Hari-hari pasca kepulangan Presiden Jokowi dari lawatan ke luar negeri adalah hari-hari yang paling ditunggu oleh seluruh rakyat Indonesia. Kapan Presiden Jokowi akan mengumumkan keputusan dan sikap resmi mengenai status Budi Gunawan sebagai calon Kapolri defenitif, serta penyelesaian perselisihan antara dua lembaga penegak hukum KPK dan Polri. Terlalu pagi untuk kecewa kepada Presiden Jokowi. Mungkin inilah ungkapan yang bisa digunakan untuk menggambarkan kekecewaan rakyat Indonesia atas sikap dan keputusan politik Presiden Jokowi saat mencalonkan Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri. Kekecewaan itu semakin bertambah besar ketika Presiden Jokowi juga terkesan lambat dalam menangani perselisihan antara dua lembaga penegak hukum KPK dan Polri. Keadaan ini semakin menegaskan persepsi publik bahwa sebagai petugas partai, Presiden Jokowi mendapatkan banyak tekanan dan intervensi dalam membuat keputusan. Sesuatu yang sangat diharamkan dalam sistem pemerintahan presidensial.
Pembelajaran Demokrasi
Ada sisi positif yang bisa diperoleh dari berbagai situasi politik pasca keputusan Presiden Jokowi menetapkan Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri. Keputusan yang dinilai melukai rasa keadilan publik ini terjadi lebih pagi, saat usia pemerintahan Presiden Jokowi belum genap berumur 100 hari. Tepat di masa-masa romantisme dan bulan madu bersama rakyat dan relawan yang baru saja memenangkannya. Hal ini mengakibatkan banyak rakyat Indonesia, para pendukung dan para relawan Jokowi terkejut dan mulai meragukan kredibilitas Presiden Jokowi yang baru saja didukung habis-habisan.
Situasi ini banyak membuat kita mulai mempertanyakan benar-tidaknya keputusan kita memilih Jokowi sebagai presiden dalam pemilu yang lalu? Di sosial media, topik ini justru banyak dijadikan bahan sindiran kepada mereka yang menjadi pemilih dan pendukung Jokowi pada pemilu presiden yang lalu.
Situasi ini mengajarkan kita untuk terus bersatu membangun demokrasi kita. Kita harus keluar dari sekat-sekat dan dikotomi perbedaan pilihan politik kita saat pemilu presiden yang lalu. Karena situasi yang terjadi saat ini, justru tidak membahayakan rakyat yang menjadi para pendukung Jokowi, tetapi membahayakan kelangsungan konsolidasi demokrasi di Indonesia. Setiap keputusan politik presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, mempengaruhi kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu, keadaan seperti ini berbahaya bagi masa depan bangsa dan negara tercinta, Republik Indonesia. Sebagai rakyat, kita harus terus-menerus bersatu mencegah upaya-upaya sistematis untuk menghancurkan kelangsungan konsolidasi demokrasi di Indonesia.
Jangan Tinggalkan Jokowi
Presiden Jokowi adalah presiden pertama dalam sejarah demokrasi Indonesia sejak reformasi 1998 yang bukan ketua umum partai politik. Jokowi juga bukan seorang pendiri partai politik. Hal ini mengakibatkan Jokowi tidak mempunyai kekuatan dan akses kekuasaan di dalam tubuh partai politik yang mengusungnya. Tidak ada satu partai politik pun yang bisa dikendalikan secara langsung oleh Jokowi.
Pada masa pemerintahan Presiden Jokowi ini juga untuk pertama kalinya sejak reformasi 1998, Indonesia mengalami divided government. Pemerintahan yang terbelah karena cabang kekuasaan legislatif dikuasai oleh koalisi partai-partai oposisi pemerintah. Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang dibangun oleh Jokowi kalah jumlah dibandingkan Koalisi Merah Putih (KMP) yang menjadi oposisi pemerintah di parlemen. Hal ini membuat ruang gerak politik Jokowi menjadi tidak bebas karena komposisi kekuatan di DPR dikuasai oleh koalisi oposisi pemerintah.
Satu-satunya modal kekuatan politik Jokowi adalah dukungan publik. Dukungan itu pun semakin menipis karena tergerus oleh beberapa kebijakan Jokowi yang melawan ekspektasi publik. Pemilihan Kabinet Kerja yang masih banyak diisi oleh orang-orang partai politik, pemilihan jaksa agung yang beraroma bagi-bagi kekuasaan, kenaikan harga BBM, penetapan Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri, perselisihan KPK versus Polri hingga pemilihan wantimpres yang juga dipenuhi oleh indikasi bagi-bagi kekuasaan.
Apabila dukungan publik yang menjadi satu-satunya modal kekuatan politik Jokowi itu hilang, praktis Jokowi tidak lagi mempunyai kekuatan politik yang signifikan untuk menjalankan pemerintahannya. Hal ini akan mengakibatkan Presiden Jokowi lebih mudah ditekan dan diintervensi dalam mengambil keputusan. Presiden Jokowi sepenuhnya akan menjadi seorang petugas partai yang akan menjalankan seluruh perintah penguasanya.
Presiden Jokowi adalah orang yang paling membutuhkan dukungan publik untuk membuat keputusan yang tepat saat ini. Oleh karena itu kita tidak boleh meninggalkannya. Kekecewaan kita kepada beberapa kebijakan Presiden Jokowi, kita jadikan sebagai dorongan dan kritik untuk mengingatkan Presiden Jokowi serta para elit politik untuk tetap setia kepada janji-janjinya. Pertanda bahwa kita selalu mengawasi setiap gerak-gerik mereka. Apabila antusiasme dorongan publik terhadap perubahan itu begitu kuat, maka Presiden Jokowi akan lebih memiliki keberanian untuk bersikap lebih berani melawan politik transaksional di dalam lingkaran kekuasaannya. Karena rakyat Indonesia ada dibelakangnya.
Upaya Pelemahan KPK secara Sistematis
Pasca penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK, ketegangan antara KPK dan Polri kembali meningkat. Sampai saat ini, keempat pimpinan KPK yang tersisa telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Mabes Polri. Keadaan ini praktis membuat KPK terancam tidak memiliki satu orang pun pimpinan, karena UU KPK mewajibkan para pimpinannya untuk mengundurkan diri apabila telah ditetapkan sebagai seorang tersangka. Apabila situasi ini terus berlanjut maka KPK akan lumpuh secara kelembagaan. Situasi ini akan memaksa presiden untuk mengeluarkan Perppu guna menyelamatkan KPK dari kelumpuhan. Dan ketika Perppu presiden itu diajukan ke DPR untuk mendapatkan persetujuan, disitulah upaya-upaya pengurangan kewenangan dan kekuatan KPK dilakukan. Upaya yang pantas untuk dicoba, sebab usaha untuk merevisi UU KPK selalu kandas ditentang oleh publik. Keadaan ini juga memberikan shock therapy kepada KPK secara kelembagaan agar jangan sekali-sekali bersikap lebih berani menghadapi status quo para koruptor. Keadaan KPK saat ini harus mendapatkan perhatian lebih dari Presiden Jokowi sebagai seorang kepala negara.
Realisasi Nawa Cita
Poin keempat dari sembilan program Nawa Cita Presiden Jokowi adalah “menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya”. Salah satu janji dalam penjabaran poin keempat Nawa Cita tersebut adalah memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tentu Presiden Jokowi belum lupa dengan janji program Nawa Cita pada saat pemilu presiden yang lalu ?
Sebagai seorang kepala negara Presiden Jokowi harus mampu mengambil keputusan dalam situasi sulit seperti ini. Untuk situasi seperti itulah pemimpin diciptakan. Saat ini dua lembaga negara yang seharusnya saling bersinergi dan bekerjasama dalam menegakkan hukum dan pemberantasan korupsi, kembali bersitegang. Keduanya merupakan lembaga negara yang sama-sama penting dan sama-sama diperlukan untuk memberantas tindak pidana korupsi yang sudah mengakar dalam di Republik Indonesia. Kedua lembaga ini harus sama-sama dikuatkan untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi yang lebih tegas dan berani sampai ke akar-akarnya.
Sebagai kepala negara Presiden Jokowi harus mampu meniru sikap pemerintah Hongkong dan Kerajaan Inggris yang memberikan dukungan penuh kepada Independent Commision Against Corruption (ICAC) Hongkong saat lembaga antikorupsi ini berusaha membersihkan Kepolisian Hongkong dari korupsi. Puncak konflik antara ICAC dan Kepolisian Hongkong terjadi pada tahun 1977, saat kantor ICAC diserbu oleh polisi. Dukungan penuh kepada ICAC dari Pemerintah Hongkong dan Kerajaan Inggris pada saat itu membuat korupsi di dalam lembaga Kepolisian Hongkong bisa diberantas. Hasilnya, Polisi Hongkong menjadi salah satu polisi yang paling bersih di dunia. Mereka juga mengklaim sebagai lembaga Kepolisian yang terbaik di Asia.
Saat pemilu presiden yang lalu, Presiden Jokowi mendapatkan kepercayaan dan harapan yang begitu besar dari rakyat Indonesia. Kepercayaan kepada Jokowi itu diperoleh pada saat kepercayaan rakyat kepada partai politik telah sampai di titik nadir. Demokrasi Indonesia kembali menggeliat dengan munculnya demokrasi partisipatif. Presiden Jokowi tidak boleh berspekulasi dengan mengorbankan demokrasi Indonesia yang kian matang. Terpilihnya Jokowi di dalam pemilu presiden yang lalu adalah bentuk nyata harapan rakyat akan keberhasilan sistem demokrasi. Harapan bahwa sistem demokrasi masih mampu menghasilkan pemerintahan yang amanah dan selalu berpihak kepada kepentingan rakyatnya.
Filsuf, ahli politik dan negarawan Romawi Marcus Tullius Cicero (106-43 SM) pernah mengatakan “jika kita harus melakukan sesuatu yang tidak populer, sebaiknya sekalian saja dilakukan dengan segenap hati, karena di dalam politik, pujian tidak didapatkan dengan takut-takut”. Bagaimana realisasi janji Nawa Cita anda Presiden Jokowi ? Sampai kapan kami harus menanti ? Semoga keputusan itu adalah keputusan seorang kepala negara yang negarawan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H