Jika Aku Menjadi Mereka
Hudup memang indah kalau kita bisa menikmatinya dengan rasa syukur. Syukur mungkin adalah salah satu hal yang pada waktu itu belum kumengerti sepenuhnya, betapa dalam maknanya, bahkan sampai kini, masih menjadi misteri dan sering kali susah untuk dilakukan.
Sepanjang masa kecilku, SD, aku habiskan di salah saru desa yang bernama Hutabarat. Bisa dibilang desa ini masih sangat kolot, jauh dari peradaban. Apalagi waktu itu, kira-kira 10-15 tahun yang lalu. Kehidupan orang-orang disana juga bisa dibilang jalan ditempat.
Hampir 80% penduduk disana hidup dari bertani, sisanya berkebun dan berternak. Dan banyak juga diantara mereka yang hanya bekarja sebagai buruh tani. Mereka mengusahakan tanah orang dan akan dibagi dua hasilnya dengan tuan tanah. Memang terasa tidak adil, si tuan hanya hanya duduk santai akan mendapat jatah yang sama dengan si buruh yang berkerja mati-matian siang sampai malam untuk mengusahakan tanah. Tapi, sepertinya itulah hukum alam.
Ayahku bekerja sebagai kepala PLN di kecamatan itu. Jadi, sosok ayahku memang cukup terpandang diseluruh kecamatan yang berpenduduk 3500 jiwa waktu itu. Keluargaku sangat sederhana, apalagi ibu juga hanya ibu rumah tangga. Tetapi jika dibandingkan dengan penduduk sekitar, kami satu kasta bahkan dua kasta malah di atas mereka. Bukannya sombong, tapi itulah kenyataan yang ada.
[caption id="attachment_293908" align="alignright" width="233" caption="binayuliawati.blogspot.com"][/caption]
Aku masih sangat ingat, sangat ingat. Jika aku mengingatnya hari ini sering kali tak kuasa menahan air mata. Aku punya teman dekat, sepermainan yang bernama Darius. Rumahnya tepat di depan rumahku.
Aku masih ingat betul, makanannya sehari-hari hanyalah ikan asin sepotong yang dibakar di atas bara api dari kayu bakar, ditambah cabe rawit ulek dengan garam, ditambah sayur daun ubi yang tumbuh liar di belakang rumahnya.
Itu makanan yang sangat mewah. Jika kadang tidak punya duit, dia dan neneknya hanya makan nasi, garam, dan cabe rawit saja. Tapi ga tahu kenapa aku merasa kalau menu mereka itu sangat enak, luar biasa enaknya, mungkin karena menu seperti itu tidak pernah kutemui di rumahku sendiri.
Aku juga teman yang mungkin lebih parah. Satu keluarga, ayah ibu dan 4 orang anak, karena kerasnya hidup untuk mencari rejeki, mereka kadang mengganti makan siang mereka hanya dengan pisang beberapa buah, yang kebetulan tumbuh di samping rumah mereka.
Aku cukup sering menonton acara di Trans Ketika Aku Menjadi, salah satu acara yang sangat inspiratif menurutku. Aku sangat bisa merasakan bagaimana kehidupan keluarga-keluarga di acara tersebut. Dan keluarga-keluarga yang kutemui dulu sewaktu kecil, banyak yang masih lebih di bawah keluarga yang ada di acara tersebut.
Bisa dibilang, dulu, seaktu kecil, Aku Menjadi Mereka. Aku sering sekali ikut dengan semua kegiatan mereka. Ketika musim panen padi di sawah tiba, aku ikut membantu, mereka beternak, aku ikut membari makan, mereka pergi ke kebun, aku ikut memetik hasil kebun
[caption id="attachment_293907" align="alignleft" width="251" caption="blog.coderpro.org"][/caption]
Aku sangat mengerti rasanya bangaimana menjadi mereka. Menjalani kehidupan mereka sehari-hari, menjadi mereka.
Tetapi aku tetap adalah manusia biasa yang tidak tahu untuk mensyukui hidup ini. Sering kali aku mengeluh ketika sedikit saja bagian dari hidup ini yang terasa kurang ketika semua hal yang penting telah terpenuhi.
Aku hanya berharap, semoga kehidupan mereka saat ini sudah jauh lebih baik. Maafkan aku, karena aku menjadi orang yang sangat egois waktu itu dan tidak bisa berbuat apa-apa. Maafkan aku…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H