Film adalah narkoba keduaku setelah buku. Film Holywood, lebih tepatnya. Bukannya apa, aku merasa rugi saja mengeluarkan uang untuk menonton film produksi dalam negeri. Bukan bermaksud songong, hanya saja, film-film dalam negeri biasanya hanya diproduksi dalam hitungan bulan, dana minim dengan hanya bermodalkan belahan dada, dan alur cerita yang mudah ditebak. Sudah kebayang kan bagaimana hasilnya?
Padahal dengan harga tiket yang sama, aku sudah bisa menikmati film produksi luar negeri, yang digarap selama bertahun-tahun, dengan dana yang tidak tanggung-tanggung, tim profesional dan aktor-aktor pemenang Academy Award.
Namun, berbeda dengan film-film produksi dalam negeri lain yang tidak kugandrungi, aku sudah sangat menantikan film Wiro Sableng ini sejak pertama kali direncanakan untuk diangkat ke layar lebar.
Selain karena membawa nama besar 20th Century Fox, aku semangat menantikan film Pendekar 212 karena sarat dengan nostalgia masa kecil. Masih jelas tergambar dalam ingatan ketika aku harus 'martandang' ke rumah orang untuk menonton serial film ini. Aku ingin mengalami masa-masa manis itu sekali lagi.
Well, pada akhirnya--dengan sangat menyesal--aku hanya bisa memberi enam bintang.
---
Dimulai dari soundtrack.Â
Sejak awal, aku sudah sangat ingin mendengar lagu 'Wiro-Wiro Sableng, Sinto-Sinto Gendeng' (tidak tahu judulnya), seperti yang biasa ada di awal dan akhir serial Wiro Sableng di masa kecilku dulu (kalian tahu kan, maksudku?).
Tapi, hingga detik terakhir tidak ada sedikit pun lagu ini terdengar. :'( Padahal lagu itu sudah menjadi semacam identitas untuk film Wiro Sableng. Dan harusnya akan sangat menjadi faktor utama suksesnya misi mengulang-masa-kecilku.
Kedua, kualitas acting.
Yes, I know nothing about acting. Tapi, kita pasti bisa mengetahui jika para pemain di sebuah film tidak terkesan natural. Aku terutama tidak puas dengan acting Vino G. dan Sherina Munaf yang menjadi aktor utama dalam film laga ini. Rasanya ada yang tertahan. Tidak tahu apa karena dialog yang 'dipaksakan' memakai gaya modern (nilai minus lagi. Saya lebih suka jika dialognya memakai gaya zaman kolot) atau karena faktor lain. Entahlah.Â
Selain itu, Vino yang speaking voice-nya terlalu light itu menurutku---sebenarnya---tidak terlalu cocok untuk memerankan Wiro. Benar, karakter Wiro harus diperankan oleh seseorang yang pembawaannya santai. Tapi, suara Vino yang terlalu ringan menjadi sebuah masalah.Â
Belum lagi jika dibandingkan dengan pemeran Wiro zaman dulu, Wiro di film ini tidak cukup 'sableng' untuk dinamai Wiro 'Sableng'. Kurang 'gila'.Â
Namun di sisi lain, aku memberi sejuta jempol untuk acting Yayan Ruihan (Mahesa Birawa) dan Lukman Sardi (Werku Alit). Mereka terlihat sangat iblis dan keren. Oh, juga Dwi Sasono (Raja Kamandaka). Ternyata pria kocak itu bisa acting serius juga.
Ketiga, efek visual.
Benar bahwa kualitas visual film ini sudah jauh lebih baik daripada film-film produksi dalam negeri lainnya. Sungguh. Apalagi ketika Wiro Sableng dan guru Sinto Gendeng mengeluarkan jurus-jurus andalan mereka. Efek yang muncul dari tangan dan menguar di udara, terlihat sangat natural. Pengambilan gambarnya juga cukup keren.
Sinar matahari yang menyeruak di antara pepohonan mengingatkan aku pada film 'Goodbye Christhoper Robin'. Namun, kekagumanku dengan efek yang keren itu harus terjun bebas ketika adegan Wiro Sableng, Anggini, Rara Murni, Bujang Gila dan seorang penjahat jatuh dari sebatang pohon ke dalam jurang. Maksudku, potongannya terlihat sangat tidak rapi persis seperti serial-serial laga yang biasa kita tonton di Ind*siar.
Keempat, laga.
Jujur, adegan pertarungan di film ini tidak ada yang membuatku menahan napas atau sedikit deg-degan, seperti yang biasa kita alami saat menonton film laga. Tidak ada. Pertarungannya dibuat terlalu hati-hati dan tidak 'berani', menurutku. Kurang sadis. Aku perlu melihat banyak darah dan tulang patah!!!
Kelima, malas 'take' ulang.
Mungkin sudah karakter kita membiarkan kesalahan kecil terjadi dengan anggapan bahwa orang lain tidak akan memperhatikannya.
Ketika geng Mahesa Birawa mengepung Permaisuri dan Pangeran ke arah singgasana, sepersekian detik aku melihat Permaisuri (diperankan oleh Marcella Zalianty) malah tersenyum ke sebelah kiri. Bukankah harusnya dia ketakutan bukan kepalang?
Aku yakin, tim editing juga pasti melihat ini namun memilih untuk membiarkannya. Well, I saw it and I'm not fine with it. Mengapa tidak mau sedikit repot untuk mengulang adegan sekali lagi? Sungguh disayangkan.
Kesimpulannya, membawa nama besar 20th Century Fox ternyata tidak membawa pengaruh yang cukup signifikan untuk membuat film produksi dalam negeri menjadi lebih berkualitas. Sedikit lebih baik, mungkin iya. Tapi tidak 'sebaik' itu.
 Namun bagaimana pun---di samping review yang bertema 'Ketidakpuasan' ini, aku tetap merekomendasikan film Wiro Sableng untuk ditonton. Beberapa dialog kocak cukup membuat kita tertawa dan terhibur, dan tentunya kualitasnya sudah jauh lebih baik dibanding film-film horror yang hanya bermodalkan belahan dada itu.
Selamat menonton.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI