Bangsa Indonesia terbentuk karena adanya penjajahan. Adanya perasaan senasib di antara pendiri Bangsa Indonesia, mendorong mereka untuk bersatu mengusir penjajah. Hari Kebangkitan Nasional merupakan momentum bersejarah bagi lahirnya Bangsa dan Negara Indonesia. Hal ini mengawali perjuangan-perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pada saat itu, diperhadapkan pada musuh bersama, Bangsa Indonesia diwujudkan dalam satu pertemuan yang menyerukan kesamaan tanah air, bangsa, dan bahasa, yaitu Indonesia. Kelanjutan ceritanya kita semua tahu dan cerita inilah yang membentuk jati diri kita sebagai Bangsa Indonesia. Kita baru saja memperingati kemerdekaan ketujuh puluh negara kita, Republik Indonesia. Namun, penulis hendak mengajak kita sekalian bertanya, “Benarkah kita sudah terbebas dari penjajahan?”
Sempat beredar broadcast message melalui aplikasi chatting Whatsapp yang membahas hari kemerdekaan Indonesia dan Korea Selatan yang hanya terpaut dua hari. Lalu detail pesan tersebut membahas arti selisih dua hari kemerdekaan dikaitkan dengan tingkat kemajuan Negara Indonesia dan Korea Selatan. Tentu saja, Indonesia tertinggal dibandingkan Korea Selatan. Lalu apa kaitannya pertanyaan di atas dengan selisih dua hari kemerdekaan? Mari kita lihat.
Imperialisme atau Kolonialisme 2.0
Ini bukan versi perangkat lunak. Imperialisme atau kolonialisme 2.0 adalah bentuk baru penjajahan. Bentuk anyar ini tidak menggunakan senjata perang. Cara ini justru anti perang. Namun, banyak negara berkembang tak mampu keluar dari kondisi terjajah dengan metode baru ini. Negara-negara berkembang dapat dikatakan secara sukarela memberi diri dijajah dengan metode baru ini. Seperti apa bentuknya imperialisme 2.0? Sebenarnya imperialisme 2.0 tidak dapat dengan mudah dipersalahkan secara moral. Dalam bentuknya yang baru ini, negara-negara maju berlomba-lomba menghasilkan barang dan jasa untuk ditawarkan kepada negara lain. Negara-negara berkembang pun boleh ikut terlibat. Prosesnya terjadi cukup sukarela, meskipun ada berbagai upaya dari masing-masing negara untuk menjaga ketimpangan supaya tetap dapat memenangkan kompetisi ini dibandingkan negara lain.
Tentunya tidak salah negara maju mengembangkan produk domestiknya. Karena kenyataannya, produknya toh dibutuhkan oleh negara lain. Suka atau tidak, perdagangan internasional akan terus terjadi dan malah meningkat. Negara-negara tidak lagi menunjukkan kedigdayaan mereka dengan senjata, tetapi dengan produk dan jasa yang kompetitif. Paling tidak, itulah yang berhasil dilakukan oleh negara-negara maju. Saat ini, setiap detik kita dapat menjumpai produk dari negara lain. Kita bangun tidur lalu mandi menggunakan sabun Lux (Unilever; Inggris-Belanda), odol Pepsodent (Unilever; Inggris-Belanda), dan sampo Pantene (P&G; Amerika). Kita sarapan Koko Crunch (Nestle; Swiss). Kita mengenakan kemeja Ralph Lauren (Amerika). Kita berangkat kerja dengan mobil Toyota (Jepang). Dan seterusnya sampai kita tidur kembali, tak sedikit dari kita yang menggunakan produk luar negeri.
Tentunya tidak ada yang salah dalam hal ini, kecuali jika kita kaitkan dengan cinta produk dalam negeri. Namun, ketika produk dalam negeri memiliki kualitas yang lebih rendah, secara kolektif mayoritas penduduk di suatu negara lebih suka dengan produk luar negeri. Alhasil negara tersebut menjadi negara konsumen dalam perdagangan internasional. Dalam bahasa sarkarme, negara tersebut “terjajah” oleh produk dari luar negeri. Itulah yang penulis maksudkan sebagai imperialisme 2.0.
Imperialisme 2.0 lebih powerful untuk meningkatkan kedigdayaan ekonomi negara-negara adikuasa. Dahulu, negara-negara adikuasa meningkatkan kekuasaan mereka dengan memperluas wilayah jajahan. Tercatat Inggris memiliki GDP $918.7 miliar pada 1983 ketika mereka sedang menguasai 33% area bumi.1 Tercatat sebagai imperialis terbesar sepanjang sejarah. Berikut adalah daftar lengkap yang penulis dapatkan dari situs Wikipedia, kekaisaran terbesar berdasarkan ukuran produk domestik bruto (GDP).
- British Empire – $918.7 miliar (pada 1938)2
- Nazi Germany – $375.6 miliar (pada 1938)3
- Empire of Japan – $260.7 miliar (pada 1938)4
- Russian Empire – $257.7 miliar (pada 1917)5
- Qing Dynasty – $241.3 miliar (pada 1912)6
- France French Empire – $234.1 miliar (pada 1938)7
- Italy Italian Empire – $143.4 miliar (pada 1938)8
- Afsharid dynasty – $119.85 miliar (pada 1740)9
- Austria-Hungary – $100.5 miliar (pada 1918)10
- Mughal Empire – $90.8 miliar (pada 1700)11
- Dutch Empire – $60 miliar (pada 1900)
- Ottoman Empire – $26.4 miliar (pada 1923)12
- Empire of Brazil – $13.6 miliar (pada 1889)13
- Portuguese Empire – $12.6 miliar (pada 1913)14
GDP Kerajaan Inggris pada 1938 ketika mereka menguasai luas area terbesar yang pernah dikuasai suatu kerajaan ternyata tidak sebesar GDP Inggris pada 2014, yaitu $2,945.1 miliar (menurut IMF). Jerman, Jepang, Rusia, China, Prancis, dan Itali malah tercatat memiliki GDP masing-masing $3,859.5 miliar, $4,616.3 miliar, $1,857.5 miliar, $10,380.4 miliar, $2,846.9 miliar, dan $2,148.0 miliar pada 2014 menurut data IMF. Jauh melebihi GDP mereka ketika paling berjaya sebagai kerajaan yang menguasai wilayah yang luas. Amerika yang tidak pernah menjajah negara lain tercatat memiliki GDP $17,418.9 miliar pada 2014.15
Tentunya kita bisa menebak dari mana negara-negara di atas memperoleh kekayaan sebesar itu. Dari perdagangan internasional. Apa yang salah dengan praktik ini? Mungkin pertanyaannya, perlu diganti dengan apa kerugian kita sebagai negara konsumen dalam perdagangan internasional? Penulis mengidentifikasi paling tidak 3 kerugian yang diderita negara konsumen, yaitu:
- Indeks pembangunan manusia (human development index) yang sulit naik.
- Nilai tambah produk kita yang rendah karena cenderung menyediakan produk hulu.
- Kita harus membayar tinggi atas barang-barang yang bahan bakunya berasal dari negara kita.
Negara-negara maju memiliki indeks pembangunan manusia yang tinggi. Indeks yang tinggi meningkatkan daya saing negara untuk menghasilkan produk dan jasa yang memiliki nilai tambah tinggi. Negara-negara berkembang sulit keluar dari lingkaran setan ini. Karena pertumbuhan ekonomi yang rendah, usaha pengembangan manusia terhambat. Indeks pembangunan manusia yang rendah membuat daya saing negara berkurang. Daya saing yang rendah memberi sedikit kemungkinan bagi suatu negara untuk menghasilkan produk dan jasa yang kompetitif. Alhasil, tingkat pertumbuhan ekonomi tidak cukup baik dan lingkaran ini terus berputar dan membuat usaha untuk keluar terlihat begitu sulit.
Indeks pembangunan manusia yang rendah menyebabkan produk komoditas kita tidak terolah di dalam negeri sehingga harus dijual ke luar negeri. Setinggi-tingginya harga komoditas, nilai tambah yang dihasilkan bagi negara sangat minim. Belum lagi sering terguncangnya harga komoditas karena mekanisme pasar. Padahal, komoditas yang sama dibeli oleh negara-negara miskin sumber daya lalu diolah dengan teknologi yang mereka kuasai menghasilkan produk yang ratusan bahkan ribuan kali lipat lebih mahal dibandingkan harga bahan baku yang mereka gunakan. Tentunya dalam hal ini, perusahaan-perusahaan yang menghasilkannya didukung strategi pemasaran yang sangat hebat sehingga konsumen tetap sukarela mengeluarkan uang untuk membeli produk mereka. Terkadang malah perlu antri. Indonesia tertinggal jauh dalam hal ini. Indonesia sering menjadi negara konsumen dalam praktik yang terjadi. Indonesia dapat dikatakan menjadi korban dari imperialisme 2.0.