Mohon tunggu...
FERNANDO
FERNANDO Mohon Tunggu... Pengacara - Civil Law Student at santo thomas university

Pecta sunt servanda

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Hak Asuh Anak Tidak Selamanya Diberikan kepada Ibu Pasca Perceraian (Perspektif Hukum)

8 Juli 2023   12:24 Diperbarui: 8 Juli 2023   12:33 518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://id.pngtree.com/freebackground/two-parents-fighting-over-child-in-divorce-concept_2031654.htmlInput sumber gambar

Asumsi dimasyarakat pada umumnya bahwa pasca perceraian sebaiknya hak asuh anak diberikan kepada mantan istri(ibu dari anak tersebut) apa lagi anak tersebut masih kecil atau belum dewasa, karena mantan istri memiliki hubungan batin dengan sianak maupun lebih mengetahui cara mendidik anak yang benar, sebab kebanyakan ibu-ibu bertugas untuk menjaga,merawat, mendidik anak sedangkan  suami pada umumnya bertugas untuk mencari nafkah. Asumsi di atas bisa dikatakan  benar meskipun tidak sepenuhnya benar, karena hukum di Indonesia juga mengatur tentang hak asuh anak pasca perceraian, baik hukum perkawinan No 1 tahun 1974  maupun Kompilasi Hukum Islam. Kompilasi Hukum Islam pasal 105a mengatur bahwa “ ketika terjadi perceraian pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya” pada pasal 105b dikatakan bahwa setelah anak tersebut sudah mumayyiz, untuk pengasuhan anak diberikan kepada sianak untuk memilih antara ayah atau ibunya. Ada perbedaan pengaturan antara yang diatur di dalam Kompilasi Hukum Islam dengan undang-undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan. di dalam undang-undang perkawinan dikatakan bahwa pasca perceraian bapak dan ibu berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, bilamana ada perselisihan mengenai siapa yang berhak mendapat hak asuh anak, maka pengadilan  dapat memberikan keputusannya(pasal 41a).  perbedaan yang terjadi antara Kompilasi Hukum Islam dengan undang undang perkawinan No 1 tahun 1974 menimbulkan pertanyaan. Dari kedua Hukum tersebut, hukum mana yang diberlakukan?

Sebelum kita menjawab pertanyaan tersebut terlebih dahulu kita harus mengatahui bahwa Hukum yang mengatur tentang perkawinan di Indonesia adalah undang-undang no 1 tahun 1974, tetapi ada pengecualian kepada mereka yang beragama muslim. Umat muslim bisa mengesampingkan Undang-undang No 1 tahun 1974, karena adanya Kompilasi Hukum Islam(lex spesialis) tersebut, sehingga untuk umat muslim berpatokan kepada kompilasi hukum islam, tetapi hal-hal yang tidak diatur di dalam kompilasi hukum islam selalu merujuk kepada Undang-undang No 1 tahun 1974 sedangkan mereka yang tidak beragama muslim berpatokan kepada undang-undang No 1 tahun 1974.

Meskipun di dalam kompilasi hukum islam dikatakan bahwa anak yang belum mumayyiz atau  belum berumur 12 tahun hak asuhnya ada pada ibunya tetapi  hal tersebut tidaklah mutlak, tergantung pertimbangan hakim dan fakta dipersindangan. Di dalam beberapa putusan pengadilan, hakim memberikan hak asuh anak mumayyiz kepada ayah bukan kepada ibu. 

Ketika hakim memutuskan memberikan hak asuh anak kepada ayah, hakim tersebut tidak semata-mata memutuskan tanpa ada pertimbangan  melainkan mempertimbangkan dari segala aspek keadilan, kemanfaatan dan kepastian. Memang dasar hukum memberikan hak asuh anak kepada ayah tidak dituliskan secara langsung, melainkan malalui yurisprudensi(putusan hakim yang berkekuatan tetap) NO;102k/sip/1973. di dalam yurisprudensi tersebut dikatakan hak asuh anak yang masih kecil  diutamakan diberikan kepada ibu kandung  demi kepentingan anak tersebut, kecuali ibu tersebut  tidak layak untuk menjaga anak-anaknya sehingga ayah dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan untuk mendapatkan hak asuh anak , tetapi   ayah tersebut   harus memiliki bukti yang  kuat bahwa ibu tidak bisa atau tidak layak mendapatkan hak asuh anak, jika lingkungan ibu dari anak tersebut berbahaya bagi tumbuh kembangnya anak, Misalnya  ibu tersebut memiliki riwayat pemabuk, pemain judi, bekerja ditempat diskotik, suka menelantarkan anaknya  dan lain lain. Selain yurisprudensi di atas, ada beberapa putusan hakim yang memutus hak asuh anak yang belum mumayyiz diberikan kepada suami(ayah anak) seperti putusan Nomor:0471/pdt.6/2015.PA.KAG. 

Di  dalam fakta persidangan terbukti bahwa sang ibu bekerja di perkebunan kelapa sawit sepanjang hari, mulai dari pagi sampai sore, dan anak tersebut dititipkan kepada ibu mertua. Dengan mengetahui bahwa pekerjaan si ibu seperti itu, maka Hakim Mempertimbangkan hak asuh anak diberikan kepada si ibu, sehingga putusan hakim memberikan hak asuh anak kepada si ayah.

Meskipun sudah diatur di dalam kompilasi hukum islam bahwa hak asuh anak  yang belum mumayyiz diberikan kepada ibu, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa kedua belah pihak sepakat bahwa hak asuh anak diberikan kepada ayah atau hak asuh anak dari beberapa anak yang mereka miliki diberikan kepada pihak ayah dan pihak ibu. Kesepakatan bersama menjadi kunci di dalam pembagian hak asuh anak, jika terjadi kesepakatan antara ayah dan ibu  maka hukum yang mengatur tentang hak asuh anak dapat dikesempingkan(tidak berlaku) dan hakim tidak bisa memberikan putusan kepada siapa anak tersebut diberikan karena ayah dan ibu dari sianak tersebut sudah sepakat. Sesuai dengan ketentuan yang diatur tentang kesepakatan(perjanjian), yang mengatakan bahwa perjanjian yang sudah disepakati bersama menjadi undang-undang bagi mereka yang membuatnya, dan kesepakatan yang mereka buat tersebut tidak bisa ditarik kembali oleh satu pihak kecuali atas kesepakatan kedua belah pihak(pasal 1338 Kuhperdata).

Kompilasi hukum islam pasal 105a menyebutkan bahwa ibu memiliki hak asuh anak yang belum mumayyiz  pasca perceraian. Dengan adanya pasal 105a ini maka ibu dari anak tersebut berhak mengasuh atau memberikan hak asuh kepada ayah dari anak tersebut. Hak merupakan suatu keistimewaan yang membuka kemungkinan baginya untuk diperlakukan sesuai dengan keistimewaan tersebut. Ibu tersebut diistimewakan dalam memperoleh hak asuh anak yang belum berumur 12 tahun. 

Hak yang dimiliki oleh ibu dari anak tersebut bisa diambil oleh ibu, bisa juga tidak diambil,  Berbeda dengan kewajiban. Kewajiban itu suatu keharusan dan tidak memiliki pilihan, sedangkan hak bisa dipilih. Bisa dipakai haknya bisa juga tidak. Maka kalau si ibu ingin memberikan hak asuh anak tersebut kepada si ayah juga bisa, tidak menjadi persoalan karena itu merupakan hak siibu. 

Si ayah dan si ibu hanya memiliki kewajiban merawat, mendidik dan membiayai anak dari pernikahan mereka. Tetapi untuk kewajiban memperoleh hak asuh anak tidak diatur oleh undang-undang no 1 tahun 1974 maupun  kompilasi hukum islam. Sedangkan tanggung jawab terhadap kebutuhan sianak pasca perceraian dibebankan kepada ayah dari anak tersebut diatur di dalam pasal 105c kompilasi hukum islam “ biaya pemeliharaan ditanggungoleh ayahnya” dan diatur di dalam pasal 41b undang-undang no 1 tahun 1974” bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak tersebut. 

Di dalam pasal 41b disebutkan bahwa ibu juga dapat bertanggung jawab atas tersebut, jika dalam kenyataannya ayah dari anak tersebut tidak dapat membiayai disebabkan tidak memiliki harta/gaji yang tidak mencukupi. Maka dengan tidak mampunya ayah membiayai anak itu, maka ayah dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan supaya biaya kebutuhan anak itu dibebankan kepada ayah dan ibu. Jika memang terbukti bahwa ayah tidak mampu membiayai anak tersebut, maka pengadilan dapat mengabulkan permohonan ayah  dengan membebani biaya anak kepada ayah dan ibu.

Kesimpulan: dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang berhak mendapat hak asuhanak  yang belum berumur 12 tahun pasca perceraian yaitu ibu tetapi tidak menutup kemungkinan hak asuh anak itu diberikan kepada ayah, jika ibu dari anak itu dianggap tidak layak merawat/membina dan mendidik. Untuk anak yang sudah berumur 12 tahun, hak asuh ditentukan oleh sianak tersebut untuk memilih ikut kepada ayah atau ibu. Sedangkan tanggung jawab membiayai anak diberikan tanggung jawab kepada ayah, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa ibu ikut membiayai anak itu. Sehingga semua tidak mutlak harus seragam dan harus mengikuti apa yang tertulis di dalam undang-undang itu,  tergantung kasus dan fakta dipersidangan. Dari fakta dipersindangan, hakim akan mempertimbangkan dan memuat putusan yang berkeadilan dan bermanfaat kepada sianak itu.

Daftar pustaka

Kompilasi hukum Islam

Huijbers Theo, 1990, filsafat hukum, yogyakarta: kanisius

Kitab undang-undang Hukum perdata

Undang-undang no 1 tahun 1974 tentang perkawinan

ErisaArdika Prasada Andri Sapuan, “PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENETAPKAN HAK ASUHANAK AKIBAT PERCERAIAN DI PENGADILANAGAMAKAYUAGUNG”, Jurnal Hukum Uniski, Vol.3 No.1 Edisi Januari – Juni 2014

Yurisprudensi No:102k/sip/1973

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun