"Pak, mengapa jaman saya sekolah dahulu, kepala sekolah (KepSek) itu mendapat jawal untuk mengajar sedangkan saat ini tidak?" Demikian sebuah pertanyaan seorang rekan dalam menuju sekolah suatu pagi buta, dimana antara kabut asap dan kabut embun menggantung menggoda di langit ibu kota.Â
"Dulu, kepala sekolah itu adalah pendidik dan jabatan kepala sekolah itu sebagai tugas tambahan. Kalau sekarang KepSek itu jabatan politis. Mereka jarang berada di sekolah (apalagi masuk kelas) karena selalu rapat di luar bersama orang-orang penting. Definisi kepala sekolah itu menjadi begitu luas, tidak hanya sebagai tugas tambahan tetapi juga mencari tambahan tugas yang mana sudah barang tentu berdampak terhadap pendapatan.
Obrolan dalam perjalanan tersebut menjadi sebuah cerita yang menimbulkan gelak tawa sebab entah secara sadar atau tidak betapa faktanya bahwa kepala sekolah itu memang tidak lagi memiliki tugas mengajar. They just pretend to be a teacher. Fungsi managerial menjadi lebih menonjol. Melakukan supervisi pembelajaran yang diselenggarakan guru dengan instrumen yang telah ditetapkan. Evaluasi dan insput hanya basi-basah sehingga terkesan menjalankan tugas dengan baik.
Beberapa tahun sebelumnya saya pernah mengalami sebuah cerita yang menarik, tapi lebih tepatnya sangat tidak masuk akal untuk saya. Bahwa salah satu tugas KepSek adalah terkait ManPowerPlanning (MPP). Tugas tersebut mencakup beberapa hal terkait kedinasan seorang guru pada satuan pendidikan yang lalu secara legal tertuang  pada SK mengajar. Saya begitu naif memercayai begitu saja dengan MPP tersebut, pada suatu waktu. Tentu saja sebagai seorang guru dan karyawan saya berlaku sebagai 'good citizen' sehingga dapat mendorong kemajuan organisasi. Tanpa sadar saat ujian tengah semester suatu waktu saya mendapati sebuah lembar yang membagi tugas mengajar yang telah dicetak berdasarkan dapodik pada sebuah tumpukan kertas sampah. Mapel yang saya ampu dalam data dapodik, pada kertas tersebut, tertulis pada nama rekan guru yang lain (dan saya tidak pernah diberitahu). Saya memandang surat tersebut lebih seksama, jangan-jangan pada tahun ajaran yang berbeda.
Saya lalu membawa kertas tersebut kepada seorang kawan yang menjabat sebagai operator sekolah dan dengan sopan menanyakan terait dapodik saya. Dia sempat kaget dan meminta izin wakil kepala sekolah bidang kurikulum terlebih dahulu agar saya dizinkan mengakses dapodik. Saya bilang ke beliau bahwa itu hak saya untuk mengetahui. Dia lalu membuka sembari menunggu gerak lambat sang wakakur.
Saat saya menyimak data yang tersaji pada komputer dapodik, dengan awas mata saya mencocokkan data pada kertas dan yang tetulis pada komputer, saya mendapati seluruh datanya sama. Lalu saya bertanya kepada sang operator mengapa melakukan itu? Dia menyampaikan bahwa itu dilakukan atas instruksi KepSek dan juga telah dicermati oleh wakakur juga guru yang mendapat jatah, tapi saya sama sekali tidak pernah dilibatkan.
"Jadi begini, Pak, pembagian tersebut dilakukan demi menyelamatkan teman-teman yang telah tersertifikasi. Bila jam mengajar mereka kurang maka mereka terancam tidak mendapatkan sertifikasi." Wakakur menjelaskan sebuah muslihat jamak tersebut.
"Lalu mengapa saya tidak dilibatkan?" saya bertanya cukup penasaran. "Bukankah saya seharusnya subjek yang mendapatkan informasi terkait penjelasan Anda tersebut jauh sebelum tahun pelajaran running?" saya bertanya agak tidak terkendali.
"Itu hak kepala sekolah sebagai unit manager untuk mengatur pembagian jam mengajar" jawab wakakur seenaknya.
"Peraturan profesi guru juga mengatur bahwa setiap guru juga punya hak dan saya mau menggunakannya. Pertama, sebagai guru yang mengampu mata pelajaran tersebut, saya tidak mau menipu diri saya sendiri. Agar Anda sebagai operator untuk mencatat mapel tersebut pada nama saya di dapodik dan saya akan cek secara berkala. Itu Pilihan pertama. Pilihan Kedua, silahkan mengatur agar mapel tersebut tetap tercatat pada rekan yang menerima sertifikasi di dapodik dan dia sendiri harus mengajar di kelas. Saya akan dengan suka hati untuk tidak mengajar mapel tersebut. Pilihan ketiga, saya tetap mengajar dan mendapat prosentase dari jumlah jam saya mengajar atas dana sertifikasi yang diterima oleh rekan guru tersebut" saya menjelaskan tanpa dijeda lalu saya pergi tanpa menunggu jawaban dengan kembali menekankan pilihan pertama.
Tanpa ada penjelasan dari kepala sekolah dan juga kawan wakakur serta operator saat saya cek dapodik mapel yang saya ajar telah dicantumkan pada nama saya. Kawan tersebut agak kecut mukanya ketika jumpa saya. Tapi saya menangakap kegundahannya lalu saya bilang bahwa bila Anda mau mengajar mapel tersebut tentu saja dipersilahkan dan saya tidak akan mengganggu kepentingan Anda untuk mendapat uang sertifikasi. Tapi dia menjelaskan bahwa dia telah mengampu dengan jumlah jam mengajar yang banyak tapi tidak linear sehingga bila mungkin agar beban mengajarnya dibagi ke saya tetapi di dapodik tetap di akumulasi ke jam mengajar dia. Tapi saya menolak karena saya juga mau tercatat di dinas pendidikan sebagai pengampu mapel tersebut.
Dari pengalaman tersebut saya lalu lebih teliti ketika kawan guru saya yang menjabat sebagai wakur menyerahkan sebuah SK dari kepala sekolah terkait jam mengajar. Apakah data tersebut juga sama dengan yang tercatat di dapodik? Keterangan beliau bahwa data tersebut telah sesuai. Saya percaya saja sejauh ini dan belum menyimak langsung pada data dapodik. Tentu akan ramai lagi bila ada ketimpangan.Â
Hal menarik ketika saya mencoba minta SK mengajar saya pada jenjang lain yang mana saya juga mengajar di sana, betapa bagian TU begitu kerepotan menjelaskan kepada saya terkait jam mengajar saya yang secara dapodik telah diberikan kepada guru lain dan saya hanya mendapat SK lokal saja an itupun masih penjelasan lisan semata. Kok saya lagi yah? Apakah ini telah menjadi praktik yang begitu lumrah?
Pada prinsipnya tentu saja saya tidak mau menjadi penghisap jerih payah orang lain dan juga berlaku sama bahwa jerih lelah saya entah diganjar sebagai sebuah sertifikasi oleh negara atau tidak dalam bentuk kumpulan rupiah, saya keberatan bila diperlakukan secara tidak adil oleh orang lain.
Hal-hal seperti ini tentu saja tidak menjadi perhatian seriusnya seorang menteri Nadim Makarim yang terus bergulat dalam kurikulum merdeka. Atau jangan-jangan ini juga menjadi bagian dari ekspresi merdeka kepala sekaolah dari sebuah satuan pendidikan dalam mengelola SDM di dalamnya? Tapi menurut saya, alangkah baiknya bila praktik-praktik seperti ini tidak dibenarkan dan setiap kepala sekolah yang megatur seperti itu harus dimintai pertanggung jawaban dihadapan hukum.
Salam Guru Merdeka
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H