Mohon tunggu...
Fernando situmorang
Fernando situmorang Mohon Tunggu... Pengacara - Vox Populi Vox Dei

Hukum ada untuk memberikan kemanfaatan, keadilan dan kepastian

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Adilkah Dana BPJS Dihabiskan untuk Cuci Darah?

1 Oktober 2024   13:34 Diperbarui: 1 Oktober 2024   13:39 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kesehatan penduduk Indonesia akhir-akhir ini sangat mengkhawatirkan. Banyak Pasien yang mayoritas kaum muda sudah melakukan cuci darah dikarenakan pola hidup yang tidak sehat. Pemerintah dengan perlindungan BPJS nya telah melakukan beberapa serangkaian program untuk melindungi anggota masyarakat yang terdaftar dalam BPJS termasuk program Cuci Darah. Permenkes Nomor 3 tahun 2023 pada pasal 45 menerangkan bahwa BPJS kesehatan juga menyediakan layanan cuci darah dengan biaya perkantongnya senilai Rp. 360.000,- Berdasarkan Data tahun 2023, BPJS telah menggelontorkan senilai Rp. 2.919.190.263. 610 atau senilai 2.919 Triliun (liputan6.com). 

Berdasarkan data tersebut diatas mencerminkan bahwa penduduk Indonesia sudah mulai dan meninggalkan pola hidup sehat, dan cenderung mengkonsumsi makanan cepat saji dan minuman berpemanis sehingga menimbulkan kerja ginjal terganggu. Kondisi ini tentu tidak bisa dibiarkan begitu saja berlalu, pemerintah tidak bisa berserah kepada keadaan dan perilaku masyarakat, maka sudah seharunya pemerintah harus menyusun kebijakan kebijakan yang dapat membatasi perilaku tidak sehat warganya.

Maraknya gerai-gerai makanan cepat saji dan minuman berpemanis menjadi salah satu faktor utama besarnya pasien gagal ginjal dikarenakan ketidakmampuan ginjal untul bekerja mengolah over kalori yang diterima tubuh. Gerai-gerai makanan cepat saji dan minuman permanis seharusnya memiliki tanggung jawab moral terhadap dampak dari produknya terhadap konsumen. Undang-undang Perlindungan Konsumen tentu dapat dijadikan acuan untuk melakukan penuntutan tetapi karena dampaknya bukan dirasakan oleh konsumen secara langsung pada saat mengkonsumsi maka ini akan menjadi proses panjang yang pembuktiannya akan sulit untuk dibuktikan.

Mengacu kepada aturan penetapan cukai bahwa barang yang memiliki sifat negatif akan dikenakan cukai, tentu minuman manis dan makanan cepat saji sudah memenuhi kategori bersifat negatif. Makanan dan minuman yang bersifat negatif terhadap tubuh seperti minuman berpemanis, makanan olahan, makanan siap saji dan monosodium glutamat (MSG) sudah sangat memenuhi untuk dikenakan cukai. Jika dibandingkan dari sisi ekonomis tentu pendapatan Negara dari gerai makanan dan minuman tersebut tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk perlindungan kesehatan akibat gagal ginjal. Penetapan Cukai kepada Produk makanan dan minuman tersebut sudah sangat mendesak. Pemerintah dapat mengenakan tarif seperti tarif Cukai Tembakau sebesar 57% dari HJE sebagaimana tercantum dalam PMK Nomor 198/2020. Negara dapat menerapkan Tarif Makanan dan Minuman yang bersifat negatif dengan cukai yang beragam sesuai sifat negatif yang dikandungnya.

Pemerintah sudah seharusnya segera menerapkan cukai bukan hanya dikarenakan dari aspek ekonomi namun aspek kemanusiaan untuk menyelamatkan warganya dari penyakit kronis yang siap-siap untuk merenggang nyawa dari raga yang mengidapnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun