Di Indonesia, muncul yang dinamakan hukum Progresif yang muncul pada sekitar tahun 2002 dengan penggagasnya Satjipto Rahardjo. Hukum progresif lahir karena selama ini ajaran ilmu hukum positif (analytical jurisprudence) yang dipraktikkan pada realitas empirik di Indonesia tidak memuaskan. Gagasan Hukum Progresif muncul karena prihatin terhadap kualitas penegakan hukum di Indonesia terutama sejak terjadinya reformasi pada pertengah tahun 1997. Jika fungsi hukum dimaksudkan untuk turut serta memecahkan persoalan kemasyarakatan secara ideal, maka yang dialami dan terjadi Indonesia sekarang ini adalah sangat bertolak belakang dengan cita-cita ideal tersebut.
Untuk mencari solusi dari kegagalan penerapan analytical jurisprudence, Hukum Progresif memiliki asumsi dasar hubungan antara hukum dengan manusia. Progresivisme bertolak dari pandangan kemanusiaan, bahwa manusia pada dasarnya adalah baik, memiliki sifat-sifat kasih sayang serta kepedulian terhadap sesama. Dengan demikian, asumsi dasar Hukum Progresif dimulai dari hakikat dasar hukum adalah untuk manusia. Hukum tidak hadir untuk dirinya-sendiri sebagaimana yang digagas oleh ilmu hukum positif tetapi untuk manusia dalam rangka mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Posisi yang demikian mengantarkan satu predisposisi bahwa hukum itu selalu berada pada status “law in the making” (hukum yang selalu berproses untuk menjadi).
Gagasan yang demikian ini jelas berbeda dari aliran hukum positif yang menggunakan sarana analytical jurisprudence yang bertolak dari premis peraturan dan logika. Bagi Ilmu Hukum Positif (dogmatik), kebenaran terletak dalam tubuh peraturan. Ini yang dikritik oleh Hukum Progresif, sebab melihat hukum yang hanya berupa pasal-pasal jelas tidak bisa menggambarkan kebenaran dari hukum yang sangat kompleks. Ilmu yang tidak bisa menjelaskan kebenaran yang kompleks dari realitas-empirik jelas sangat diragukan posisinya sebagai ilmu hukum yang sebenar ilmu (genuine science). Hukum Progresif secara sadar menempatkan kehadirannya dalam hubungan erat dengan manusia dan masyarakat. Dalam posisi yang demikian ini, maka Hukum Progresif dapat dikaitkan dengan developmetal model hukum dari Nonet dan Selznick. Hukum Progresif juga berbagi paham dengan Legal Realism dan Freirechtslehre.
apa gagasan tentang isu tersebut dalam bidang hukum: law and social control, socio-legal, legal pluralism?
Law and social control, hukum sebagai alat kontrol sosial memberikan arti bahwa ini sesuatu yang dapat menetapkan tingkah laku manusia. Yang mana tingkah laku tersebut dapat dikatakan tingkah laku yang menyimpang terhadap aturan hukum. Sebagai akibatnya, hukum menetapkan sanksi atau tindakan terhadap si pelanggar.
Socio-legal, menjelaskan berbagai persoalan hukum, dengan pendekatan teoretik dan metodologis yang terdisiplin. Sosio-legal, bukanlah sosiologi hukum, bukan pula direduksi menjadi semata penelitian yuridis-empiris, sosio-legal mensyaratkan kemampuan penelitian hukum normatif secara baik-Prof Arisf Sidharta.
Legal pluralism, Pluralisme hukum (legal pluralism) kerap diartikan sebagai keragaman hukum. Pluralisme hukum adalah hadirnya lebih dari satu aturan hukum dalam sebuah lingkungan sosial. Dalam perjalanannya, pluralisme hukum ini tidak terlepas dari sejumlah kritik, diantaranya :
- Pluralisme hukum dinilai tidak memberikan tekanan pada batasan istilah hukum yang digunakan .
- Pluralisme hukum dianggap kurang mempertimbangkan faktor struktur sosio ekonomi makro yang mempengaruhi terjadinya sentralisme hukum dan pluralisme hukum. Selain itu, menurut Rikardo Simarmata, kelemahan penting lainnya dari pluralisme hukum adalah pengabaiannya terhadap aspek keadilan. Lagi pula, pluralisme hukum belum bisa menawarkan sebuah konsep jitu sebagai antitesis hukum negara. Pluralisme hukum hanya dapat dipakai untuk memahami realitas hukum di dalam masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H