Mohon tunggu...
Ferri Ahrial
Ferri Ahrial Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Menulis di indonesiakreatif.net\r\n\r\nferriahrial@hotmail.com\r\nFollow me on Twitter; @FerriAhrial

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menyangsikan Relokasi

16 Agustus 2015   11:49 Diperbarui: 16 Agustus 2015   11:49 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kalau begitu, memandang lebih jauh lagi, istilah relokasi yang hubungannya dengan manusia sebetulnya hampir dekat dengan penghinaan publik. Terkecuali, relokasi itu berdasarkan inisiatif manusianya sendiri. Berdasarkan riset yang saya lakukan ke permukiman warga, mayoritas warga setempat pada dasarnya tidak mau pindah. Akan tetapi ada upaya-upaya dari pihak penguasa kota untuk memecah-belah warga. Sekali lagi, bila memang ini yang sesungguhnya terjadi, konsep seperti ini mirip sekali dengan konsep kolonial. Dan saya senantiasa berharap bahwa itu tidak terjadi.

Wajar sekali bila warga tidak mau pindah kendati tempat tinggal mereka berdesak-desakan. Hubungan manusia dengan tanah adalah hubungan yang rumit sekali. Ruang yang sempit itu ialah ruang hidup mereka, sejarah mereka, serta menyimpan kenangan yang tidak bisa dibeli dengan apapun. Oleh karena sempit sekali, kenangan mereka tentunya akan sangat detil sekali. Ridwan Kamil mesti menyimak kembali sebuah lagu lawas yang dipopulerkan oleh Lucifer yang berjudul House for Sale.

Kalau kita rela menyempatkan waktu untuk menyimak kembali lagu itu, kemungkinan besar kita bisa terbantu untuk memahami serta dapat mempersegar pemahaman bahwa selalu ada penderitaan pada orang-orang yang disuruh meninggalkan ruang hidupnya. Idealnya, penderitaan itu mesti dihitung oleh pemilik kebijakan. Dan itu tidak bisa diukur dengan indikator ekonomi.

Sekali lagi, saya meyakini bahwa kata ‘relokasi’ untuk ruang hidup manusia adalah sebuah penghinaan publik yang serius. Bahwasanya manusia bukanlah lidah buaya atau pun pohon palem yang dapat seenaknya direlokasi dari pot satu ke pot lainnya.

Bila ruang hidup mereka merupakan polusi visual bagi kelas menengah ke atas, kenapa tidak pemerintah kota membangkitkan semangat warga setempat untuk memperhatikan estetika permukimannya?  Misalnya, rumah-rumahnya yang tadinya membelakangi sungai disuruh menghadap ke sungai agar sungainya terus terpelihara. Sebab, dulu semua orang membangun rumahnya menghadap ke sungai seperti kita yang saat ini menghadap ke jalan raya. Alasannya, karena sungai saat itu masih menjadi jalur transportasi utama. Sejak ada jalan raya, rumah-rumah pada membelakangi sungai. Dan sungai itu menjadi ruang belakang, bukan lagi menjadi ruang depan. Dalam kultur Indonesia, yang namanya latar belakang biasanya buruk dan jorok.

Pemerintah Kota tidak bisa semata-mata mengandalkan argumen hukum. Persoalan ini juga harus mengamalkan pendekatan-pendekatan kebudayaan. Ada pun pendekatan kebudayaan itu urusannya rumit dan lama, tidak bisa ditempuh dalam waktu seminggu-dua minggu saja. Sementara Ridwan Kamil meminta warga setempat untuk ‘direlokasi’ dalam waktu kurang dari sebulan ini tanpa ada kejelasan pemindahan sampai dengan hari ini (5/8/2015).

Jangan sampai upaya pembangunan amphitheater dan gedung serba guna di lokasi itu malah dinilai sebagai urusan kelompok kapital. Dan urusan kelompok kapital itu adalah urusan investasi serta memiliki target yang terencana; seperti waktu, fisik, pencapaian, dan break event point. Dan, untuk kedua kalinya, konsep ini cenderung mirip dengan konsep kolonial.

Bila upaya ini ialah solusi atas perusakan lingkungan, pemerintah kota sebaiknya juga memberhentikan aktivitas pabrik-pabrik tekstil yang selama ini telah berkontribusi banyak dalam pembuangan limbah di Sungai Cikapundung. Sebab, itulah sumber pokok perusakan lingkungan di Sungai Cikapundung selama ini.

Mengutip perkataan Hawe Setiawan (Budayawan Sunda); Bandung seolah-olah seperti kota yang diciptakan tadi malam dengan segala pendangkalan kebudayaannya dan keterburu-buruannya.

Pada dasarnya, secara bahasa maupun kebudayaan, merelokasi ruang hidup manusia secara paksa merupakan hal yang tidak pernah diizinkan. Dan satu-satunya relokasi yang diizinkan ialah relokasi yang timbul atas inisiatif manusianya sendiri.

House for sale, it was yours and it was mine and tomorrow some strangers will be climbing stairs to the bedroom filled with the memories the one we used to share. Begitu kata Lucifer dalam tembang House for Sale.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun