Mohon tunggu...
Ferry Ananto
Ferry Ananto Mohon Tunggu... pegawai negeri -

It isn't over..

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Gimana Jadinya ya kalau Masyarakat Adat Menjaminkan Perairan Pesisirnya?

14 Maret 2011   03:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:48 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada tahun 2007, tepatnya pada tanggal 17 Juli 2007 salah satu lembaga jaminan untuk benda-benda tidak bergerak yang dikenal di Indonesia yaitu Hak Tanggungan telah bertambah obyeknya dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP-3K).  Melalui Undang-Undang tersebut dikenal adanya rezim baru pengaturan wilayah pesisir, dimana sebelumnya pemanfaatan wilayah perairan pesisir dilakukan oleh masyarakat tanpa adanya suatu alas hak yang jelas pengaturannya.

Dengan adanya UU PWP-3K tersebut, pemanfaatan perairan pesisir diberikan dalam bentuk Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3).  HP-3 meliputi pengusahaan atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut yang diberikan dalam luasan dan waktu tertentu.

Adapun subyek hukum yang dapat diberikan HP-3 dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu:

1.     Orang perseorangan warga negara Indonesia;

2.     Badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia; atau

3.     Masyarakat adat.

Yang paling menarik dari UU PWP-3K adalah ketentuan Pasal 20 yang menentukan bahwa HP-3 dapat beralih, dialihkan, dan dijadikan jaminan utang dengan dibebankan Hak Tanggungan.  Adanya ketentuan ini merupakan suatu hal baru yang mungkin di kemudian hari akan berdampak terhadap masyarakat pada umumnya dan dunia usaha (perbankan) pada khususnya.

Sebelum melangkah lebih jauh ke dalam hukum jaminan, ada baiknya kita melihat terlebih dahulu apakah HP-3 termasuk benda sehingga dapat dijadikan sebagai jaminan (kebendaan).

Pengertian benda menurut pasal 499 KUH Perdata: Segala sesuatu yang dapat dikuasai oleh manusia dan dapat dijadikan obyek hukum.

Adapun pengertian benda Prof R. Soebekti, SH adalah segala sesuatu yang dapat dijadikan obyek hukum dan dapat dihaki/zaak (hak).

Berdasarkan pengertian tersebut, maka HP-3 dapat dikategorikan sebagai suatu benda karena HP-3 memberikan hak kepada subyek hukum pemegangnya untuk melakukan pengusahaan terhadap obyek hukum yang berupa HP-3 atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut.

Adapun pengaturan jaminan dalam KUH Perdata:

Pasal 1131 KUH Perdata menentukan bahwa segala harta kekayaan debitur, baik yang berupa benda bergerak maupun benda tetap, baik yang sudah ada maupun yang akan ada di kemudian hari menjadi jaminan bagi semua perikatan yang dibuat oleh debitur dengan para krediturnya.

Dengan demikian, tanpa diperjanjikan sebelumnya pun, segala harta kekayaan debitur baik yang berupa benda bergerak maupun benda tetap, baik yang sudah ada maupun yang akan ada di kemudian hari menjadi jaminan pelunasan hutang dari debitur kepada kreditur.  Dalam hal ini, tanpa HP-3 dibebani dengan Hak Tanggungan pun, HP-3 tersebut tetap akan menjadi jaminan bagi pelunasan utang dari debitur kepada kreditur, namun apabila jumlah kreditur lebih dari 1 (satu) maka para kreditur tersebut tidak mempunyai hak khusus (previlegie) untuk didahulukan pelunasan utangnya dan berbagi dengan kreditur tanpa jaminan khusus lainnya berdasarkan asas paritas cridetorium.

Selanjutnya Pasal 1132 KUH Perdata menentukan bahwa kekayaan debitur menjadi jaminan secara bersama-sama bagi semua pihak yang memberikan utang kepada debitur, sehingga apabila debitur wanprestasi, maka hasil penjualan atas harta kekayaan debitur dibagikan secara proporsional menurut besarnya piutang masing-masing kreditur, kecuali apabila diantara para kreditur tersebut terdapat alasan-alasan yang sah untuk didahulukan dari kreditur-kreditur lain.  Hak jaminan ini melahirkan hak khusus (previlegie) bagi kreditur untuk didahulukan pelunasannya dari hasil penjualan benda tertentu milik debitur yang dibebani dengan jaminan.  Untuk mendapatkan hak jaminan khusus tersebut, harus diperjanjikan terlebih dahulu oleh debitur dan kreditur.

Namun demikian yang menjadi permasalahan adalah apabila pemegang HP-3 adalah masyarakat adat dan dijadikan sebagai jaminan pelunasan utang.  Suatu jaminan memang tidak akan mempunyai arti apa-apa sepanjang pelunasan hutang berjalan lancar sesuai dengan apa yang diperjanjikan.  Akan tetapi apabila HP-3 dijadikan sebagai jaminan hutang oleh masyarakat adat dan pelunasan hutang tidak berjalan lancar, apakah HP-3 tersebut dapat dialihkan kepada pihak lain?  Hal ini tentu tidak dikehendaki karena pada hakekatnya pemberian HP-3 kepada masyarakat adat dikarenakan masyarakat adat tersebut telah mengelola wilayah perairan pesisir tersebut secara turun temurun dan berlanjut dari satu generasi satu ke generasi berikutnya.  Oleh karena itu perlu kiranya pemberian HP-3 bagi masyarakat adat perlu dikecualikan dari ketentuan bahwa HP-3 tersebut dapat beralih, dialihkan, dan dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun