[caption id="attachment_223455" align="alignleft" width="178" caption="matanews.com"][/caption]
Gubernur BI yang baru Darmin Nasution “sukses” mengalihkan perhatian publik lewat ide redenominasinya akhir bulan lalu. Setelah sebelumnya selama dua hari (21-22/7), “dikuliti dosa-dosanya” oleh Komisi XI Keuangan DPR saat proses pemilihan Gubernur BI berlangsung.
Penulis menduga Darmin mencoba membelokan perhatian publik setelah “huru-hara” yang mengiringi proses pemilihannya. Intinya setelah terpilih sekarang, ia ingin publik mengakhiri pergunjingan proses pemilihannya dan stop membicarakan tentang segala kontroversi rekam jejaknya di masa lalu.
Seperti kita tahu Darmin adalah kandidat tunggal Gubernur BI yang diajukan Presiden Yudhoyono, tetapi sikap dan integritasnya diragukan oleh Komisi XI dalam beberapa kasus dan skandal menghebohkan publik. Antiklimaks terjadi setelah dua hari proses pemilihan yang “alot”, Komisi XI secara aklamasi menyetujuinya Darmin sebagai Gubernur BI ke 14.
“Dosa” Darmin dimulai dari masuknya ia dalam rekomendasi Paripurna DPR (3/3), ia dianggap ikut bertanggung jawab bail out Bank Century (BC). Dalam notulen rapat terungkap, sikapnya tidak sama dengan “trio maut” pejabat keuangan saat itu (Dirut Bank Mandiri Agus Martowardojo, Kepala BKF Depkeu Anggito Abimanyu dan Ketua Bapepam-LK Fuad Rahmany) yang menolak penyelamatan BC.
Ketika menjabat Dirjen Pajak, ia diduga tersangkut “diskon super” pajak pengusaha Paulus Tumewu, kasus pajak Rp 1,3 T Asian Agri dan kasus pajak First Media. Terakhir ia dianggap gagal membersihkan mafia pajak karena terungkapnya kasus Gayus Tambunan.
Publik dan masyarakat politik yang intens mengikuti kasus BC merasa “gemas” seiring terpilihnya Darmin. DPR dianggap tidak konsisten dengan rekomendasi yang dihasilkannya sendiri.
Logikanya sederhana, pekerjaan mudah “mencekal” terpilihnya Darmin saja DPR tidak mampu, hanyalah ilusi mengharapkan DPR mampu menuntut pertanggungjawaban pejabat sekaliber Boediono untuk mundur.
Menurut penulis inilah akhir perjalanan rekomendasi Paripurna DPR Century. Terpilihnya Darmin merupakan bukti kuat Setgab Koalisi efektif “mengamankan” usulan Presiden serta dapat diandalkan meredam berlanjutnya kasus BC kedepannya.
Tragisnya PDIP sebagai partai oposisi dan paling kritis pada Darmin, digoyang fakta tidak sedap. Terungkap di Media lewat anggotanya Eva Kusuma Sundary, bahwa Ketua Komisi XI dari PDIP Emir Moeis menginstruksikan anggota PDIP yang lain untuk “mengamankan” pemilihan Darmin.
Berita ini seperti membuka “borok” lama Emir Moeis dkk dari PDIP yang terjerat cek pelawat saat pemilihan Senior Deputi Gubernur BI Miranda S Gultom tahun 2004 lalu.
Maruarar Sirait Anggota Komisi XI dari PDIP menyangkal adanya suap dalam pemilihan Gubernur BI lalu, ia mempersilahkan KPK untuk menyediki sendiri dugaan tersebut. Inisiator pansus BC Bambang Soesatyo dari Golkar dan Ahmad Faisal dari Hanura, sampai-sampai mengecam secara terbuka Maruarar Sirait atas sikap “jinaknya” ketika proses pemilihan Darmin di Komisi XI berlangsung.
Mereka tidak habis pikir, setelah sama-sama berbulan-bulan menggagas pansus BC akhirnya dirusak oleh Bung Ara akibat pilihan pragmatisnya, sungguh tragis...
Penulis menduga transaksional antara penguasa dengan oknum PDIP tersebut bukanlah bermotifkan uang, tetapi dukungan PDIP tersebut akan “dibarter” dengan lolosnya pentolan PDIP dari jeratan KPK pada kasus cek pelawat Miranda.
Dugaan ini konsisten dengan tindakan KPK yang tidak juga menuntaskan kasus tersebut. Praktis dari PDIP hanya Dudhie Makmun Murod dibawa ke persidangan. Padahal di persidangan Tipikor Emir Moeis telah mengaku menerima Rp 200 juta dari Panda Nababan. Terkesan Dudhie dijadikan “tumbal” oleh tokoh-tokoh senior PDIP yang ikut mencairkan cek tersebut.
Mengutip Tajuk Rencana Kompas, tidak ada hujan dan tidak ada angin Darmin melontarkan ide redenominasi itu. Dalam proses pemilihan kemarin, Darmin tidak pernah sekalipun mengekspos ide tersebut didepan Komisi XI.
Yang terungkap adalah ia akan merekonsilidasi internal BI dengan empat aksi, berusaha menurunkan suku bunga kredit dan membendung serbuan asing pada industri perbankan.
Menkeu Agus Marto pun bereaksi bahwa pemerintah belum pernah diajak konsultasi oleh BI tentang wacana redenominasi itu. Agus menambahkan ide tersebut bukanlah skala prioritas saat ini.
Menurut penulis, ada empat persoalan mendesak yang seharusnya menjadi titik perhatian Darmin saat ini:
Pertama
BI seharusnya ikut aktif membidani pembentukan Otoritas Jasa Keungan (OJK) yang diamanatkan dalam UU BI tahun 2004. Sebagai institusi yang memegang kewenangan pengawasan bank sebelumnya dan akan dialihkan ke OJK, sudah sepatutnya BI berperanan besar dalam melahirkan institusi baru itu.
BI harus mendorong dan memberi masukan ke Kemenkeu mulai dari pembentukan RUU OJK sampai dengan transfer pengetahuan dan teknologi dan memberikan pelatihan setelah OJK terbentuk nantinya. Sesuai amanat UU, OJK harus terbentuk paling lambat akhir tahun ini.
Selain itu BI sebaiknya memanfaatkan momentum ini sebagai “pencucian dosa” dan bentuk pertanggungjawaban BI akibat pengawasan bank yang lemah selama ini.
Akibat lemahnya pengawasan bank oleh BI selama ini, secara langsung dan tidak langsung BI “membidani” lahirnya mega skandal BLBI senilai Rp 698,99 T (per 25 Januari 2002) dan Bail Out Bank Century Rp 6,7 T (2008). BLBI tersebut masuk dalam utang Negara dalam bentuk obligasi yang mengakibatkan pembayaran bunga setiap tahunnya sebesar Rp 60 T.
Itulah sebabnya mengapa penulis mengecam Bail Out BC tersebut. Tercatat ada 10 kali surat teguran BI ke BC selama 3 tahun hidupnya. Adalah tidak masuk diakal, BI dengan kewenangan yang super di bidang moneter (layaknya KPK di Tipikor) bisa tersandung kedua kalinya? Itulah mengapa Bail Out BC disebut skandal oleh sebagian orang sampai saat ini.
Jadi tidak ada hubungannya dengan krisis moneter Dunia tahun 2008 kemarin. George Soros dalam satu kesempatan setelah diterima Wapres Boediono menandaskan,” Jika aturan perbankan dijalankan dengan baik, maka tidak diperlukan Bail Out“.
Kedua
Penurunan suku bunga kredit. Masih bertenggernya suku bunga kredit kisaran 12-14% merupakan salah satu biang keladi tersendatnya roda sektor riil.
Seharusnya sektor keuangan menjalankan fungsi dasarnya melayani sektor riil. Tetapi faktanya, suku bunga kredit tidak turun seiring dengan besaran Sertifikat Bank Indonesia. Sebaliknya suku bunga simpanan mengalami penurunan yang lebih besar.
Terbukti sepuluh besar bank di Indonesia merauk laba 42 % pada semester I tahun 2010 (YoY). Suku bunga kredit yang “malas” turun ini ditengarai akibat kebijakan BI memberikan keleluasaan kepemilikan bank pada asing. Tercatat asing menguasai 46 % perbankan Indonesia.
Gilanya, laporan BI yang dirilis tanggal 5/8, Disaat Bank Asing mengalami sedikit penurunan suku bunga kredit, bank-bank Pemerintah malah terpicu menaikannya. Menurut Dirut BRI Sofyan Baasyir, menurunkan suku bunga tergantung dengan persaingan antar bank. Dalam kata lain, Sofyan berpendapat kalau yang lain tidak turun masak saya turun..… rugi dong bandar…..
Tepat sekali ungkapan Mantan Gubernur BI Soedrajad Djiwandono, bahwa sektor keuangan telah berkembang pesat sehingga seakan memiliki “dunia sendiri”.
Ketiga, mengendalikan hot money, perkeonomian Indonesia sangat riskan terhadap keluarnya dana-dana asing karena jumlah cadangan devisa kita belum bisa mengimbangi jumlah hot money.
Ekonom Citigroup wilayah Asia Pasisic Johanna Chua dalam risetnya menilai tingkat kerentanan guncangan eksternal Indonesia tertinggi di antara Negara-negara Asia. Jika menotal pinjaman jangka pendek, penguasaan asing di saham dan obligasi, serta seluruh dana-dana asing jangka pendek, maka rasio kerentanan Indonesia mencapai 237% alias tiga kali lipat lebih dari kemampuan devisa kita.
Sepertinya BI sudah amnesia dengan krisis moneter tahun 1998, hot money merupakansalah satu biang keladi utama krismon saat itu. Terlebih lagi pasar keuangan dunia telah mengglobal dan mempunyai keterkaitan.
Contoh terbaru krisis di Eropa, negara seperti Jerman sekalipun yang kuat perekonomiannya, ikut terpapar krisis yang ditimbulkan Negara lain di zona euro yaitu Yunani.
Kesimpulannya, banyak hal yang perlu dibenahi oleh Darmin sebagai Gubernur BI yang baru. Isu redenominasi adalah wacana “pemanis” untuk merontokan sorotan tajam kepadanya.
Sayangnya media dan pengamat ikut larut dengan permainan Darmin tersebut. Seharusnya Media Nasional mengadakan jurnalistik investigasi terhadap rekam jejak Darmin terdahulu. Bukankah sudah ada “asap” yang diletupkan oleh Eva Kusuma Sundary tentang strategi “pengamanan” terpilihnya Darmin?
Tidak ada “asap” kalau tidak ada “api” kan? Itulah tugas media mencari “api” tersebut.
Setuju?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H