Hidup manusia barangkali terdiri atas tumpukan-tumpukan pengalaman entah itu yang menyenangkan, menduka, juga kecewa. Entah itu pengalaman yang sifatnya sangat pribadi-eksistesial atau juga pengalama bersama sebagai manusia.Â
Ada pengalaman yang membekas dan sulit untuk beralu bahkan terus menggantung dalam benak ketika itu terlalu sentimentil dan kita berbaginya dengan orang lain.Â
Terkait berbagi ini kita juga harus hati-hati sebab tidak setiap orang dapat dipercaya dan sering kali mengekploitasi kegundahan orang lain untuk kepentingan diri mereka sendiri.
Pada artikel ini saya hendak membagikan sebuah pengalaman yang cukup personal dalam perjumpaan dengan yang lain (the others).Â
Ceritanya barangkali tidak terlalu menarik untuk disimak juga mungkin cenderung membuka aib diri sebab boleh jadi cerita ini tidak perlu ditanggapi secara serius apalagi sampai menulis panjang lebar dalam sebuah blog yang dapat diakses publik seperti ini.Â
Tapi dari pengalaman ini sebenarnya saya ingin berbagi kiat bagaimana cara kita mengahadapi perlakuan tertentu, terutama merendahkan, dari orang lain terhadap diri kita.Â
Bagaimana agar kita tetap menjabat erat tangan kita sendiri dan tidak harus terluka karena perlakuan orang lain apalagi bila sampai melukai.
Dalam sebuah peristiwa saya terlibat perjumpaan dengan beberapa orang yang menarik untuk disimak lakunya.Â
Ketika masuk pintu ruang pertemuan tersebut salah seorang yang telah datang lebih awal dalam ruang tersebut menyambut dan menyapa, mengucapkan selamat tahun baru sembari mengulur tangan.Â
Saya pun menyambut tangan orang tersebut dan mengucapkan hal serupa juga padanya. Orang kedua yang saya jumpai hanya tersenyum saja. Saya hendak mengulurkan tangan dan megucapkan selamat tetapi kedua tangan orang tersebut dia selibkan di antara dua pahanya sambil duduk tanpa mengucap kata, tersenyum saja.Â