Cyberspace on Shifting the New Balance of Power
Penggunaan cyberspace di era digital ini semakin esensial dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam lingkup individu maupun negara. Di lingkup negara, cyberspace menjadi media baru dalam berhubungan dengan negara lain. Cyberspace dapat digunakan dalam berdiplomasi dengan negara lain untuk menjalin kerjasama yang saling menguntungkan antar negara. Selain menjadi media kerjasama dan berdiplomasi dengan negara lain, cyberspace dapat menjadi zona perang baru, atau biasa disebut sebagai "cyberwarfare".
Cyberwarfare adalah peperangan di dunia maya dengan mengguanakan dan menargetkan komputer serta jaringan informasi. Cyberwarafe dapat dilakukan oleh individu, organisasi, ataupun negara dengan tujuan mencapai kepentingannya melalui dunia maya. Maka dari itu, mau tidak mau negara-negara di dunia harus mempunyai kemampuan siber yang mumpuni, atau memanfaatkan agresivitas serangan siber dalam berhubungan dengan negara lain.
Terdapat tiga alasan pentingnya pemaksimalan dunia siber bagi negara: 1. sebagai strategi deterrence ke negara lain dengan menginfiltrasi infrastruktur pentingnya; 2. mendapatkan informasi melalui spionase, yang memungkinkan negara untuk maju dalam segi militer dengan lebih cepat; 3. mendapatkan keuntungan ekonomi melalui spionase industry yang mana dapat dilakukan diluar institusi negara.
Cina dalam beberapa tahun terakhir telah memaksimalkan penggunaan cyberspace dan menjadi negara yang mendapatkan keuntungan paling banyak dalam memaksimalkan sisi ofensif cyberspace diantara negara lain. Strategi militer Cina menyebut bahwa kapabilitas siber sebagai area yang harus mendapatkan perhatian khusus dan investasi yang besar apalagi mengingat sistem militer yang bersifat elektronik dan digital dapat diserang lewat cyberspace. Hal ini mendapat respon khusus dari Amerika Serikat terutama setelah beberapa seragan siber yang dilakukan Cina terhadap negaranya. Maka dari itu, muncul pertanyaan apakah peningkatan kapabilitas siber Cina digunakan sebagai deterrence ke Amerika Serikat.
Dalam penggunaan cyberspace, Cina merupakan negara yang aktif dan dapat dibilang agresif. Ini dapat terlihat dari alokasi sumber daya militer yang besar di cyberspace, baik finansial maupun teknis. Analis mengatakan hal ini sebagai upaya Cina untuk memperoleh status teratas dalam kekuatan global dan upaya menyeimbangkan kekuatan dengan Amerika Serikat, khususnya dalam konflik terbuka atau sebagai ancaman pencegahan (deterrence). Amerika Serikat menyebut tindakan Cina dalam konteks ancaman siber merupakan kejahatan serius, sama seperti serangan fisik militer pada umunya.
Cyberwarfare punya dampak yang berbeda dari serangan militer konvensional pada umumnya. Meskipun tidak menimbulkan kerusakan dan korban jiwa secara langsung, dampaknya terhitung besar dan dapat melumpuhkan berbagai aktivitas di suatu negara. Contohnya pada tahun 2009 ketika jaringan kelistrikan Amerika Serikat diretas dan dapat dimatikan sesuai keinginan peretas. Peretas ini juga meninggalkan program perangkat lunak yang dapat digunakan untuk mengacaukan infrastruktur penting di masa depan. Intelijen Amerika Serikat menyebutkan pelaku dari serangan ini adalah Cina, dengan bukti dari jejak operasi siber Cina dalam jaringan kelistrikan Amerika Serikat.
Selain itu terdapat serangan hacker terhadap rekenening pelanggan email Google. Setelah diselidiki lebih lanjut, serangan itu hanya merupakan bagian dari serangan terhadap setidaknya 34 perusahaan dan institusi Amerika yang memiliki hubungan dengan pemerintahan AS, termasuk pemasok ke Pentagon dan bahkan beberapa anggota Kongres AS. Laporan menghubungkan dua institusi pendidikan Cina bertanggung jawab terhadap serangan Google: Sekolah Kejuruan Lanxiang yang berbasis di Jinan, provinsi Shandong dan Universitas Shanghai Jiaotong.
Serangan siber yang dilakukan oleh Cina terhadap Amerika mempunyai implikasi terhadap perimbangan kekuatan baru dalam hubungan internasional. Ini bisa mempengaruhi berbagai bidang, termasuk politik, keamanan, ekonomi, dan teknologi. Dalam bidang teknologi dan keamanan, serangan siber Cina dapat memperkuat pandangan bahwa Cina merupakan pesaing utama Amerika Serikat dalam hal teknologi dan keamanan. Hal ini bisa memicu peningkatan upaya dari pemerintah AS untuk memperkuat sistem keamanan siber dan menegaskan kepemimpinan teknologinya.
Di bidang ekonomi, serangan siber yang dapat memiliki dampak besar pada ekonomi AS, terutama jika data sensitif atau infrastruktur vital terganggu atau dicuri. Ini dapat mendorong Amerika Serikat untuk mengambil tindakan ekonomi, seperti sanksi atau pembatasan perdagangan, yang bisa merubah lanskap ekonomi global. Di bidang regulasi, serangan siber yang signifikan dapat memicu perubahan regulasi dalam hal keamanan siber dan perlindungan data di dalam hukum internasional. Rezim internasional bisa mengambil langkah-langkah untuk memperketat kontrol keamanan, mengubah hukum, atau mengeluarkan peraturan baru untuk melindungi infrastruktur kritis.
Respons Amerika Serikat terhadap tindakan yang diambil oleh Cina sebagai akibat dari serangan siber bisa menjadi elemen penting dalam membentuk perimbangan kekuatan baru. Serangan siber merupakan ancaman serius dalam dunia modern yang terus berkembang. Tanggapan terhadap serangan semacam itu dapat membentuk arah dan intensitas persaingan antara negara-negara besar, serta memengaruhi cara mereka berinteraksi di masa depan. Cyberspace, dengan segala kompleksitas dan potensinya dalam pengaruh global, telah menjadi domain penting dalam menentukan perimbangan kekuatan antara negara-negara dalam hubungan internasional. Kemampuan untuk memahami, melindungi, dan menggunakan sumber daya di dalamnya telah menjadi faktor penting dalam politik global modern.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H