Saat ini, terapi plasma konvalesen menjadi salah satu alternatif pengobatan yang diandalkan dalam proses penyembuhan pasien COVID-19. Puluhan tahun lalu, terapi serupa sudah diterapkan juga pada kasus MERS.
Sesuai namanya, terapi ini dilakukan dengan memasukan plasma darah dari penyintas COVID-19 kepada pasien yang masih positif terinfeksi. Harapannya, hal ini dapat meningkatkan sistem antibodi pada tubuh pasien yang masih sakit dan mencegah penyakit untuk berkembang semakin parah, serta mempercepat waktu penyembuhan.
Awalnya, sebenarnya tidak ada rencana untuk mendonorkan plasma konvalesen. Saya sudah sering mendengar istilah itu akhir-akhir ini, tetapi entah kenapa tidak tebersit niat untuk ambil bagian. Tidak tahu juga kenapa. Mungkin karena ketakutan saya terhadap jarum suntik dan darah---dua hal yang wajib dihadapi saat mendonorkan darah.
Namun, tiga hari yang lalu, teman kontrakan berkata bahwa orang-tua-dari-temannya sedang membutuhkan donor plasma dan dia berniat pergi ke PMI untuk mendonor. Tanpa pertimbangan, saya tiba-tiba bilang, "Ya sudah, gue ikut aja. Kalau nanti lo ternyata gak bisa, biar gue yang gantiin."
Kami akhirnya pergi ke PMI Kota Tangerang untuk tes. Ternyata benar! Setelah melalui pemeriksaan darah, sayalah yang memenuhi syarat untuk mendonor, teman saya tidak. Petugas menginformasikan bahwa pengambilan plasma akan diadakan keesokan hari, kami harus pulang dulu.
Saya tiba-tiba menyesal mengapa mengajukan diri. Bayangan tentang jarum suntik dan darah membuat jantung kebas. Saya takut, tetapi tidak berniat untuk mundur.
Dalam perjalanan ke PMI keesokan harinya, ketakutan-ketakutan itu tak juga memudar, malah semakin memuncak. Namun, tekad saya sudah bulat: now or never!
Saya mungkin hanya akan terkena COVID sekali seumur hidup. Atau, kalaupun kemudian hari terkena lagi, mungkin penyembuhan dengan terapi plasma ini tidak relefan lagi karena penawarnya sudah ditemukan. Dan saya akan menyia-nyiakan kesempatan berbuat baik yang tidak terjadi pada semua orang.
Pemikiran inilah yang menguatkan tekad saya. Ini kesempatan sekali seumur hidup yang akan sangat sayang untuk dilewatkan. Tidak boleh menunggu, apalagi batasnya hanya maksimal tiga bulan pascasembuh dari COVID.
Saya juga merasa bahwa sudah ditakdirkan untuk ini. Sebelumnya, saya tidak pernah mendonorkan darah sama sekali. Bukannya tidak ada niat, sangat niat malah, tetapi berat badan saya tidak pernah mencukupi. Namun, setelah terinfeksi COVID dan dirawat di Wisma Atlit, berat badan saya bertambah drastis hingga menyentuh angka 60kg. Bukankah ini sebuah tanda? Berat badan saya kini memenuhi kualifikasi untuk mendonorkan darah. Mungkin ini juga menjadi jalan saya untuk 'membayar' segala fasilitas gratis yang sudah saya terima di Wisma Atlit.
Jadi, saya benar-benar harus melakukan ini!
Dengan gemetar, akhirnya saya masuk ke ruang donor. Sayangnya, alat apheresis---alat untuk mengambil darah---berada di sebelah kanan, sementara darah akan diambil dari lengan kiri saya. Mampus! Mau tidak mau, selang darahnya harus melintang di dada, terpampang nyata. Dengan sedikit berbisik, saya bilang ke petugas PMI, "Kak, boleh tidak selangnya tidak saya lihat? Saya takut darah!"
Petugas tersenyum dan menjawab, "Kita sembunyikan di bawah selimut saja kalau gitu ya, Kak!"
Setelah itu, proses pengambilan darah pun dimulai. Saya diberi satu balon pompa untuk di remas-remas di telapak tangan agar proses pengambilan darahnya berjalan lancar. Sepanjang prosesnya, saya masih takut, tentu saja. Namun, sebenarnya tidak ada yang menyeramkan.Â
Tusukan jarum seperti tusukan saat cek darah biasa. Saya sudah membayangkan bahwa darah akan disedot dan saya akan merasa seperti korban isapan vampir di film-film, tiba-tiba pucat kehabisan darah dan mati. Ternyata tidak. Aliran darah hampir tidak terasa, hanya sedikit kebas efek meremas-remas balon pompa.Â
Yang membuat saya lemas hanyalah ketakutan saya pada jarum suntik dan darah. Untungnya, ruangan donornya sangat nyaman, tempat tidurnya nyaman, dan ada film di TV LCD yang bisa dipakai untuk mengalihkan perhatian dari 'proses penyedotan' ini.
Tiga puluh atau empat puluh lima menit kemudian, seluruh rangkaian pengambilan plasma selesai sudah. Tidak ada yang pingsan, tidak ada yang pucat kehabisan darah, tidak ada yang mati, saya masih bisa berdiri dan pulang dengan selamat. Saya pulang dengan perasaan bahagia, bahwa hari itu saya sudah mengubah sakit menjadi berkat, bahwa saya sudah menghadiahi seseorang---yang tidak saya kenal---bagian dari diri saya, sesuatu yang berharga yang mungkin akan menyelamatkan nyawanya.
Saya tidak menganggap diri sebagai malaikat, tetapi yang saya tahu, saya sudah melakukan kebaikan. Dan itu rasanya sungguh menenteramkan.
Melalui unggahan ini saya juga ingin mengajak teman-teman penyintas COVID-19 untuk melakukan hal yang sama. Jika Anda penyintas COVID dan sudah dinyatakan sembuh maksimal 3 bulan lalu, berumur 18-60 tahun dengan BB lebih dari 55 kg, hubungilah PMI terdekat dan donorkan plasma konvalesen Anda. Itu mungkin akan menyelamatkan nyawa seseorang.
Memang kita tidak diberi imbalan apa pun, hanya diberi sepaket susu dan camilan, tetapi rasa bangga karena telah berbuat kebaikan itu tidak bisa tergantikan oleh apa pun.
Mari berdonor!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H