Kehidupan sosial menjadi salah satu aspek yang turut terdampak oleh pandemi Covid-19 (virus corona). Sampai ada lelucon, "orang yang batuk di tempat umum seketika menjadi sangat menakutkan" atau pernyataan seorang komika, Fico Fachriza, dalam videonya di twitter yang mengatakan "kentut lebih tinggi derajatnya dari batuk".
Hal tersebut menjadi persoalan, padahal mungkin orang yang batuk itu hanya sekedar tersedak. Kemudian, orang yang baru pulang dari luar kota, dicurigai seluruh warga desa, karena mereka tahu bahwa di kota-kota besarlah penyebaran virus corona begitu massif.
Akumulasi masalah yang disebabkan virus corona menjadi tak terbendung, tatkala kita menemukannya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Peristiwa yang akan kita ingat selalu, ketika tenaga medis diusir dari kostnya, dokter yang tak bisa menemui keluarganya, jenazah korban covid-19 yang ditolak oleh warga, sampai pelemparan mobil ambulan.
Problem sosial tersebut hanya sebagian kecil dari sekian banyak variabel yang disebabkan covid-19, sebagiannya lagi adalah himbauan untuk tidak mudik. Tradisi mudik yang turun temurun rakyat Indonesia lakukan, harus terhambat karna wabah corona. Suka cita saat hendak bertemu orangtua dan keluarga di kampung halaman, sirna seketika bagi sebagian perantau.
Memang jangan mudik itu hanya himbauan, namun secara tidak langsung himbauan itu dikonsumsi setiap hari oleh kita, sehingga timbul ketakutan bahwa perantau menjadi carrier dari kota ke kampung. Akibatnya tabungan yang mereka kumpulkan dengan susah payah, terpaksa dipakai terlebih dahulu untuk kebutuhan di perantauan.
Karena kita tahu bahwa saat ini banyak pekerja-pekerja yang di PHK, atau bahasa sopannya di rumahkan. Pemutusan hubungan kerja membuat para perantau berada pada dua pilihan, menggunakan tabungannya untuk modal usaha, atau ongkos pulang kampung. Apa di bilang, masalah saat ini ibarat gunung es di lautan.
Kekhawatiran semakin berlebih bagi mereka yang diam di wilayah episentrum covid-19. Sehingga terpaksa sebagian dari mereka mesti menghubungi keluarga di rumah, dengan berat hati berkata "Pak, Bu, maafkan anakmu belum bisa mudik". Kita tahu hal tersebut adalah keputusan terberat yang harus diambil.
Bukan 'lebay' atau berlebihan, mereka yang memutuskan untuk tidak mudik patut kita respon positif, karna ada sikap mementingkan kehidupan orang banyak, terutama di kampung halamannya dan memilih bertahan hidup sambil mencari alternatif akibat situasi yang tidak menentu.
Tapi, jangan juga kita menyudutkan mereka yang memilih untuk mudik, karena jika ditelisik kembali, kultur ini akan tetap berjalan meski kondisi bagaimanapun, jadi kita tak bisa sepenuhnya menyalahkan mereka yang memutuskan untuk pulang kampung, di saat seperti ini perlu sikap saling memahami.
Mudik atau tidak, adalah pilihan semua orang, apalagi saat ini bertepatan dengan datangnya Ramadhan, di mana ada juga tradisi hari pertama puasa adalah waktunya berkumpul bersama keluarga, dalam bahasa sunda lebih dikenal dengan istilah 'munggahan'. Momen tersebut merupakan kebersamaan yang sangat berharga bagi orang muslim.
Ketika orangtua di kampung halaman mendapat pesan bahwa anaknya tak bisa pulang menjelang Ramadhan, pasti campur aduk rasanya, keinginan orangtua untuk bertemu adalah sebuah keadaan batin yang sangat dalam. Dilema memang, dan sekaligus menjadi buah simalakama.