Mohon tunggu...
Feri Nata
Feri Nata Mohon Tunggu... Guru -

Guru di Sekolah Kristen Calvin, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sekolah Kristen Calvin: Sekolah yang Membentuk Hati

13 September 2016   13:54 Diperbarui: 13 September 2016   21:17 2692
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalamnya laut dapat diukur, dalamnya hati siapa yang tahu

Hampir semua dari kita mungkin pernah mendengar peribahasa tersebut. Memang sulit bagi kita untuk mengetahui atau bahkan sekedar menduga isi hati dan pikiran seseorang. Tak jarang apa yang orang tampakkan di luar sebagai sikap dan tindakan, berbeda dengan apa yang menjadi isi hatinya. Tentu saja, sikap dan tindakan yang ditampakkan di luar itulah yang kita nilai baik atau buruknya. Orang tua dan guru sangat berharap anak-anak atau murid-murid dapat bersikap dan berperilaku yang baik. Tak ada yang salah dengan itu. Namun, tanpa sikap hati yang baik, sikap dan perilaku yang tampak di luar hanya akan menjadi praktik kemunafikan. Cepat atau lambat, isi hati yang buruk dan jahat akan tampak ke luar dalam sikap dan tindakan yang buruk dan jahat.

Artikel ini menyarikan acara TV Reformed 21, In Conversation With Pdt. Ivan Kristiono, M.Div., M.Hum. (Koordinator Sekolah Kristen Calvin) yang bertemakan Pentingnya Membentuk Hati Anak. Rekaman acara tersebut dapat ditonton melalui tautan Youtube berikut.


Pendidikan Karakter – Tiga Hal yang Dapat Dilakukan

Perilaku yang baik dapat ditanamkan melalui 3 hal, yaitu pembiasaan, disiplin, dan pemodelan. Perilaku yang baik harus dibiasakan melalui disiplin. Namun, pembiasaan untuk berbuat baik dan disiplin tanpa adanya teladan yang baik, akan membawa murid-murid masuk ke dalam kemunafikan. Jika murid-murid melihat guru-guru berbicara mengenai pentingnya membaca Alkitab, tetapi mereka tidak pernah melihat guru-guru membaca Alkitab, maka mereka akan meniru bulat-bulat apa yang dikerjakan oleh guru-guru. Dalam mulut mereka berbicara pentingnya membaca Alkitab, tetapi dalam tindakan tidak pernah membaca Alkitab.

Ada tiga hal yang kita bisa lakukan untuk menanamkan satu kebiasaan melakukan perbuatan baik. Yang pertama adalah kita mendorong anak untuk melakukan perbuatan yang baik itu terus-menerus. Di dalam bahasa Latin, ini disebut dengan istilah habitusHabitus atau habit dalam bahasa Inggris, ini berarti anak tersebut bukan hanya mampu satu kali untuk melakukan sebuah perbuatan baik, tetapi anak ini didorong untuk terus-menerus selalu cenderung melakukan tindakan yang sama. Jadi, yang pertama adalah anak harus dibangun habitusnya. Misalnya dia rela menolong yang lain. Ini bukan hanya satu atau dua kali dia lakukan, tetapi setiap saat. Setiap dia menghadapi situasi yang sama, dia akan mengalami kecenderungan untuk melakukan hal yang sama sehingga pendidikan perbuatan baik, mendidik habitus berarti  mendorong sebuah kecenderungan anak untuk melakukan hal yang baik senantiasa. Nah, yang kedua setelah itu menjadi habitus, untuk menanamkan habitus diperlukan sebuah disiplin. Sebuah disiplin tentunya adalah sesuatu tindakan konsisten yang terus-menerus. Bagaimana anak dilatih bukan hanya untuk menuruti kemauan sendiri, tetapi dia belajar untuk memahami aturan-aturan yang ada, dan melakukan dengan konsisten berdasarkan aturan-aturan yang dibuat. Yang ketiga, setelah kita menanamkanhabitusdan setelah kita memberikan sebuah disiplin, maka anak-anak juga perlu modeling. Suatu pendidikan yang menanamkan karakter dan perbuatan baik sangat erat kaitannya dengan modeling. Sang guru, sang pengajar, orang tua harus juga menjadi orang yang memiliki hati dan komitmen untuk melakukan apa yang diajarkan. Mungkin orang tersebut bukan orang yang sempurna karena tidak ada orang yang sempurna. Tetapi, paling tidak anak bisa melihat kesungguhan dan komitmen dari pengajar untuk melakukan apa yang dilakukan (diajarkan). Sehingga (oleh karena itu), pendidikan tanpa modeling boleh dikatakan adalah pendidikan yang terancam gagal.” (Pak Ivan, Koordinator Sekolah Kristen Calvin)

Pendidikan Karakter – Pentingnya Membentuk Hati

Tentunya menyenangkan melihat sikap dan perilaku yang baik pada anak. Terlalu sering guru dan orang tua langsung terfokus mengoreksi sikap dan perilaku yang buruk dan jahat yang ditunjukkan oleh anak-anak tanpa berusaha mengubah hati mereka.

Ketika kita melakukan pendekatan dengan metode, baik itu misalnya dengan penanamanhabitus, dengan kemudian penanaman disiplin, dan juga pemberian modeling, kita harus memperhatikan orientasi dan tujuan dari sang guru tersebut untuk menanamkan pendidikan karakter kepada anak. Misalnya, kita bisa saja mengubah perilaku anak, dengan sesuatu motivasi yang bukan berorientasi pada hati. Saya ambil contoh begini, di dalam psikologi kita mengenal ada istilah, yaitu modifikasi perilaku. Dan di dalam modifikasi perilaku ini, manusia berusaha diubah perilakunya dengan sebuah pengondisian tertentu. Di dalam pemikiran orang seperti Thomas Hobbes, dia menemukan satu cara, yaitu perilaku seseorang bisa diubah kalau kita bisa menganalisa gerak jiwanya. Jadi, dia mengibaratkan jiwa sebagai sesuatu yang bergerak. Nah, ambil contoh begini, teori tua mengatakan bahwa manusia itu jiwanya bergerak untuk menjauhi sakit, mendekati nikmat. Itu adalah sesuatu teori yang paling dasar. Jadi setiap tindakan manusia, setiap gerak jiwa manusia, prinsip dasarnya adalah mendekati nikmat, menjauhi sakit. Baik manusia maupun hewan, itu melakukan hal yang sama. Saya ambil contoh, kalau kita memilih makanan sehari-hari, kita tidak mungkin memilih makanan yang paling tidak kita sukai. Jadi, kalau kita masuk ke sebuah restoran, lalu memilih, kita pasti memilih makanan yang paling kita sukai. Kalau kita pergi ke hotel, kita pasti pilih penginapan yang paling sesuai dengan selera kita. Maka ini menunjukkan bahwa, di mana pun manusia berada, yang menggerakkan dia adalah mendekati nikmat, menjauhi sakit. Nah, prinsip ini bisa dipakai untuk sebuah modifikasi perilaku. Bagaimana sifat seseorang bisa diubah, bahkan dia menjadi baik, tanpa adanya satu kesadaran moral, tanpa ada pertobatan, dan sebagainya. Contoh, misalnya ada seseorang yang kita lihat masih dalam usia remaja, lalu kemudian mulai pacaran. Lalu orang tuanya ingin memberikan nasehat kepada anak tersebut, ‘Sebaiknya kamu jangan pacaran’, gitu ya. Lalu dikatakan begini, ‘Kamu sebaiknya jangan pacaran’. ‘Oh kenapa?’ ‘Karena pacaran tidak menguntungkan, bayangkan kalau kamu masih remaja sudah pacaran. Kamu tidak akan mempunyai kesempatan untuk pergaulan. Bagaimana nanti ketika kamu sudah kuliah, sudah bekerja, tidak punya teman-teman yang akan menjadi pasangan (rekan) kamu dalam dunia bisnis. Maka, lebih menguntungkan bagi kamu, kalau kamu tidak pacaran.’ Ya, memang tujuan akhirnya kelihatan tercapai. Anak itu kemudian mengurungkan niatnya untuk pacaran di usia yang lebih dini, tetapi motivasinya salah. Motivasinya tetap sangat egois mendekati nikmat, menjauhi sakit. Contoh berikutnya misalnya ada dua anak yang sedang berkelahi, berebut mainan. Lalu orang tuanya melerai, mengatakan, ‘Sudah jangan berebut.’ Anak mengatakan, ‘Tapi mami, aku begitu menginginkan mainan itu.’ Lalu mami mengatakan, ‘Sudah kasih aja ke dia, nanti mami kasih kamu mainan yang lebih bagus lagi.’ Lalu kemudian, berhentilah perkelahian antara kedua anak ini. Kelihatannya hal ini menyelesaikan masalah, tetapi sebetulnya tidak membangun sesuatu motivasi yang baik bagi anak. Karena sebetulnya mereka berhenti berkelahi adalah karena mereka mendekati nikmat dan menjaui sakit. Sehingga dengan demikian (oleh karena itu), kita melihat banyak sekali modifikasi perilaku yang kelihatan baik, menghasilkan suatu tindakan yang baik, di belakang itu filosofinya adalah mendekati nikmat, menjauhi sakit sehingga unsur-unsur seperti sangkal diri, seperti berkorban, itu tidak muncul di sana. Bahkan, pengorbanan pun dikaitkan dengan mendekati nikmat dan menjauhi sakit. Kita lihat misalnya di Singapura, orang-orang menjaga kebersihan. Ada dua hal orang menjaga kebersihan. Yang pertama, bisa saja orang menjaga kebersihan karena kesadaran, tapi yang kedua, bisa juga orang menjaga kebersihan karena takut didenda. Nah, maka dengan demikian kesimpulannya adalah apa perbedaan modifikasi perilaku dengan pendidikan yang harusnya orang Kristen kejar? Orang Kristen tidak boleh cukup di dalam melihat perbuatan baik, tetapi orang Kristen melihat orientasinya haruslah dari hati. Dan di sini Alkitab membedakan antara pohon dan buah.” (Pak Ivan, Koordinator Sekolah Kristen Calvin)

Perumpamaan Pohon dan Buah

Seperti buah yang baik tak mungkin dihasilkan dari pohon yang tidak baik, maka sikap yang perilaku yang baik tak akan bertahan jika tidak meluap keluar dari hati yang baik. Dengan paradigma ini, Sekolah Kristen Calvin tidak hanya menekankan perubahan sikap dan perilaku yang tampak di luar, melainkan menekankan pada perubahan dari dalam hati. Ketika ada sikap dan perilaku tidak baik yang ditunjukkan oleh murid-murid, tentunya hal ini menjadi hal yang perlu dikoreksi dari diri anak-anak. Namun, alih-alih hanya mengoreksi sikap dan tindakan di luar, Sekolah Kristen Calvin mencoba untuk memunculkan ke permukaan masalah yang sebenarnya ada di dalam hati murid-murid. Setelah itu, murid-murid diajak untuk bergumul melalui konseling dan pembacaan Firman Tuhan supaya mereka menyadari keberdosaan dari sikap hati mereka yang salah dan mau bertobat di hadapan Tuhan.

Nah di sini (Lukas 6:43-45), Tuhan Yesus menjelaskan mengenai perkataan itu keluar dari hati. Maka kita jangan heran melihat kalau ada orang yang perkataannya pahit. Perkataan yang pahit, keluar dari hati yang pahit. Jikalau seseorang penuh dengan kecemasan, maka perkataan yang diungkapkannya pasti penuh dengan kecemasan. Maka tindakan berasal dari hati. Maka dengan demikian, orang Kristen berorientasi untuk mengubah hati. Lalu setelah itu, setelah hati diubah, menghasilkan perilaku yang berubah. Nah, sekarang kita akan membahas, hati itu apa? Di dalam Kitab Suci, hati adalah sesuatu sentral daripada (dari) seluruh kemanusiaan kita. Jadi, pikiran, emosi, dan kehendak, itu sentralnya adalah hati. Nah, jadi dengan demikian, maka Yesus mengatakan bahwa hati itu begitu penting. Kalau hati itu sudah gelap, maka gelaplah seluruh kemanusiaan kita. Demikian dinyatakan dalam Kitab Suci.” (Pak Ivan, Koordinator Sekolah Kristen Calvin)

Proses ini tertunya tidak mudah dan perlu waktu yang mungkin jauh lebih lama dibandingkan upaya-upaya modifikasi perilaku dengan pemberian sanksi. Namun, perubahan yang terjadi dari dalam akan bertahan, sementara perubahan dari luar efeknya hanya akan sementara saja. Tanpa pertobatan hati, perubahan sikap dan perilaku yang tampak di luar akan menjadi kemunafikan karena sejatinya isi hatinya berbeda. Murid-murid akan jatuh ke dalam legalisme dalam bersikap. Semata-mata hanya mematuhi aturan, ini boleh, itu tidak boleh. Bukan muncul dari suatu kesadaran, tetapi hanya muncul sebagai upaya menjauhi sanksi. Dalam teori klasik mengenai modifikasi perilaku, orang tersebut hanya sedang berupaya ”mendekati nikmat, menjauhi sakit”.

Perubahan dari luar itu sifatnya memang instan, tetapi juga efeknya sementara. Nah, kalau yang di luar diubah, tapi hatinya tidak diubah, yang muncul adalah kemunafikan. Dan kemunafikan adalah sesuatu yang seringkali kita lihat dalam Kitab Suci sangat dibenci dan ditegur oleh Tuhan berkali-kali. Saya ambil contoh, misalnya kita melihat ada seorang anak yang sedang bergumul, dia mengalami kepahitan. Mungkin dia dilecehkan oleh temannya. Mungkin anak ini adalah seorang yang tidak memiliki fisik yang baik sehingga dia seringkali dihina, dilecehkan karena penampilan fisiknya yang tidak menarik. Tetapi, anak yang fisiknya lemah ini memiliki kelebihan di dalam pikiran. Dia misalnya akademisnya sangat baik. Maka kemudian anak ini membuat sebuah kompensasi. Dia belajar sekuat tenaga. Ini apa yang menjadi isi hatinya, kepahitannya, dendamnya, kerinduannya ingin diakui. Kita melihat ada dosa-dosa yang muncul dalam hati, tetapi ini dikeluarkan dalam satu tindakan yang begitu halus, yaitu bekerja keras. Dia menjadi seorang pekerja keras, menjadi seorang pelajar yang baik. Ketika guru di sekolah, orang tua di rumah, guru sekolah minggu melihat, mereka senang dan puas melihat anak ini. Begitu rajin, berprestasi, nilainya baik sekali. Tetapi, ketika kita melihat sebetulnya di belakang prestasinya yang besar itu, terkandung suatu bahaya yang sangat mengerikan, yaitu bahwa semua yang dilakukannya itu adalah karena suatu dendam, satu keinginan ingin diakui, sesuatu kerinduan ingin membalas teman-temannya. ‘Ini loh, lihatlah saya.’ Dengan sesuatu cara, di mana dia tidak menemukan pendamaian dengan Tuhan dalam hatinya. Maka, kita harus berhenti melihat bentuk-bentuk di luar dan kita juga mulai melihat apa yang dikatakan Tuhan Yesus. Konsistensi dari mengubah apa yang di dalam, baru keluar. Nah, seringkali tidak demikian, kita lupa rumus begini: apa yang menjadi isi hati akan keluar di dalam tindakan. Hati yang berdosa akan mengeluarkan tindakan berdosa. Hati yang dipenuhi dengan Roh Kudus, yang disucikan, akan menghasilkan tindakan buah roh. Nah, kalau dari tindakan berdosa, langsung kemudian kita suruh dia melakukan tindakan yang baik, ini adalah legalisme. Di sini tidak melewati unsur yang namanya pertobatan. Ini adalah persis seperti apa yang terjadi di dalam diri seperti orang-orang yang memegang Taurat, seperti orang Farisi, yaitu memberikan daftar apa boleh dan apa yang tidak boleh. ‘Sekarang kamu begini, tidak boleh. Sekarang saya harus jadikan kamu seperti ini, kamu harus lakukan yang boleh.’ Baik, tidak baik. Kita hanya bermain di sini saja. Maka anak akan berubah, tetapi hatinya tidak berubah. Nah, ini adalah sebuah kemunafikan. Maka, apa yang harus dilakukan? Yang harus dilakukan lebih sulit, yaitu bahwa orang itu harus dikonfrontasi dosanya. Dibimbing untuk mengenali dosa-dosanya. Lalu, kemudian setelah itu dia bertobat. Maka, dari tindakan berdosa, kita tarik ke atas, lihat hati yang berdosa, lalu pertobatan. Pertobatan berarti bergeser menjadi hari yang disucikan. Setelah hati ini disucikan, maka secara otomatis, kita bimbing dia untuk menghasilkan tindakan-tindakan yang dipenuhi dengan buah roh. Jikalau tidak demikian, maka kita akan melihat tindakan-tindakan dari seorang anak yang kelihatan begitu baik, penuh dengan karakter yang indah, tapi di belakangnya tersimpan hal-hal yang sangat mengerikan.” (Pak Ivan, Koordinator Sekolah Kristen Calvin)

dsc01281-57d7ad53159773fc42d827de.jpg
dsc01281-57d7ad53159773fc42d827de.jpg
Lalu bagaimanakah kita menjelaskan sikap dan perilaku yang berubah menjadi baik sementara hatinya belum berubah? Ada satu cerita yang menarik yang dikisahkan oleh Paul Tripp. Dia berkisah mengenai pohon apel di rumahnya yang tidak berbuah dengan baik. Lalu dia “memakukan buah apel yang baik” ke pohon apel tersebut. Buah apel yang baik itu tidak dihasilkan dari pohon tersebut, tetapi hanya ditempelkan kepada pohon tersebut. Demikianlah upaya kita memodifikasi perilaku orang tanpa mengajaknya untuk mengalami pertobatan dari dalam hatinya.

Komitmen Sekolah Kristen Calvin untuk Mengubah Perilaku dengan Membentuk Hati

Sekolah Kristen Calvin berkomitmen untuk mencari guru-guru yang cinta Tuhan dan mempunyai kerohanian yang baik. Dalam hal ini, Sekolah Kristen Calvin menyadari satu hal yang sangat penting, yaitu bahwa pendidikan karakter untuk mengubah hati murid-murid tidak akan pernah dapat dikerjakan tanpa Kristus. Hanya guru-guru yang hatinya telah diubahkan oleh Kristus, dapat dipakai oleh Kristus untuk menyentuh dan membentuk hati murid-murid. 

Namun, dengan kesadaran paling tinggi, Sekolah Kristen Calvin tahu bahwa satu-satunya yang dapat mengubah hati orang yang berdosa kembali kepada Allah hanya Allah sendiri. Oleh karena itu, guru-guru dengan rendah hati memberi diri sekiranya Tuhan berkenan memakai pelayanan guru-guru dalam dalam membawa murid-murid untuk dapat diubah dan dibentuk hatinya oleh Tuhan.

Alkitab mengatakan bahwa kita dipanggil Tuhan untuk saling menasehati satu dengan yang lain. Jadi, saya percaya bahwa setiap orang yang percaya bisa menjadi pembimbing bagi sesamanya. Seorang ayah, seorang ibu bisa menjadi pembimbing bagi anaknya. Seorang guru harus menjadi pembimbing bagi murid-muridnya. Tetapi, ada hal-hal yang Tuhan katanya sebagai sesuatu yang harus kita kejar sehingga kita bisa menjadi pembimbing yang baik. Alkitab mengatakan, hendaklah perkataan Kristus diam dengan limpahnya di dalam dirimu, dan dengan demikian engkau mengajar dan menasehati satu dengan yang lain (Kolose 3:16). Jadi, untuk menjadi seorang konselor yang baik, menjadi seorang pembimbing yang baik, kita harus membiarkan perkataan Kristus itu limpah di dalam diri kita. Sehingga dengan demikian (oleh karena itu), kita harus memperlengkapi diri, kita harus mau belajar. Sehingga dengan demikian (oleh karena itu), kita bisa melihat, kita bisa memperhatikan hati dari anak-anak didik kita. Kita juga bisa membimbing mereka untuk berjumpa dengan Kristus.” (Pak Ivan, Koordinator Sekolah Kristen Calvin)

Guru-guru Sekolah Kristen Calvin terus-menerus diperlengkapi untuk dapat lebih siap untuk membimbing anak-anak. Guru-guru sendiri terus didorong untuk mengikuti seminar dan kuliah yang baik. Dalam hal ini, bukan hanya murid-murid saja yang bertumbuh dalam proses pendidikan di Sekolah Kristen Calvin. Guru-guru pun diharapkan tidak stagnan dan terus bertumbuh dalam kematangan rohani.

Sekolah adalah institusi. Yang paling penting adalah manusia yang menjadi operator dalam sekolah tersebut. Guru-guru yang ada di situ, selama berjam-jam berjumpa dengan anak. Maka, manusianya, apakah ada manusia yang perkataan Kristus hidup dengan limpahnya dan menjadi saluran berkat buat mereka. Maka, orang yang Tuhan akan pakai untuk membentuk hati adalah orang yang juga hatinya sudah dibentuk oleh Tuhan. Itu sebabnya, maka, tadi saya katakan, dalam tiga pendekatan itu, salah satunya adalahmodeling. Pendidikan Kristen adalah pendidikan yang tidak bisa dilakukan tanpa pribadi Kristus. Karena yang bisa mengubah hati, itu tentu saja adalah Tuhan. Dan hanya Roh Kudus yang mengubah hati. Maka, pekerjaan kita hanya mendekatkan anak kepada Tuhan. Lalu memberikan satu model keteladanan. Lalu mengingatkan senantiasa, memasukkan anak dalam satu situasi yang baik. Lalu, selebihnya, ada hal-hal tertentu yang tidak bisa dilakukan oleh seorang pendidik. Seorang pendidik adalah seorang pendidik yang betul-betul menyadari bahwa tanpa Kristus, tanpa pribadi Kristus, bukan sekedar teori, bukan sekedar metode, tetapi betul-betul relasi antara pendidik itu dengan Kristus. Itu yang menjadi kekuatan dan menjadi modal pendidik untuk membawa anak kepada Tuhan.” (Pak Ivan, Koordinator Sekolah Kristen Calvin)

Sekolah Kristen Calvin betul-betul menyadari bahwa yang dapat mengubah dan membentuk hati anak adalah Tuhan sendiri. Oleh karena itu, Sekolah Kristen Calvin mengambil sikap sama seperti yang dikatakan Rasul Paulus dalam Filipi 3:12: “Bukan seolah-olah aku telah memperoleh hal ini atau telah sempurna, melainkan aku mengejarnya, kalau-kalau aku dapat juga menangkapnya, karena aku pun telah ditangkap oleh Kristus Yesus.” Kiranya Sekolah Kristen Calvin dapat terus dipakai oleh Allah untuk membawa hati anak-anak datang kepada Allah untuk diubahkan dan dibentuk menghasilkan perubahan sikap dan perilaku meluap dari hati yang telah disucikan oleh Roh Kudus. Jika ingin mengetahui lebih rinci mengenai apa saja yang dikerjakan oleh Sekolah Kristen Calvin, datanglah dalam acara Open House Sekolah Kristen Calvin pada Hari Sabtu, 1 Oktober 2016.

brosur-57d79f62aa23bdb1423efa57.png
brosur-57d79f62aa23bdb1423efa57.png
Sumber gambar: Dokumen Sekolah Kristen Calvin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun