Mohon tunggu...
Ferry Silitonga
Ferry Silitonga Mohon Tunggu... karyawan swasta -

My life = psychology + movies + musics

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Ibu Penjual Jamu

3 Oktober 2010   08:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:45 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Iri dan cemburu membuatku stres. Rasa dengki telah merasuk dan berakar dengan begitu kuatnya di hati ini. Bagaimana tidak, kedua orang tuaku memperlakukanku berbeda. Mereka pilih kasih. Mereka lebih menyayangi saudaraku yang lain. Aku benci mereka sekarang. Sangat benci!

Kekesalanku semakin meluap setelah ayahku membagi warisan kami. Sebagai anak tertua aku seharusnya mendapat jatah lebih, eh, si tua tak tau diri itu hanya memberiku tabungan yang hanya bisa untuk mencukupiku makan semalam saja. Dan memang benar, hanya satu malam. Puluhan juta kuhabiskan dalam satu malam dengan nikmatnya beberapa pasang pelacur, alkohol, dan teman-teman yang haus akan uangku. Tapi, setelah semuanya habis, mereka kabur. Mereka hanya berteman dengan uangku saja. ------------------------------ Dipinggir jembatan ini adalah tempat terakhirku. Tidak ada lagi tujuanku hidup di dunia ini. Keluargaku pasti menolakku dan teman-temanku meninggalkanku. Tinggal selangkah lagi, aku akan pergi dari dunia ini. "Jamu mas..... jamu...." Lamunanku terkoyak dipinggir jembatan yang sepi ini. "Jamu mas... silahkan..." "Tapi aku tidak suka jamu bu..." "Ayo mas, coba saja dulu..." "Maaf bu, tidak... aku juga tidak punya uang lagi..." "Ga apa-apa mas... coba aja deh... malam ini gratis, khusus buat mas..." Kuperhatikan cara ibu itu yang dengan cekatan menuang satu ramuan dengan ramuan. Ibu ini begitu polosnya. Ibu ini tidak tahu ya kalau aku ingin bunuh diri? "Aduh... bu... pahit banget..." "Namanya juga jamu mas... sekarang coba ini...." "Nih... yang ini enak bu, manis..." "Hidup memang pahit mas mulanya, tapi pasti akan ada manisnya... percayalah" "Ibu kok malam-malam gini masih jualan?" "Saya hanya mengikuti langkah kaki ini mengarah mas" "Ibu memang tidak punya rumah?" "Pulanglah mas... masih banyak orang yang mencintai mas... " Dengan kecekatan yang sama, ibu itu memberesi perkakasnya dan pamit. Aku termenung di pinggir jembatan seraya mendengar sayup-sayup di tengah kegelapan, jamu...jamu... ----------------------- Aku sadar telah menjadi anak yang sangat bodoh. Aku hanya menginginkan kasih sayang orang tuaku karena berpikir memang itulah tugas orang tua. Sekarang aku sadar. Menjadi anak tidak hanya mengemis cinta orang tua, tetapi mengabdi kepada mereka sebagai ucapan syukur atas cinta kasih yang tak berkesudahan yang mereka senantiasa berikan. I love you, mom and dad... * gambar diambil dari indonesimedia.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun