Cukup lama taraf kecerdasan intelektual (Intellectual Quotient, IQ) mendominasi sebagai instrument pengukur kemampuan seseorang. Akibatnya begitu banyak orang  dinilai cerdas atau tidak tidak cerdas berdasarkan kriteria kemampuan logika intelektual belaka. Orang yang tidak memiliki kemampuan intelektual tertentu dapat diklasifikasikan sebagai orang tidak pintar, bahkan dipinggirkan. Untuk masuk perguruan tinggi bergengsi di duniapun banyak yang mengalami kegagalan sebab kampus-kampus ternama juga menetapakn standar IQ tinggi bagi calon mahasiswa.
Seorang pemikir dan juga psikolog pendidikan asal Amerika Serikat, Howard Gardner mencoba mendobrak dominasi IQ sebagai alat mengukur kecerdasan seseorang dengan mengembangkan Multiple Intelligence (MI). Bagi Gardner kecerdasan masing-masing orang itu bersifat majemuk (multiple) sehingga mengkalsifikasi cerdas atau tidak cerdasnya seseorang hanya dengan menggunakan alat ukur tes IQ sebagai sebuah kekeliruan dan reduksionisme terhadap manusia sebagai makhluk berakal budi.
Apa alasan yang melatarbelakangi sehingga untuk mengukur tingkat kecerdasan seseorang itu hanya menggunakan tes IQ belaka? Dalam konteks sejarahnya terdapat beberapa tokoh penting yang menggagasnya. Paul Broca (1824-1880) berkebangsaan Prancis and Sir Francis Galton (1822-1911) berkebangsaan Inggris merupakan dua orang yang menduga atau mengukur tingkat kecerdasan seseorang berdasarkan ukuran batok atau tengkorak kepala. Mereka berasumi semakin besar tengkorak seseorang maka semakin cerdas orang tersebut.[1]
 Pada saat yang bersama seorang saintist asal Jerman, Wilhelm Wundt (1832-1920) mengukur tingkat kecerdasan seseorang dengan menggunakan instrospeksi (the human ability to reflect on their own thoughts) untuk mengukur kecerdasan seseorang. Gagasan mereka ini kemudian menajdi using ketika IQ (Intellectual Quotient ) test menjadi instrument untuk menakar kecerdasan seseorang.[2]
 Tes IQ di zaman modern mulai dikembangkan pada tahun 1904 oleh Alfred Binet (1857-1911) and Theodore Simon (1873-1961). Dua pemikir tersebut merupakan psikolog berkebangsaan Prancis. Ada beberapa hal yang membuar IQ test menjad alat ampuh untuk menakar kecerdasan seseorang karena melalui IQ test  akan diketahui secara saintifik terkait pengetahuan objektif seseorang tentang penalaran logis (logical reasoning), kecerdasan berbahasa dalam menemukan kata-kata berirama (finding rhyming words), dan penamaan benda (naming objects).Â
IQ test bertahan cukup lama dalam perkembangan peradaban manusia karena dinilai cukup efektif dalam menakar kemampuan seseorang dan dapat memetakan pekerjaan yang diberikan kepada seseorang  sehingga dapat menjadi lebih produktif dan berhasil.
 Namun menurut Howard Mills Gardner, Psikolog pendidikan berkebangsaan Amerika Serikat yang lahir pada tahun 1943 di Pensylvania, bahwa tidak cukup memadai bila kecerdasan manusia diukur hanya dengan meggunakan satu alat ukur kecerdasan saja yaitu kecerdasan intelektual semata.
 Gardner lalu melakukan riset tentang kecerdasan manusia. Menurut Gardner ada Sembilan kecerdasan dalam diri setiap manusia. Berkembang atau tidaknya setiap kecerdasan tersebut tergantung pada setiap individu kecerdasan apa yang paling digunakan dan lebih sering diasah.
 Kesembilan kecerdasan tersebut yakni kecerdasan bahasa atau lingusitik sebagai kecerdasan dalam mengolah kata, bertutur, atau mengolah kata untuk mengungkapkan gagasan. Kedua adalah kecerdasan logika matematis yaitu kemampuan untuk berpikir kritis, berpikir sebab akibat, konsep, mengukur, serta memiliki ketertarikan pada angka. Ketiga, kecerdasan kinstetik yaitu kecerdasan gerak tubuh dalam melakukan aktivitas fisik. Keempat, kecerdasan visual spasial yaitu kecerdasan dalam membaca simbol, pola, dan berpikir kreatif.Â
Kelima, kecerdasan musik yaitu kepekaan terhadap suatu nada, irama dan melodi. Keenam, kecerdasan interpersonal yaitu kecerdasan dalam membina hubungan baik dengan orang lain. Ketujuh, kecerdasan intrapersonal yaitu kecerdasan tentang mengenali diri sendiri, terkait apa yang disukai dan tidak disukai dan juga refleksi diri. Kedelapan, kecerdasan naturalist yaitu yang memiliki kepekaan terhadap tumbuhan, binatang dan angkasa. Dan kesembilan yaitu kecerdasan eksistensilis sebagai kemampuan seseroang merefleksikan diri dan semesta dan mempertanyakan tentang eksistensi diri dan diri lain di luar dirinya sendiri.
 Kesembilan kecerdasan tersebut merupakan nilai intrinsik bagi setiap orang sehingga mengkategorikan seseorang cerdas atau tidak berdasarkan kecerdasan intelektual semata, menurut Gardner, tidak cocok. Kecerdasan yang sering nampak adalah yang paling dirawat dan diasah oleh setiap individu.
 Dalam kaitannya dengan kegiatan pembelajaran di sekolah, maka guru berkewajiban memiliki pengetahuan yang memadai terkait kecerdasan majemuk atau multiple intelligence tersebut. Memiliki pemamahan yang memadai akan memungkinkan setiap guru dapat mengembangkan kegiatan pembelajaran lebih beragam dan atraktif. Dengan demikian pembelajaran akan lebih terdiferensiasi serta mampu mentriger selera belajar bagi setiap peserta didik.
 Setelah kegiatan pembelajaran cukup beragam dikembangkan di kelas oleh pendidik, maka sangat penting juga mengembangkan multiple assessment atau asesmen yang beragam dalam mengukur ketercapaian pembelajaran siswa. Soal ujian dapat seperti pilihan berganda, uraian, mencocokan, esay, presentasi, dan lain sebagainya. Tempat untuk melakukan asesmen juga dapat beragam melalui pertemuan langsung, dalam jaringan, di luar ruangan, dan lain sebagainya.
Â
Penulis
 Fernandes Nato
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H