[caption caption="Warga Kampung Kolase berfoto di depan rumah mereka"][/Foto
“seruling berkawan pantun
tangiskan derita orang priangan
selendang merah, merah darah
menurun di cikapundung”
Priangan Sidjelita (1956) karya Ramadhan K.H.
Dengan menghayati kembali puisi Priangan Sidjelita karya Ramadhan K.H memungkinkan kita untuk menyelami penderitaan warga Bantaran Cikapundung, Kelurahan Hegarmanah, Kecamatan Cidadap yang ruang hidupnya akan ‘direlokasi’ tak kurang dari sebulan lagi. Istilah ‘relokasi’ akhirakhir ini kerap kali digunakan oleh Pemerintah Kota Bandung dalam rangka memberikan solusi atas permasalahan ini. Menurut walikota Bandung, Ridwan Kamil, pemerintah kota akan segera ‘merelokasi’ 36 keluarga di lokasi itu ke Rusunawa Sadang Serang, karena warga selama ini telah menempati tanah milik Pemkot Bandung.
Saya sendiri merasa perlu untuk mempertimbangkan apakah ‘relokasi’ merupakan solusi yang manusiawi seperti yang pernah diutarakan oleh Ridwan Kamil melalui akun Instagram-nya pada Jumat (31/7/2015) lalu. Saya seketika bertanya; betulkah relokasi adalah solusi yang paling manusiawi untuk melegalkan keberadaan mereka? Apakah betul bahwa urusan relokasi hanya berpaut pada aspek ekonomi dan hukum?
Pengertian ‘relokasi’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah pemindahan tempat. Di sana, KBBI memberikan saya sebuah contoh untuk masing-masing kata ‘relokasi’ dan ‘merelokasi’. Contoh untuk kata ‘relokasi’ tercantum begini; rencana relokasi industri di daerah itu segera diwujudkan. Untuk kata ‘merelokasi’, contohnya begini; pemerintah hendaknya segera merelokasi potongan hewan milik warga yang ada di permukiman penduduk. Dari contoh-contoh tersebut saya menafsirkan bahwa kata ‘relokasi’ ialah kata yang diciptakan untuk mengakomodasi kepentingan benda mati, hewan, dan kawasan industri. Itu artinya tidak satu pun manusia mau pun ruang hidupnya yang diizinkan untuk mengamalkan kata ‘relokasi’ dalam konteks praktis.