Sering sekali kita melihat ditelevisi atau mendengar berita bahwa debt collector menarik/mengambil paksa kendaraan seseorang yang sedang dikendarai. Tindakan debt collector memang tidak manusiawi, tetapi tindakan debt collector bukan tindakan atas keiginan pribadi melainkan atas tugas yang diberikan  perusahaan leasing untuk mengambil kendaraan yang sedang menunggak cicilannya atau pihak yang mempunyai kendaraan tersebut tidak mampu membayar cicilan kendaraan, sehingga pihak perusahaan memakai jasa debt collector untuk mengambil kendaraan  dengan paksa.Â
Perbuatan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh debt collector tersebut itu hanya dapat dilakukan sebelum keluar putusan Mahkamah Konstitusi. Setelah keluar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XIII/2019 dan putusan Mahkamah konstitusi Nomor 2/PUU-XIX/2021 pihak debt collector ataupun perusahaan leasing tidak bisa sewenang-wenang menarik kendaraan yang menunggak cicilannya atau kredit macet. Putusan Mahkamah tersebut memberikan perlindungan kepada pihak yang menunggak cicilan kendaraannya. Perlindungan yang dimaksud adalah bahwa pihak perusahaan leasing tidak bisa serta merta menarik kendaraan yang sedang jatuh tempo atau gagal bayar.Â
Di dalam putusan Mahkamah Nomor 18/PUU-XIII/2019 menyebutkan bahwa eksekusi/mengambil atas kendaraan yang menunggak cicilannya atau gagal bayar  hanya dapat dilakukan jika ada kesepakatan antara kedua bela pihak tentang cidera janji(wanprestasi) dan pihak yang menunggak cicilannya atau gagal bayar  secara sukarela memberikan kendaraan tersebut kepada perusahaan leasing ataupun  debt collector.Â
Dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut ada 2 hal yang harus dipenuhi supaya pihak perusahaan leasing dapat mengeksekusi kendaraan yang gagal bayar atau yang  cicilan kendaraan menunggak yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak tentang cidera janji dan pihak yang memiliki kendaraan tersebut sukarela memberikan kendaraan tersebut. Kedua hal itu merupakan kumulatif atau bersifat menambah, artinya kedua hal tersebut harus ada/terpenuhi, jika ingin mengeksekusi kendaraan tersebut. Jika salah satu saja dari 2 hal itu ada, maka  tidak bisa dieksekusi.Â
Sebagai contoh: tuan X melakukan kredit mobil di perusahaan leasing Z. pada awal perkereditan mobil tersebut semua berjalan lancar, tuan X selalu tepat waktu membayar uang kredit mobil, tetapi setelah satu tahun melakukan kredit tuan X tidak mampu membayar kredit mobil itu karena bisnis tuan X sedang tidak stabil.Â
Sudah 2 bulan tuan X tidak membayar kredit mobilnya.  Sesuai dengan perjanjian yang disepakati kedua belah pihak bahwa 2 bulan tidak membayar kredit maka pihak perusahaan berhak mengambil mobil tersebut. Sesuai dengan kesepatan yang dituangkan di dalam perjanjian tersebut maka pihak perusahaan memakai jasa debt collector untuk mengambil mobil tuan X. pada saat debt collector ingin mengambil mobil tuan X, tuan X tidak mau memberikan mobil tersebut.  Maka dalam hal ini pihak debt collector tidak bisa memaksa mengambil mobil tersebut dikarenakan sesuai dengan putusan MK nomor 18/PUU-XIII/2019 yang memuat unsur bahwa jika pihak yang kreditnya macet tidak sukarela memberikan kendaraan tersebut maka pihak perusahaan atau pun debt colletor  tidak bisa mengambil kendaraan tersebut, sekalipun para pihak telah sepakat bahwa 2 bulan tuan X tidak membayar kredit maka pihak perusahaan berhak mengambil mobil tersebut. Dari contoh di atas  hanya Satu unsur terpenuhi oleh kedua belah pihak yaitu perjanjian gagal bayar(wanprestasi/cidera janji) tatapi unsur suka rela memberikan kendaraan tidak terpenuhi, sehingga kendaraan tersebut tidak dapat dieksekusi. Solusi atas persoalan antara tuan X dengan perusahaan leasing z tersebut dituliskan oleh Mahkamah Konstitusi yaitu perusahaan leasing Z harus menempuh jalur hukum yaitu mengajukan permohonan kepada  pengadilan supaya bisa mengeksekusi mobil yang gagal bayar.
Setelah adanya putusan mahkamah Konstitusi 18/PUU-XIII/2019 terkait Undang-undang No 42 tahun 1999, pada tahun 2021 sekumpulan orang kembali mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi terkait Undang undang No 42 tahun 1999 ini. Dengan kembalinya diuji Undang-undang No 42 tahun 1999 ini, maka Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan MK 2/PUU-XIX/2021. adapun isi putusan tersebut yaitu merupakan penjelas dari putusan Mahkamah sebelumnya. Yang diperjelas di dalam putusan tahun 2021 ini yaitu bahwa pengadilan negeri hanyalah alternatif dalam mengeksekusi kendaraan yang cicilannya macet. Apabila tidak ada kesepakatan antara kreditur baik yang berkaitan dengan cidera janji/wanprestasi maupun penyerahan secara sukarela objek jaminan dari debitur maka perusahaan leasing dapat mengajukan permohonan eksekusi kendaraan kepada pengadilan supaya kendaraan yang kreditnya macet dapat ditarik oleh pihak perusahaan leasing.
Dari penjelasan di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwasannya perusahaan leasing tidak bisa sewenang-sewenang menarik kendaraan yang kreditnya macet.
Dasar hukum
Putusan Mk Nomor 18/PUU-XII/2019
Putusan Mk Nomor 2/ Â PUU-XIX/2021
Undang undang No 42 tahun 1999
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H