Teori-teori besar dalam Hubungan Internasional (HI) seperti Realisme, Neorealisme, Liberalisme, dan Neoliberalisme merupakan perspektif-perspektif penting yang digunakan para akademisi, praktisi, hingga mahasiswa untuk memahami bagaimana negara-negara berinteraksi dalam sistem global. Setiap teori memiliki asumsi dasar dan pandangan yang berbeda tentang perilaku negara, peran institusi, dan cara dunia beroperasi.
Artikel ini tidak hanya akan menjelaskan persamaan dan perbedaan antara teori-teori tersebut, tetapi juga menunjukkan bagaimana teori-teori tersebut diterapkan dalam konteks nyata, dengan studi kasus yang relevan.
Realisme: Kekuasaan dan Keamanan di Dunia yang Anarkis
Realisme adalah teori yang berakar pada pemikiran Machiavelli dan Hobbes, serta berkembang pesat setelah Perang Dunia II. Hans Morgenthau, salah satu tokoh utama dalam realisme, berpendapat bahwa politik internasional adalah perjuangan untuk kekuasaan. Negara harus fokus pada kepentingan nasionalnya dan realistis dalam mengambil keputusan, karena dunia tidak pernah benar-benar damai.
Asumsi dasar dari teori realisme dalam hubungan internasional adalah bahwa sistem internasional bersifat anarkis. Dalam hal ini, tidak ada otoritas tunggal yang dapat mengatur atau memediasi dinamika dalam sistem internasional.
Selain itu, sistem internasional cenderung konfliktual, yang membuat setiap negara merasa tidak aman (insecure) dan terpaksa berusaha untuk bertahan hidup (survival). Dalam situasi seperti ini, negara-negara diharapkan dapat mengandalkan diri mereka sendiri (self-help) dalam menghadapi tantangan atau ancaman yang ada maupun yang akan datang.
Lalu, kepercayaan antar negara (trust) menjadi sangat sulit untuk dibangun, karena dapat menimbulkan apa yang disebut sebagai dilema keamanan (security dilemma). Dilema ini terjadi ketika satu negara yang meningkatkan kemampuan militernya justru membuat negara lain merasa terancam, sehingga negara tersebut juga merasa perlu untuk meningkatkan pertahanan mereka.
Hal ini menciptakan siklus ketidakpercayaan dan ketegangan yang dapat mengarah pada konflik. Dengan demikian, pendekatan realis menekankan pentingnya kekuatan militer dan kepentingan nasional dalam merumuskan kebijakan luar negeri, serta mengakui bahwa konflik adalah bagian tak terpisahkan dari hubungan antar negara.
Contoh Kasus: Perang Dingin (1947-1991)
Perang Dingin adalah contoh klasik penerapan teori Realisme. Dalam hal ini, Amerika Serikat dan Uni Soviet bersaing untuk menjadi kekuatan dominan di dunia. Masing-masing negara memperkuat kekuatan militer mereka, terutama dalam pengembangan senjata nuklir, sebagai cara untuk menjaga keseimbangan kekuatan.
Mereka juga membangun aliansi militer melalui NATO dan Pakta Warsawa, yang mencerminkan strategi realis untuk mengumpulkan kekuatan dan memastikan keamanan di dunia yang dianggap penuh dengan ancaman.
Melalui persaingan ini, ideologi juga memainkan peran penting, namun kekuasaan dan keamanan tetap menjadi fokus utama. Keduanya terlibat dalam perang proksi di berbagai belahan dunia, seperti Perang Korea dan Perang Vietnam, sebagai cara untuk memperluas pengaruh tanpa terlibat dalam konflik langsung.
Menurut pandangan realis, Perang Dingin adalah bentuk dari “zero-sum game”, di mana keuntungan satu pihak dianggap sebagai kerugian pihak lain.
Neorealisme: Struktur Anarki dan Keseimbangan Kekuatan
Neorealisme, atau Realisme Struktural, yang dipelopori oleh Kenneth Waltz, mengambil pendekatan berbeda dari Realisme klasik. Sementara realisme berfokus pada sifat manusia dan motivasi negara untuk mendapatkan kekuasaan, Neorealisme lebih memusatkan perhatian pada struktur sistem internasional. Menurut Neorealisme, anarki yang ada dalam sistem internasional adalah penyebab utama konflik, bukan sifat manusia atau niat negara.
Waltz berpendapat bahwa posisi negara dalam sistem internasional ditentukan oleh distribusi kekuasaan, dan perilaku negara ditentukan oleh kebutuhan untuk bertahan hidup dalam sistem yang anarkis.
Negara-negara besar cenderung mendominasi sistem, sementara negara-negara kecil harus menyesuaikan diri untuk bertahan hidup. Fokus utama Neorealisme adalah menjaga keseimbangan kekuatan dalam sistem internasional agar tidak ada satu negara yang terlalu dominan atau disebut (Ballance Of Power).
Dalam sistem internasional yang bersifat anarkis dan konflikual, suatu negara akan melakukan perimbangan kekuatan untuk menyeimbangkan kekuatan negara lain. Negara tersebut dapat meningkatkan kekuatannya dengan cara membentuk aliansi dan berkolaborasi dengan negara-negara lain yang memiliki kekuatan besar.
Oleh karena itu, mereka akan meningkatkan kekuatan militernya serta mengupayakan pencapaian kepentingan nasionalnya. Upaya ini mencakup pengembangan strategi pertahanan, peningkatan kapasitas militer, dan diplomasi untuk menciptakan stabilitas dan keamanan di kawasan.
Melalui langkah-langkah ini, suatu negara berusaha untuk melindungi kedaulatan dan integritas wilayahnya serta mempertahankan posisinya di panggung internasional.
Contoh Kasus: Perlombaan Senjata Nuklir Pasca-Perang Dingin
Dalam era pasca-Perang Dingin, perlombaan senjata nuklir antara negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Rusia, dan China merupakan salah satu contoh penerapan Neorealisme.
Neorealis percaya bahwa distribusi kekuatan di antara negara-negara besar menentukan stabilitas internasional. Jika salah satu negara terlalu kuat, negara lain akan merasa terancam dan berusaha memperkuat diri untuk menjaga keseimbangan kekuatan.
Perlombaan nuklir ini tidak hanya soal keamanan, tetapi juga simbol status kekuatan di dunia internasional. Menurut Neorealisme, anarki dalam sistem internasional mendorong negara-negara untuk terus memperkuat kemampuan pertahanan mereka guna memastikan bahwa mereka tidak ditundukkan oleh negara lain.
Inilah sebabnya, meskipun tidak ada ancaman langsung konflik besar, negara-negara tetap berlomba untuk memodernisasi dan memperluas persenjataan mereka sebagai bentuk “deterrence” atau pencegahan terhadap potensi serangan.
Liberalisme: Potensi Kerja Sama dan Peran Institusi Internasional
Berbeda dengan pandangan pesimistis Realisme dan Neorealisme, Liberalisme menawarkan pandangan yang lebih optimis tentang sistem internasional. Teori ini berargumen bahwa negara-negara tidak selalu terlibat dalam persaingan kekuasaan yang zero-sum.
Sebaliknya, negara-negara dapat bekerja sama untuk mencapai kepentingan bersama melalui diplomasi, perdagangan, dan institusi internasional. Liberalis percaya bahwa interdependensi ekonomi, demokrasi, dan lembaga internasional dapat mengurangi konflik dan mempromosikan perdamaian.
Teori ini sering dikaitkan dengan idealisme politik, di mana perdamaian abadi dapat dicapai melalui kerja sama internasional dan penghormatan terhadap hukum internasional. Tokoh seperti Woodrow Wilson mempopulerkan ide bahwa penyebaran demokrasi dan institusi internasional seperti Liga Bangsa-Bangsa akan mencegah konflik besar di masa depan.
Contoh Kasus: Pembentukan Uni Eropa (UE)
Uni Eropa adalah salah satu contoh keberhasilan penerapan Liberalisme dalam politik internasional. Setelah dua perang dunia yang menghancurkan, negara-negara di Eropa Barat memilih jalan integrasi ekonomi dan politik untuk memastikan perdamaian dan stabilitas. Pada tahun 1951, enam negara mendirikan Komunitas Batubara dan Baja Eropa (ECSC), yang akhirnya berkembang menjadi Uni Eropa yang kita kenal sekarang.
Pembentukan UE didasarkan pada prinsip-prinsip liberal seperti perdagangan bebas, demokrasi, dan kerjasama antarnegara. Negara-negara anggota UE memilih untuk menyerahkan sebagian kedaulatannya ke institusi supranasional seperti Komisi Eropa dan Parlemen Eropa, dengan tujuan mengurangi kemungkinan konflik dan mempromosikan kesejahteraan bersama.
Ini sejalan dengan gagasan liberal bahwa institusi internasional dapat mendorong kerja sama yang saling menguntungkan dan menciptakan perdamaian.
Neoliberalisme: Peran Institusi dalam Mengatasi Anarki
Neoliberalisme merupakan pengembangan dari Liberalisme, dengan fokus lebih pada peran institusi internasional dalam mengelola anarki sistem internasional. Pemikir seperti Robert Keohane berpendapat bahwa meskipun sistem internasional bersifat anarkis, negara-negara dapat bekerja sama secara efektif melalui institusi yang menciptakan aturan, norma, dan prosedur yang jelas.
Institusi ini membantu mengurangi ketidakpastian dan meningkatkan kepercayaan antarnegara, yang pada akhirnya memfasilitasi kerja sama internasional.
Neoliberalisme tidak mengabaikan pentingnya kekuasaan, tetapi lebih menekankan bahwa negara-negara dapat mencapai kepentingan mereka dengan lebih baik melalui aturan bersama dan pengawasan yang difasilitasi oleh lembaga-lembaga internasional.
Contoh Kasus: Peran WTO dalam Perdagangan Global
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) adalah contoh konkret dari penerapan Neoliberalisme. WTO dibentuk pada tahun 1995 dengan tujuan menciptakan kerangka kerja untuk perdagangan internasional yang lebih transparan dan adil.
Dengan adanya aturan yang jelas, WTO membantu negara-negara menyelesaikan sengketa dagang melalui mekanisme penyelesaian sengketa yang telah disepakati. Ini membantu mengurangi konflik perdagangan yang bisa berujung pada ketegangan politik dan ekonomi.
Melalui WTO, negara-negara dapat bekerja sama dalam sistem yang anarkis dengan cara yang lebih tertib dan teratur. Neoliberalisme percaya bahwa aturan-aturan internasional yang diciptakan oleh institusi seperti WTO membantu negara-negara mengatasi ketidakpastian dan meningkatkan kerja sama global di berbagai bidang.
Persamaan dan Perbedaan
Realisme dan Neorealisme sama-sama memandang sistem internasional sebagai anarki, di mana negara bertindak sebagai aktor utama yang berusaha mempertahankan kekuasaan dan keamanan. Namun, Realisme lebih fokus pada sifat manusia, dengan keyakinan bahwa perilaku negara dipengaruhi oleh hasrat individu untuk kekuasaan, sedangkan Neorealisme menekankan pada struktur sistem internasional yang anarkis sebagai pendorong utama perilaku negara.
Di sisi lain, Liberalisme dan Neoliberalisme lebih optimis terhadap potensi kerja sama antarnegara. Keduanya meyakini bahwa negara dapat bekerja sama, tetapi Neoliberalisme lebih menggarisbawahi peran institusi internasional dalam mengelola anarki dan memperkuat kerja sama antarnegara.
Serta perbedaan utama antara teori-teori ini, Realisme/Neorealisme adalah pandangan terhadap konflik dan kerja sama, di mana Realisme/Neorealisme lebih pesimis terhadap kerja sama, sementara Liberalisme/Neoliberalisme melihat peluang yang lebih besar untuk menciptakan perdamaian melalui kolaborasi dan kerjasama.
Penutup
Dalam memahami dinamika hubungan internasional, kita telah melihat bagaimana teori-teori seperti Realisme, Neorealisme, Liberalisme, dan Neoliberalisme masing-masing menawarkan pandangan yang berbeda tentang perilaku negara dan interaksi global. Realisme dan Neorealisme menekankan pentingnya kekuasaan dan keamanan dalam sistem anarkis, sedangkan Liberalisme dan Neoliberalisme menunjukkan potensi kerja sama melalui institusi internasional. Masing-masing teori memiliki keunggulan dan keterbatasan, namun semua memberikan wawasan berharga untuk menganalisis berbagai peristiwa global.
Sebagai pembaca, mari kita refleksikan bagaimana pemahaman kita tentang teori-teori ini dapat membantu kita menghadapi tantangan dunia yang semakin kompleks, seperti perubahan iklim, konflik bersenjata, dan ketidaksetaraan sosial. Apakah kita dapat mengambil inspirasi dari prinsip-prinsip Liberalisme untuk mendorong kerja sama global, ataukah kita perlu memahami dinamika kekuasaan yang dijelaskan oleh Realisme untuk lebih siap menghadapi tantangan di masa depan?
Saya mengajak Anda untuk terus berdiskusi dan menggali lebih dalam mengenai isu-isu ini. Setiap pemikiran dan kontribusi Anda sangat berarti dalam upaya menciptakan masa depan yang lebih baik. Dengan memahami dan menerapkan teori-teori ini, kita dapat berkontribusi pada dialog yang lebih luas tentang perdamaian dan keadilan di tingkat global.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H