebelum rapih.

Perbaiki hukuman Angie, Anas Urbaningrum, Luthfi Hasan Ishaaq dll bahkan Anggoro dan Anggodo dll dengan hukuman yang lebih mempertimbangkan keadaan sistem waktu itu yang masih memungkinkan bahkan sebagian ada yang MEMAKSA mereka untuk terpaksa melakukan kesalahan2 itu dalam sistem yang masih buruk itu. Sebesar apapun nilai ekonomis yang sudah diambil, amat sangat terlalu sepele untuk dibandingkan dengan kekayaan negeri ini yang ditelantarkan tidak teroptimalkan bila sistem tidak segera diperbaiki, karena musti berkubang ditempat sambil ribut dan ribet main petak umpet, main cicak-buaya yang tak bermutu.

Semoga tulisan ini bisa sampai kepada Jokowi.

Ferry Wardiman

Jakarta - imlek 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun