Presiden Joko Widodo boleh menuding isu soal turunnya daya beli masyarakat sengaja diciptakan oleh lawan politik untuk menghambat elektabilitasnya di pemilu presiden 2019 mendatang (3/10/2017), tetapi fakta yang dikumpulkan penulis lebih "mengerikan"lagi.
Ternyata sejak Jokowi berkuasa, peningkatan persentase penjualan Unilever dan Indofood setiap tahunnya tidak pernah sebaik zaman SBY berkuasa.
Definisi Kata "Turun"
Pertama kita harus sepakat dulu apakah definisi kata "Turun" disini, sebab melihat satu dialog bicang-bincang satu stasiun TV Nasional pada awal Oktober yll, pihak pemerintah yang diwakili oleh  Deputi I Kepala Staf Kepresidenan Darmawan Prasodjo membeberkan bahwa tidak ada penurunan daya beli.
Mengutip data penjualan sejumlah retailer modern, Darmawan menyebutkan bahwa penjualan "tetap tumbuh" dalam arti kata para retailer tersebut masih mencatatkan peningkatan penjualan dibandingkan dengan periode sebelumnya.
Sedangkan pengamat Ekonomi dari INDEF Enny Sri Hartati dengan gamblang mengatakan walaupun penjualan tetap tumbuh tetapi besarnya tidak sebesar dengan periode yll. Bagi Enny "tumbuh" yang tidak sebesar dulu itu sudah cukup diambil kesimpulan turunnya daya beli masyarakat.Â
Disinilah kacamata Pemerintah berbeda, pemerintah tidak merasa daya beli masyarakat turun (angka negatif) sebab data penjualan tetap tumbuh atau positif.
Bagi penulis, definisi Enny Sri Hartati lebih benar, jika kita menilik definisi kata "Turun" di KBBI Daring Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemdikbud RI, ada empat belas arti kata turun, penulis memilih dua arti yang berkaiatan dengan persoalan daya beli ini sbb:
- v menjadi kurang (rendah, susut, sedikit, dan sebagainya)
- v jatuh atau merosot (tentang harga, nilai, dan sebagainya): hasil panen -- 10%
Artinya, turun itu tidak harus negatif seperti Darmawan katakan, tetapi tumbuh yang kurang/susut atau merosot dari periode lalu sudah bisa dikatakan turun.
Alasan lain ekonom dibawah Jokowi beralasan bahwa banyak perdagangan beralih ke onlinedimana datanya tidak terpantau oleh pemerintah,atau ada juga mengatakan bahwa masyarakat beralih dari membeli pakaian dan makan ke Pariwisata.
Untuk menguji alasan-alasan diatas, penulis mencoba menelaah penjualan Unilever dan Indofood untuk melihat penurunan daya beli ini, disebabkan:
- Consumer goods adalah barang kebutuhan dasar atau primer, sehingga lebih "tahan resesi" dibandingkan barang sekunder atau tersier.
- Unilever dan Indofood adalah perusahaan terbuka sehingga datanya bisa diperoleh secara bebas, penulis mengambil dari Bursa Efek Indonesia BEI. Â
- Unilver dan Indofood adalah perusahaan consumer goods yang mapan dan sudah berurat-berakar di seluruh Indonesia sejak lama.
- Produk mereka sangat bervariasi untuk kalangan bawah sampai atas.
- Sangat jarang masyarakat membeli produk consumer goods lewat on-line, biasanya konsumen membeli langsung di minimarket, kedai, pasar atau swalayan. Â Â
Penjualan UNILEVER (UNVR)
Melihat data di BEI, pertumbuhan persentase pendapatan tahunan Unilever adalah double digits di zaman SBY, tetapi merosot jadi single digit memasuki 2015 dimana tahun penuh pertama Jokowi berkuasa (lihat tabel dibawah ini).Â
Lebih mengerikan lagi memasuki 2017, kenaikan persentase penjualan makin menurun lagi.Â
Jika dibandingkan kuartal 1 2017 dengan kuartal 1 2016, persentase pendapatan Unilever merosot 19.02%.Â
Dengan harga murah dan penyajian yang mudah, Indo Mie sudah menjadi menu wajib baik sarapan atau makan malam penduduk Indonesia. Dengan penetrasi pasar yang masif, penulis melihat data pendapatan Indofood di laman BEI.
Keadaan Indofood dengan Unilever lebih kurang "sebelas-duabelas", pertumbuhan penjualan Indofood di 2013-2014 (zaman SBY) adalah double digits,sedangakan sejak 2015-2016 Â hanya tumbuh single digit.Â
Lebih parahnya lagi, sudahlah menurun di 2015-2016, di tahun 2017 ini lebih menurun lagi.Â
Jika melihat persentase kenaikan penjualan kuartal 1 2017 dibandingkan dengan kuartal 1 2016, Indofood tampak lunglai dengan turun hampir 50%.
Kita sudah ketahui diatas, pertumbuhan penjualan kuartal 1 2017 merosot dibandingkan dengan kuartal 1 2016.
Lebih lanjut lagi, kali ini penulis mencoba membandingkan data penjualan Unilever dan Indofood di kuartal 1 dan 2 tahun 2017. Kita ketahui pada kuartal 2 tahun 2017 ada momen besar yang dinanti-nanti para produsen yaitu "Lebaran". Dimana produsen berharap berkah Ramadan menyambangi produk mereka.
Sebab di benak konsumen Indonesia, sudah jamak bulan Ramadan dan Lebaran ada ekstra pengeluaran, ditunjang lagi THR bagi para pegawai turun di momen tersebut. Sehingga ada uang lebih bagi konsumen untuk membelanjakannya.Â
Ternyata baik Unilver dan Indofood mengalami penurunan penjualan di kuartal 2 dibandingkan kuartal 1 (lihat tabel dibawah ini, penjualan dalam triliyun rupiah).
Unilever turun 3,96% sedangkan Indofood turun 4.86%... !!!
Terus terang penulis geleng-geleng kepala melihat fakta dibawah ini, momen apalagi yang lebih besar dari Ramadan dan Lebaran untuk mendongkrak penjualan???Â
Mengapa lesu?
Dengan kenyataan diatas, lesunya daya beli tidak terjadi hanya tahun 2017 sekarang saja, tetapi sudah berlangsung sejak 2015.
Ada kemunginan, terjadi kelesuan sejak 2015 akibat manuver Jokowi menaikan BBM di akhir 2014 yang membuat harga-harga melambung. dan menghajar psikologis masa.
Ketika harga BBM di turunkan beberapa bulan berikutnya, harga sudah terlanjur naik dan tidak ikut turun.
Selain itu ada juga faktor kenaikan kurs dolar Amerika yang berimbas dengan kenaikan harga barang di dalam negeri, kita ketahui banyak bahan mentah atau barang jadi consumer goods Indonesia di impor dari luar negeri.Â
Lihat saja data kemiskinan yang dikeluarkan BPS, ketika masuk Maret 2015, terjadi lonjakan jumlah penduduk miskin dan sejak itu belum kembali lagi ke posisi September 2014.
Jadi kesimpulannya, daya beli turun itu nyata...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H