Kata milenial sering kita dengar hari-hari ini, baik dalam interaksi langsung maupun di sosial media. Secara teori, milenial adalah generasi yang lahir pada rentang tahun 1980 sampai 2000-an.Â
Mereka diyakini sebagai generasi yang akan banyak membawa inovasi serta perubahan dalam struktur kehidupan sosial, budaya, ekonomi, politik, dan pendidikan.Â
Milenial memiliki energi, kecerdasan, dan visi yang baik untuk kemajuan bangsa di masa depan. Saking istimewanya generasi milenial, banyak oknum yang memanfaatkan atau mengeksploitasi para anak muda ini.
Semangat yang terkandung pada kata milenial seakan tercoreng ketika ramai-ramai para politikus mengaku dirinya mewakili suara milenial, bahkan ada pula yang mengklaim dirinya sendiri sebagai bagian dari generasi milenial.Â
Kita lihat, kepentingan politik masuk ke dalam struktur sosial, tak lain dan tak bukan tujuannya adalah mendulang suara sebanyak mungkin dari para generasi muda. Memang kata milenial ini digaungkan saat hiruk pikuk politik bergejolak, mengapa? Kepentingan politik!
Jika kita lihat jumlah generasi milenial di Indonesia yang sangat banyak di pulau jawa saja kurang lebih 35 juta penduduk (tirto)---- belum di belahan Indonesia lainnya.Â
Angka ini tentu menggiurkan bagi mereka yang memiliki kepentingan politik, bagaimanapun caranya suara milenial harus diraih. Sehingga kita dapat melihat, banyak politikus tua yang mencitrakan dirinya sebagai bagian dari kaum milenial. Dalam kontestasi pilpres, kedua kandidat berusaha meyakinkan pemilih muda dengan membangun citra di sosial media atau televisi.
Belakangan ini ada satu partai politik yang mayoritas dihuni oleh generasi milenial. Memang jika dilihat kader-kadernya adalah anak-anak muda, bahkan elite-nya rata-rata lulusan universitas di luar negeri. Kita bisa bilang mereka cerdas secara intelektual, namun hal tersebut berbanding terbalik dengan manuver-manuver yang mereka lakukan di kancah perpolitikan Indonesia. Sehingga niat ingin mencuri perhatian kaum milenial justru memancing besarnya antipati. Karna dari awal partai ini mengklaim dirinya sebagai partai milenial, mewakili laku anak muda masa kini, namun yang dipertontonkan belum mencerminkan hal tersebut.
Dampak dari analisis ini adalah, milenial merasa dirinya tak seperti yang diperlihatkan oleh para politikus, baik muda maupun tua. Perlahan mereka menarik diri, karna tak cocok dengan iklim persaingan politik hari-hari ini.Â
Tak hanya itu, citra milenial di publik pun turut tercoreng oleh tingkah laku elit parpol. Politikus menyeret kaum milenial ke dalam arena politik, bukan untuk diajak ber-inovasi atau mengurangi angka stunting di Indonesia, namun diajak untuk memilih nomor dan partai di 17 April nanti.
Problem lain adalah derasnya arus informasi hoax dan fitnah di sosial media. Penyebabnya tak lain yaitu persaingan politik. Mau tak mau para anak muda terlibat di dalamnya, terlibat menyebarkan atau justru memproduksinya.Â