Politik sejatinya adalah sebuah  gagasan luhur bila tidak mau dibilang kudus. Setiap mereka yang terlibat dalam politik ataupun menggagas bentuk politik tertentu harus dapat dilihat sebagai orang-orang kudus sekuler. Sebab politik itu selalu membicarakan keadaban publik, kemaslahatan publik, dan juga memperjuangkn nilai-nilai yang layak dihidupi oleh publik. Ada banyak orang yang bicara tentang politik tetapi hanya sedikit saja yang menjadi politisi dan mau bertarung menjadi representasi dari seluruh  warga negara. Mereka adalah orang-orang yang tidak keberatan bila presentasinya dinilai, dikritisi, bahkan harus rela dicaci maki bila tidak cukup mampu mengemban amanat rakyat. Bahkan Ketika berhasil sekalipun ruang kritik itu selalu terbuka.
Sebuah wacana menarik dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait geliat politik jelang pemilu 2024. Salah satu hal yang menyerap banyak atensi dari publik adalah tentang diperbolehkannya politisi untuk berkampanye di wilayah Kampus. Wacana tersebut menarik dismiak dan mengundang perdebatan  pro dan kontra dikarenakan menurut UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 serta dalam PKPU Nomor 23 Tahun 2018 tentang Kampanye, melarang untuk melaksanakan kampanye di Kampus (dan/atau tempat ibadah).
Memahami Kampanye Politik
Mari kita mengangkat perdebatan ini ke tengah ruang pertukaran gagasan atau diskursus publik terkait apa itu kampanye politik. Kampanye itu sendiri memiliki pengertian sebagai aktivitas yang terorganisir dan mengandung poses komunikasi dengan tujuan untuk membujuk, memengaruhi, memotivasi, serta menciptakan dampak bagi masyarakat serta memiliki tujuan jelas dalam kurun waktu yang telah ditentukan (Venus 2004).
Sedangkan politik itu sendiri memiliki pengertian yang sangat luhur. Dari etimologinya dapat ditinjau hingga ke pengertian politik pada zaman Yunani Kuno yaitu Polis. Polis sendiri adalah suatu kota yang memiliki status negara kota atau City State. Seiring berkembangnya zaman, pengertian politik juga turut berkembang di Yunani yang dapat ditafsirkan sebagai proses interaksi yang dilakukan oleh individu dengan individu lain agar bisa mencapai kebaikan bersama.
Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI mendefenisikan bahwa politik merupakan suatu pengetahuan tentang ketatanegaraan atau kenegaraan seperti sistem pemerintahan dan juga dasar pemerintahan.
Dari pengertian-pengertian tersebut dapat kita manarik suatu pemahaman bahwa kampanye politik itu sebenarnya sebuah aktivitas yang sanga baik untuk dilakukan dan juga untuk disimak dengan seksama sebab yang dikampanyekan itu terkait bagaimana cara yang terbaik dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang (baca: Partai Politik) untuk mengatur dan menata kehidupan bersama melalui polis atau negara.
Tetapi bagaimana dengan Kampanye Politik yang diwacanakan untuk dilakukan di tempat yang secara perundang-undangan dilarang? Seperti Kampus, misalnya, sebagai salah satu tempat yang diatur agar tidak dicederai oleh aktivitas politik praktis, Kampanye Politik.Â
Kampus, Ruang Pembudayaan Nilai
Dalam Filsafat Pendidikan Platon, Paideia, mengidealkan calon pemimpin itu harus yang khaloskagathos (elok dan baik). Elok dan baik ini tentu tidak tekait paras secara fisik tetapi pada level tata pikir dan juga tata laku. Bagaimana agar tata pikir dan tata laku tersebut dapat mencapai level Khaloskagatos, elok dan baik, maka diperlukannya sebuah sistem Pendidikan yang terstruktur, terukur, dan memiliki nilai. Dalam lingkungan pembibitan dan pembudayaan nilai tersebut, yang mana kita sebut sekolah atau Kampus, dididik mereka yang siap menjadi pemimpin masa depan sebuah polish atau negara.
Ketika wacana Kampanye Politik diperbolehkan untuk masuk ke dalam ruang pembibitan dan pembudayaan nilai tersebut, apakah akan menciderai keadaban generasi yang dipersiapkan untuk menjadi generasi masa depan suatu bangsa, Indonesia misalnya? Atau Politik justru terciderai Ketika diperdebatkan untuk dikampanyekan ke dalam ruang pembudayaan nilai bagi generasi masa depan bangsa tersebut?
Civitas akademik di kampus tentu bukanlah manusia rasional belaka yang hanya berkutat pada tataran teoritis saja. Mereka juga adalah manusia politik yang sesewaktu akan tercebur ke dalam praktik-praktik real politik yang terkadang berlari tunggang-langgang dari gagasan atau teori.
Pembibitan calon generasi masa depan suatu bangsa yang dilakukan di kampus/sekolah dengan penanaman nilai-nilai luhur yang tinggi dan juga melalui proses penyeleksian yang ketat tentu memberikan kesan elitisme tertentu. Kesan ini memang harus diterima dan tidak dapat dihindari sebab membentuk diri calon pemimpin masa depan bangsa yang elok dan baik  harus melewati banyak proses dan dinamika yang keras pun lembut sehingga butuh sosok yang memiliki 'jiwa ningrat' untuk menerimanya. Proses penggerusan sana-sini sehingga dapat menjadi elok dan baik harus memiliki kesiapan fisik dan psikis untuk dibenturkan pada banyak hal, termasuk politik praktis.
Kampanye Politik ketika masuk ke dalam ruang-ruang pembibitan tersebut (baca: kampus/sekolah) mestinya tidak perlu ditanggapi seacara reaktif. Dalam hal ini harus dilihat sebagai salah satu bagian dari proses persiapan diri calon pemimpin masa depan untuk berdialog dengan generasi lainnya yang telah lebih dahulu mencicip politik praktis. Proses dialog tersebut tentu harus egaliter bukan asimetris sehingga sangat mungkin mebentuk sebuh diskursus politik yang bermutu.
Desain Kampanye Politik Edukatif.
Bila merujuk pada filsafat Pendidikan Platon tadi, Paideia, yang mengidealisir calon pemimpin masa depan bangsa itu harus Kaloskagathos, elok dan baik, Â melalui sistem pendidikan dan pembudayaan nilai tertentu dalam sebuah lembaga yang eksklusif, maka mestinya dengan hadirnya kampanye politik di dalam kampus menjadi ruang pertarungan untuk menguji gagasan dari mereka yang hendak maju menjadi represntasi warga negata dan/atau pemimpin sebuah negara seperti presiden.
Politisi yang hendak melakukan kampanye dan masuk ke dalam kampus harus memiliki kadar intelektual yang mumpuni dan juga khatam dengan etika politik. Sehingga kampanye yang dilakukan di dalam kampus menjadi kampanye yang bersifat edukatif serta memperkaya nilai yang telah dibentuk di dalam kampus tersebut.
Politisi yang masuk ke dalam kampus juga harus memiliki keterbukaan dan keluasan cara padang. Dihadapan kaum intelektual di kampus, menelanjangi kebodohan dan juga kekacauan cara berpikir politik politisi itu haruslah menjadi pemandangan yang jamak. Tidak perlu berkecil hati bila kampanye politik di kampus justeru menjadi ruang 'pemurnian' visi politik seorang politisi dalam mempersiapkan diri menata negara, mengatur Republik.
Bila seorang politisi tidak mempersiapkan diri dengan baik, maka wacana kampanye politik di kampus justerus dikhawatirkan akan menciderai keluhuran politik itu sendiri sebab 'pisau' politik tersebut akan jatuh ketangan orang bebal dan juga penyamun. Pisau politik yang mestinya digunakan untuk membedah 'kanker kronis' dalam sebuah sistem di negara yang penuh kebalauan tetapi justru akan menguliti rakyatnya sendiri.
Untuk itu wacana Kampanye politik di kampus harus dipandang sebagai sesuatu yang progrefis dan juga mendidik dalam berpolitik. Dari pada politisi masuk ke kampus dengan embel-embel tidak jelas tetapi ternyata berkampanye maka ada baiknya agar hal tersebut dibuat terang benderang. Kampanye di kampus dilegalkan dengan mekanisme tertentu yang diatur oleh KPU dan juga dalam pengawasan serius BAWASLU. Harus ada aturan yang lebih teknis untuk menghindari kebalauan dan pendangkalan mutu politik di Indonesia.
Civitas akademik kampus itu sendiri juga bukanlah makhluk apolitik dan memiliki kesalehan sosial yang sangat tinggi sehingga sangat mungkin bila, baik mahasiwa atapun dosen dan lainnya, memiliki afilisasi politik pada kandidat atau parpol tertentu. Kampanye politik di kampus membuat ruang remang-remang tersebut menjadi terang benderang.
Kampanye politik di kampus juga harus dipandang sebagai kanal dialogis antara politik praktis dan politik gagasan (teori-teori politik) antara pemikiran-pemikiran atau gagasan besar politik dengan praktik besar dalam bernegara. Wacana politik dan bernegara yang menjadi domain civitas akademik kampus berdialektika dengan praktik-praktik politik para politisi.
Wacana KPU untuk membolehkan kampanye politik di Kampus tersebut haruslah dipandang secara positif dan tetap dengan aturan teknis yang harus dipatuhi oleh pihak yang melakukan kampanye. Kampanye politik di kampus mestinya didesain sedemikian rupa sehingga layaknya sebuah ruang studi dan sumber inspirasi dalam pembelajaran(bila merujuk kepada kampus merdeka).
 Desain kampanyenya dapat dilakukan dengan talkshow, bincang-bincang politik, orasi ilmiah politik politisi dan macam-macam cara lainnya. Dengan demikian kampanye politik di kampus justeru akan menjadi sebuah diskursus politik baru bagi civitas akademik dan juga publik. Kadar politik kemudian naik level ke tingkat rasionalitas dan tidak lagi berkeliaran dalam ruang klenik mandi kembang agar terpilih sebagai wakil rakyat ataupun eksekutif. Apalagi membawa dukun untuk memberi dampak histeria serta menghipnotis konstituen. Pun tidak melantunkan ayat-ayat kudus sebagai muslihat religius demi memenagkan kontestasi politik. Mari berpolitik pada level akal sehat dan beradab.
Jakarta, 08 September 2022
Fernandes Nato
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H