Tata Kota Jakarta, seperti diketahui oleh kalayak, semrawut lantaran pembiaran yang terjadi bertahun-tahun. Banyak faktor yang menyumbang kekacauan ini. Urbanisasi ke Kota Jakarta, penataan kota yang tidak terintegrasi, dana yang dikorupsi, edukasi warga yang minim, dan masih banyak lagi. Faktor-faktor ini klop dengan Pemerintah Kota Jakarta yang praktis seperti otopilot selama bertahun-tahun.
Lihat saja bantaran Kali Ciliwung yang diurug oleh warga menggunakan sampah untuk dijadikan tempat tinggal.
Hal ini tentunya tidak terjadi dalam semalam. Sebagian besar warga telah tinggal di bantaran Kali Ciliwung puluhan tahun. Artinya, pembiaran telah terjadi puluhan tahun. Miris. Tentunya ini hanyalah satu dari sekian banyak pembiaran yang telah terjadi di Kota Jakarta. Dan hal ini menjadi kesalahan komunal yang sudah dianggap wajar.
Mari kita melihat satu contoh yang lain. Trotoar! Trotoar yang sejatinya tempat bagi pejalan kaki banyak yang disalahgunakan oleh warga Jakarta. Banyak sepeda motor yang melintasi trotoar. Tak kurang banyak yang berjualan di trotoar Jakarta. Trotoar Jakarta memang aneh. Ada yang bebas sepeda motor dan pedagang kaki lima, tetapi sekaligus menjadi trotoar yang sepi dilewati pejalan kaki karena biasanya tidak aman. Dan sekali lagi, pedagang kaki lima dan pengendara sepeda motor tergabung dalam “komunitas” yang menganggap hal yang mereka lakukan adalah sesuatu yang wajar. Tindakan-tindakan yang merampas ruang publik ini telah dibiarkan bertahun-tahun.
Mudahkah mengubah kondisi ini?