Mohon tunggu...
Fernando Galang Rahmadana
Fernando Galang Rahmadana Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa biasa

Let's enjoy!

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Pendakian Gunung Lawu via Cetho: Perencanaan dan Buah Perencanaan

7 Mei 2020   09:32 Diperbarui: 7 Mei 2020   09:58 707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana di Gupakan Menjangan dan telaga musiman

Setelah rehat cukup lama karena peralihan musim kemarau ke musim penghujan yang seringkali kondisi alam kurang bersahabat, akhirnya kami masih diberi kesempatan bertemu Mbok Yem pemilik warung tertinggi di Indonesia yang terletak di Gunung Lawu. 

Gunung Lawu sendiri terletak di Pulau Jawa, Indonesia, tepatnya di perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur yang berada di tiga kabupaten yaitu Karanganyar, Ngawi, dan Magetan. 

Gunung Lawu memiliki ketinggian 3265 MDPL yang termasuk dalam seven summits Pulau Jawa serta memiliki tiga puncak yaitu Hargo Dalem, Hargo Dumiling dan yang tertinggi Hargo Dumilah. Gunung Lawu terkenal akan keeksotisan alamnya baik di atas gunung maupun di kaki gunungnya. Tak heran jika Gunung Lawu menjadi tujuan populer para pendaki gunung atau wisatawan yang sekedar ingin menikmati alam di sekitar Gunung Lawu. 

Selain keindahan alam, Gunung Lawu terkenal akan wisata unik yang menawarkan beberapa daya tarik sekaligus: alam, mistis, religius, dan sejarah. Karena itulah kemudian kami tertarik melakukan perjalanan pendakian ke Gunung Lawu. Bukan tanpa alasan kami memilih jalur Cetho, karena Gunung Lawu via Cetho merupakan salah satu jalur primadona para pendaki yang hendak ke Gunung Lawu.

Pentingkah Perencanaan?

Kurang lebih sebulan kami mempersiapkan pendakian kali ini, kami sadar pendakian kali ini tidak mudah selain karena musim penghujan, juga karena jalur Cetho merupakan salah satu trek pendakian yang panjang ( 15 km) dan memiliki waktu tempuh yang lama pula. 

Perencanaan kian dituntut harus matang dengan melihat komposisi tim yang terdiri dari satu pria dan tiga lainnya wanita. Perencanaan menjadi pondasi dasar bagi orang yang hendak melakukan pendakian di gunung manapun. Dengan mempersiapkan segala sesuatunya diharapkan meminimalisir resiko yang terjadi saat pendakian. 

Tidak hanya sebatas persiapan logistik dan uang sebelum melakukan pendakian, melainkan persiapan lain seperti persiapan fisik, mental, dan juga memahami karakter gunung hingga kondisi cuaca. Mulanya tim pendakian kali ini berjumlah lima orang, namun, di tengah persiapan ada satu anggota tim yang memutuskan mundur dari tim karena sadar kondisinya kurang memungkinkan. 

Tim ini sudah beberapa kali mendaki gunung bersama di gunung Jawa Tengah dan Jawa Timur, termasuk ke Gunung Lawu dua kali yang melalui jalur Cemoro Kandang dan juga Jalur Cetho ini. Bisa dibilang pendakian kali ini dalam rangka reuni menikmati alam Lawu jalur Cetho dan temu kangen dengan Mbok Yem.

Karena kebetulan alat-alat pendakian sudah lengkap, tidak perlu repot lagi bagi kami untuk memikirkan biaya tambahan. Menabung jadi lebih ringan dan beda semisalnya kalau kami tidak memiliki alat-alat pendakian dan harus menyewa. 

Perjalanan ikut dipusingkan karena seakan dikejar waktu, semakin lama mengembalikan barang sewaan maka semakin mahal pula yang harus dibayar. Meski sudah sering melakukan pendakian, haram hukumnya bagi kami untuk menyepelekan persiapan fisik dengan olahraga. 

Persiapan fisik menjadi persiapan paling utama sebelum melakukan pendakian, tanpanya bisa jadi pendakian akan terganggu bahkan menimbulkan resiko besar selama di gunung. Lari ringan menjadi pilihan paling praktis sekaligus berdampak besar buat kondisi tubuh. Selain menguatkan otot, juga berkontribusi meningkatkan kekebalan dan stamina tubuh. 

Ada olahraga lain yang bisa menjadi pilihan di tengah kesibukan sebagai mahasiswa seperti kami, seperti lompat tali, senam lantai, naik turun tangga atau jalan kaki saat ke kampus, dan masih banyak opsi lainnya.

Sebelum melakukan banyak persiapan, kami selalu melakukan rapat koordinasi jauh-jauh hari. Rapat ini membahas banyak hal dan kesepakatan-kesepakatan bersama. 

Penting bagi kami untuk menyatukan visi sebelum melakukan pendakian gunung, meskipun tidak sedikit juga orang di luar yang menganggap berlebihan harus ada rapat koordinasi dan persiapan lainnya sebelum pendakian. 

Ada banyak hal yang kita bahas saat rapat koordinasi seperti keuangan, logistik, jadwal latihan, cuaca, transportasi, susunan rencana perjalanan pendakian, hingga jadwal dan menu makan di gunung pun kita bahas. Sedetail mungkin selalu kami bahas di rapat koordinasi dan tidak ketinggalan pula memastikan telah mengantongi izin dari orangtua sebelum melakukan pendakian gunung.

Buah dari Perencanaan yang Matang

Tidak terasa hari-H pun tiba, 28 Februari 2020 pukul 06.00 WIB kami kumpul dan melakukan final packing sebelum berangkat. Pagi menjelang siang kami berangkat menuju basecamp pendakian Gunung Lawu via Cetho yang terletak di Gumeng, Jenawi, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Di tengah perjalanan, kami istirahat sejenak untuk ibadah dan makan siang. Meski melakukan perjalanan jauh dan berkegiatan di alam bebas, ibadah tetap menjadi prioritas nomor satu. 

Setelah melewati perjalanan yang disuguhkan megahnya kaki gunung, akhirnya saat matahari rasanya tepat di atas kepala, kami sampai di basecamp pendakian. Sesampainya di basecamp kembali melakukan final packing sebelum pendakian dimulai dan melakukan pemanasan ringan. 

Tak lupa kami menyempatkan ngobrol dengan orang lokal perihal cuaca akhir-akhir ini dan tempat camp pertama yang memungkinkan untuk kami singgahi di hari pertama sekaligus tak lupa berbagi canda tawa dengan mereka. Pendakian hanyalah alat, dan sebuah pelajaran adalah tujuan utama kami melakukan pendakian. Pelajaran pertama kami dapat dari orang lokal yang menasehati kami untuk tetap berhati-hati dan saling menjaga, terlebih hanya ada satu pria dan yang lainnya wanita.  

Kami kemudian bergegas menuju loket registrasi yang terletak di samping Candi Cetho yang sekaligus menjadi pintu gerbang pendakian. Kami berkenalan dengan para pemuda penjaga loket sekaligus mendengarkan wejangan dari mereka. 

Meski kami mendaki hanya berempat, kami tetap berusaha melibatkan banyak orang dalam pendakian. Gunung bukanlah tempat yang pantas untuk mengumbar keegoisan apalagi kesombongan, meski di luar gunung juga rasanya tidak pantas. Tak lupa mereka juga menyampaikan aturan-aturan selama pendakian berlangsung.

Perjalanan kami mulai dengan do'a bersama di bawah pintu gerbang pendakian. Di awal pendakian kami sudah disuguhkan dengan air sungai yang mengalirkan air jernih nan tenang kemudian jalan sebentar terdapat situs candi lainnya selain Candi Cetho, yaitu Candi Kethek. 

Di tengah perjalanan menuju pos 1 kami menjumpai bangunan yang belum ada saat kami kesini dua tahun lalu, semacam kolam sumber air yang dibalut dengan batu penuh estetik. Sampai di pos 1 kami terpaksa mengenakan jas hujan karena kondisi gerimis dan membuat sekujur badan basah air hujan bercampur air keringat. 

Hutan Gunung Lawu memanjakan perjalanan awal, seakan gunung hanya milik kami berempat mengingat sepinya pendakian kala itu. Hari semakin gelap  saat kami terus berjalan menuju pos 2 dan pos 3 yang punya trek pendakian relatif sama dengan didominasi lebatnya hutan gunung. Tidak banyak hal yang kami lakukan sesampainya di pos 3 selain mendirikan tenda dan masak lalu istirahat.

Dini hari sampai pagi hari kami dibuat cemas dengan badai angin yang suaranya menggeru-nggeru tiada henti. Karena memang alam susah ditebak, beruntung menjelang siang badai sudah berlalu dan kami bisa melanjutkan pendakian menuju camp selanjutnya di Gupakan Menjangan. Di sini kondisi fisik menjadi kunci utama, selain trek yang panjang, trek juga lebih terjal dari sebelumnya. 

Meskipun berat dan melelahkan, setidaknya ada satu kejadian yang membuat kami berhenti patah semangat. Di Pos 4 kami bertemu dengan anak kecil berusia tujuh tahun bernama Kiddo yang baru saja turun dari puncak. 

Kami banyak mengobrol dengan rombongannya dan tak lupa menawarkan cokelat ke anak kecil itu, memang selalu menyenangkan berbagi di alam bebas seperti ini. Setelah berjalan cukup lama, hamparan sabana membuat semua terpana dan tidak ingin menyiakan kesempatan untuk berfoto ria. Dengan berjumpa sabana pertama maka tidak jauh lagi akan sampai di Pos 5 atau Bulak Peperangan yang juga tak kalah indahnya. 

Bulak Peperangan
Bulak Peperangan

Setelah berjalan 5 jam dari Pos 3 akhirnya kami menjadi tim pertama yang sampai di Gupakan Menjangan hari itu. Sabana kedua yang lebih luas nan indah semakin membuat diri terpana ditambah dengan sahutan kabut dan telaga musiman yang kebetulan sedang musimnya terisi air. Setelah selesai mendirikan tenda, foto, bermain air, dan masak akhirnya kami masuk tenda masing-masing dan istirahat sebelum malamnya briefing untuk persiapan summit attack dini hari nanti. Lagi-lagi badai datang  malam itu dan membuat kami merumuskan beberapa opsi untuk esok hari.

Suasana di Gupakan Menjangan dan telaga musiman
Suasana di Gupakan Menjangan dan telaga musiman

Pukul 02.00 dini hari keajaiban datang, yang sebelumnya badai terus membuat cemas justru berubah dengan cuaca cerah dan bintang bertaburan di langit. 

Dengan semangat kami masak dan persiapan untuk summit attack. Bersama rombongan lain, kami dengan lega berjalan menyusuri sabana dengan kelap-kelip bintang di langit. Suhu waktu itu tidak terlalu dingin hingga perjalanan berjalan normal. Sesampainya di Pasar Dieng kami hampir saja tersesat. 

Setelah sekitar 15 menit mencari jalan akhirnya "beruntung" bertemu jejak berupa sampah, yang berarti ini jalur semestinya. Terkenal di kalangan pendaki bahwa semakin banyaknya sampah di sepanjang jalur pendakian hampir dipastikan mustahil pendaki tersesat. 

Meski begitu, bukan berarti boleh membuang sampang sembarangan seperti pesan, "jangan meninggalkan apapun kecuali jejak, jangan mengambil apapun kecuali foto". 

Mentari mulai mengintip malu dari ufuk timur saat kami hampir menggapai puncak. Headlamp kami matikan dan indahnya mata memandang selalu memanjakan kami hingga sampai puncak. Sesampainya di puncak kami bergegas menunaikan sholat subuh sebelum matahari muncul penuh. 

Tim berhasil menggapai puncak tertinggi Gunung Lawu
Tim berhasil menggapai puncak tertinggi Gunung Lawu

Lautan awan dengan keindahan bumi dari puncak Gunung Lawu, pelukan, ucapan selamat, dan muka penuh keharuan setiap pendaki terpancar di puncak kala itu Setelah puas menikmati pemandangan di puncak akhirnya kami turun dan mampir ke warung tertinggi di Indonesia nan legendaris "Mbok Yem". Hanya dengan 13 ribu kami menikmati hidangan nasi telur dan sayur. 

Tak lama kami segera bergegas ke camp dan packing untuk turun. Naasnya, hujan deras menghajar kami saat perjalanan turun dengan jalan pendakian yang berubah bak aliran sungai. Beruntung dengan perencanaan dan persiapan matang kami sampai di basecamp dan Jogja dengan selamat.

Kondisi tampak luar warung Mbok Yem
Kondisi tampak luar warung Mbok Yem

Kondisi tampak dalam warung Mbok Yem
Kondisi tampak dalam warung Mbok Yem

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun