Apa yang ada di pikiran anak yang menderita autisme (saya tidak memakai istilah ‘anak autis’ karena bagi saya itu pelabelan yang terdengar kejam dan tidak adil bagi mereka) susah ditebak atau diprediksi, apalagi dimengerti oleh kebanyakan orang di sekitar mereka. Orang tua dan guru sebagai orang yang paling dekat pun tidak mudah berinteraksi dengan anak yang menderita autisme karena memang sulit dimengerti jalan pikiran mereka. Apa yang'normal' bagi kebanyakan dari kita , bagi mereka bisa jadi atau kerap kali menjadi sebaliknya, 'tidak normal'. Seolah kita berada di dunia berbeda. Tom, salah satu anak yang menderita autisme di kelas saya – seperti penderita lainnya, sering menyendiri dan tidak mudah membangun pertemanan dengan murid yang lain. Dia terlihat ‘egois’ dan memikirkan diri sendiri. Hal ini, menurut Lawson (2001), disebabkan karena dia sulit memahami isyarat-isyarat umum (social cues) yang biasanya terjadi dalam pertemanan. Misalnya kalau ada teman yang menyapa dengan senyum, seharusnya menurut ‘ukuran normal’ dia membalas dengan senyum. Kekurangan theory of mind ini menyebabkan Tom sulit memahami apa yang diisyaratkan oleh temannya. Anak normal bisa belajar hanya dengan melihat apa yang diperbuat orang lain atau temannya. Namun tidak demikian dengan anak yang menderita autisme. Baron-Cohen dan Goodhart (1994) mengadakan penelitian tentang hal ini. Mereka meletakkan dua boneka di dekat sebuah kotak. Boneka yang satu menyentuh (tetapi tidak melihat ke dalam) kotak, yang lainnya tidak menyentuh tetapi melihat ke dalam kotak tersebut. Ketika anak-anak yang menderita autisme ditanya “boneka mana yang tahu apa yang ada di dalam kotak tersebut”, banyak yang menjawab boneka yang memegang kotak. Sebaliknya, ketika pertanyaan tersebut dilontarkan kepada anak normal, dengan cepat mereka menjawab boneka yang melihat ke dalam kotak. Dalam obrolan saya dengan Jos, salah satu orang tua murid yang juga menderita autisme (severe) pada masa kecilnya, beliau mengatakan ‘Dunia saya tidak sama seperti dunia orang normal’ yang artinya cara pandangnya berbeda dengan cara pandang orang normal. Dia mengatakan ada banyak gap yang seringkali dialaminya. Orang menjadi tidak sabar bila dia tidak mengerti apa yang menurut mereka seharusnya bisa dia pahami oleh orang seumurnya. Banyak orang menyangsikan apakah Jos bisa berbicara. Mereka berpikir dia bodoh karena tidak banyak bicara. Padahal menurutnya, dia tidak banyak bicara bukan karena tidak mampu belajar berkomunikasi dengan bahasa, tapi alasannya sederhana karena dia tidak memahami untuk apa orang berbicara. Stereotyping atau anggapan umum ‘seharusnya begini atau begitu’ seringkali menjadi kendala bagi anak yang menderita autisme untuk diterima di masyarakat. Mereka akan terus hidup di dunia yang ‘berbeda’ tanpa pemahaman dari dunia ‘orang normal’ yang mengerti jalan pikiran (theory of mind) mereka. Sama halnya ketika orang merasa aneh melihat seorang mahasiswa baru belajar naik sepeda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H